PAKEM INSTAGRAMABLE YG BIKIN MBLENEK 🤢

PAKEM INSTAGRAMABLE YG BIKIN MBLENEK 🤢

Aslik, sedih dan nyesek banget liat fenomena destinasi wisata di daerah2 di Indonesia skrg di-drive oleh pakem “instagramable”. —> menteri siapa sih nih yg dulu nge-drive rumusan ini? Dangkal, sumpah. 

Rusak sudah otentisitas lokal. Rusak sudah roh-nya. Wajah kota2 di daerah jadi serba superfisial, coreng moreng NORAK, dengan aneka (desain) penampakan yg serba ala2. 

Ala2 Santorini, ala2 Bali, ala2 Jepang, ala2 Paris. Puyeng gak sih loe misalnya, liat lembah Harau yg indah, anggun, dan megah itu tiba-tiba skrg di sana berdiri menara eiffel abal2 dan kincir2 angin ala2 ? Sampah visual yg bikin miris. Pengen nangis kejer liatnya 😭

Belum lagi fenomena di berbagai kota bermunculan instalasi huruf2 raksasa yg membentuk tulisan nama kota atau nama tempat utk jadi spot foto medsos? Sementara versi originalnya yg ditiru, yakni di Amsterdam instalasi itu malah udah disingkirkan bbrp taun lalu karena dianggap bikin jengah dan gak selaras dgn roh-nya Amsterdam. 

Waktu bulan lalu sempet singgah ke Yogya misalnya, walau belum ada penampakan sefatal misalnya piramid ala2, gw merasa rada2 kehilangan ambience orisinal Yogya, yg kini udah gak terlalu beda dengan Bandung. Kafe2 “genit” bertebaran di sana-sini. Mau cari gelato ama sourdough kayaknya lebih gampang daripada nyari mbote ama gatot 😬 

Bedakan fenomena ini dengan misalnya yg muncul di Jakarta, spt “little Tokyo” di kawasan Blok M. Little Tokyo muncul secara organik, bukan dibuat-buat alias superfisial. Little Tokyo mencerminkan suatu era ketika ekspat2 Jepang bermukim di Jakarta, yg notabene adalah kota melting pot alias bejana pelebur. Jadi, corak wajah suatu kota terbentuk melalui proses kisah/cerita yg inheren, bukan ujug2 kayak ngigo. 

Seinferior inikah mental kita di negeri ini, sampai2 harus mengkatrol value diri dengan cara mencatut identitas lain secara superfisial, yg bukan dirinya sendiri? 

Ini nih pentingnya pemerintah daerah (dan pusat!) punya taste yg bagus dan dignity yg solid. Selain tentunya kudu punya visi yg jauh dan kapasitas intelektual yg dalam. Kalo toh punya budget besar tapi gak punya taste, jatuhnya ya jadi NORAK.  Ditambah gak punya dignity yg memadai. Dan dalam hal ini, punya taste yg bagus itu bukan ditentukan oleh kemampuan menyontek hal2 berbau serba global/internesyenel.. Plis deh ah.

Ilustrasinya kalo di fashion: taste bagus itu ibaratnya bukan ditentukan dengan penampilan “pating cemanthel” (bergelantungan) barang branded pake logo gede2 dari kepala sampe kaki. Yg ada, loe cuma keliatan kayak badut berduit yg masih kaget dgn duit. 

Manifes dari selera bagus, berkelas, dan dignity yg solid justru ketika bisa mengolah, mengeksplorasi, dan memanggungkan berbagai unsur kedaerahan/kelokalan secara maksimal menjadi refined, elegan, anggun, atau bahkan bernapas kontemporer. Lalu mengaplikasikannya  dalam wajah kota/daerah, entah berupa desain arsitektur, lansekap, atraksi, pertunjukan, dst. Ada KESELARASAN dgn ambience/otentisitas  lingkungan sekitarnya yg menjadi rujukan sehingga gak ngejeglek sendiri. Bukan malah merujuk ke belahan dunia lain. 

Mereka yg berselera bagus dan punya dignity justru bangga dan yakin dengan identitasnya sendiri. Gak merasa perlu mengkatrol value dirinya dengan ikon2/simbol2 superfisial. 

Plis deh, hentikan segala kegilaan dan kenorakan instagramable2 ini 🤢🤢 

#ngomyang 
#sampahvisual

https://www.facebook.com/530957502/posts/10158512277432503/

Comments

Popular posts from this blog

jenis-jenis Sistem Transmisi mobil

Kudeta Jokowi Mulai Tercium Oleh Prabowo Subianto

Jumlah rakaat shalat tarawih sesuai tuntunan