Menikahi Wanita Hamil dan Nasab Anaknya
139. *Menikahi Wanita Hamil dan Nasab Anaknya*
Wanita hamil ada dua kemungkinan: 1) hamil dalam pernikahan atau 2) hamil diluar pernikahan.
*Hamil dalam Pernikahan*
Jika wanita tersebut hamil dalam pernikahan, misalnya dicerai saat hamil atau suaminya meninggal saat wanita tsb hamil, maka tidak ada perbedaan pendapat para fuqoha bahwa tidak sah menikahinya sebelum wanita tersebut melahirkan.[1]
Alasannya adalah firman Allah SWT :
وَأُولاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. (Qs Ath-Tholaq : 4).
Begitu juga firman Allah Ta’ala :
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
Dan janganlah kalian bertetap hati untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya. (Qs. Al-Baqarah:235).
*Hamil di Luar Nikah*
Adapun jika wanita tersebut hamil di luar pernikahan (perzinaan), maka ada dua kemungkinan: 1) lelaki yang menikahinya adalah lelaki yang menghamilinya, atau 2) lelaki yang menikahinya bukan lelaki yang menghamilinya.
*Dinikahi Lelaki yang Menghamili*
Dalam kasus lelaki yang menikahinya adalah lelaki yang menghamilinya, maka menurut madzhab Syafi’i dan madzhab Hanafi hukum pernikahannya sah.
Sementara Malikiyah dan Hanabilah berpandangan tidak sah menikahi wanita hamil, baik yang menikahi adalah yang menghamili, apalagi jika yang menikahi orang lain. Wanita tersebut hanya sah dinikahi setelah melahirkan anaknya. Lebih dari itu Hanabilah memberikan syarat lain yakni perempuan tersebut disamping sudah melahirkan juga sudah bertaubat dari zina yang sudah dilakukan.
*Dinikahi Lelaki yang Bukan Menghamili*
Ulama Syafi’iyyah berpendapat, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina walaupun yang menikahinya bukan yang menghamilinya, juga tidak haram untuk menyetubuhinya.[2]
Dalam Al Majmu’ Syarah al Muhadzdzab 16/ 242 Maktabah Syamilah dijelaskan:
إذا زنت المرأة لم يجب عليها العدة، سواء كانت حائلا أو حاملا، فإن كانت حائلا جاز للزاني ولغيره عقد النكاح عليها، وإن حملت من الزنا فيكره نكاحها قبل وضع الحمل
“Jika seorang wanita berzina, maka dia tidak wajib menunggu masa ‘iddah, sama saja apakah dia ha-il (tidak hamil) ataukah dia hamil. Jika dia ha-il maka boleh bagi lelaki yang menzinai dan lelaki yang tidak menzinainya untuk melakukan akad nikah dengannya, jika dia hamil karena zina maka makruh menikahinya sebelum dia melahirkan kandungannya.”
Dalam kitab Kifâyatul Akhyâr, h 429 dinyatakan:
لَو نكح شخص امْرَأَة حَامِلا من الزِّنَا صَحَّ نِكَاحه بِلَا خلاف وَهل لَهُ وَطْؤُهَا قبل الْوَضع وَجْهَان الْأَصَح نعم إِذْ لَا حُرْمَة لَهُ
“Jika seseorang menikahi wanita hamil dari perzinaan, maka sah menikahinya tanpa ada perbedaan pendapat (dalam madzhab Syafi’i), dan bolehkah menyetubuhinya sebelum dia melahirkan?, ada dua pendapat, yang ashah (lebih shahih) adalah iya (boleh), karena tidak ada kehormatan (hurmah) atas kandungan tersebut.”
Sedangkan kalangan Hanafiyyah berbeda pendapat dalam hal ini: Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa hukum akad nikah wanita hamil dengan laki-laki bukan yang menghamilinya adalah sah, hanya saja wanita itu tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan kandungannya.
Sementara Abu Yusuf dan Zufar berpendapat, hukumnya tidak sah lelaki yang bukan pasangan zinanya menikahi pasangannya yang hamil akibat zina karena kehamilannya itu menyebabkan terlarangnya persetubuhan, maka terlarang pula akad nikah dengan wanita hamil itu.
*Alasan*
Adapun alasan Madzhab Syafi’i menyatakan sahnya menikahi wanita hamil antara lain:
1) Setelah menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi, dan tidak disebut wanita yang hamil karena zina itu haram, Allah berfirman:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.” (QS. An-Nisa’: 24)
Ayat di atas berlaku mutlak, dan tidak ada dalil menjadikannya muqayyad (dibatasi). Adapun iddah karena hamil, itu hanya berlaku dalam pernikahan, bukan perzinaan, sebagaimana thalaq, ruju’, hadhonah, nafkah, dan nasab itu juga hanya ada dalam pernikahan.
2)
لا يحرم الحرام الحلال
“Tidaklah perbuatan haram itu mengharamkan yang halal.” (HR. At-Thabrani)
Zina itu haram, dan menikahi wanita yang bukan mahrom itu halal, oleh karena itu zina tersebut tidak dapat mengharamkan perempuan yang bukan mahrom untuk dinikahi seorang laki-laki, meskipun dia hamil karena zina.
3) Atsar dari Umar r.a. (al Majmu’, 16/242)
وروى أن رجلا كان له ابن تزوج امرأة لها ابنة ففجر الغلام بالصبيه، فسألهما عمر رضى الله عنه فأقرا فجلدهما وحرص أن يجمع بينهما بالنكاح فأبى الغلام ولم ير عمر رضى الله عنه انقضاء العدة، ولم ينكر عليه أحد، فدل على أنه اجماع ولانه وطئ لا يلحق به النسب، أو حمل لا يلحق بأحد فلم يمنع صحة النكاح كما لو لم يوجد
*Nasab Anak yang Dilahirkan*
Jika anak yang dikandung tersebut dilahirkan setelah berlalunya waktu enam bulan sejak terjadinya akad nikah (menurut Hanafiyah) atau enam bulan sejak terjadinya persetubuhan suami istri (menurut mayoritas ulama mazhab), maka nasab anak tersebut dihubungkan kepada suami yang sah dari wanita tersebut.
*Catatan*
Pembahasan ini bukanlah untuk menggampangkan terjadinya perzinaan. Zina tetaplah haram dan merupakan dosa besar yang harus dijauhi. Namun demikian anak yang dikandung sama-sekali tidak boleh diperlakukan tidak manusiawi, apalagi diaborsi!.
Ikhtilaf berbagai ‘Ulama sengaja ditampilkan dengan harapan umat bisa saling memahami dan menolerir pendapat umat Islam yang lain. Allâhu A’lam. [MTaufikNT]
https://www.facebook.com/100039779657895/posts/pfbid025F7dfzuMc6vqrd3Fy3a72gggf4P2YS17qFpBZfrW1j3Ae6A3ZtMhwXg5fag2tpaQl/
Comments
Post a Comment