Jangan Jadi Orang Tua Toxic
Jangan Jadi Orang Tua Toxic!
“Bi, kita jangan sampai jadi orang tua yang toxic, ya!” ucapnya pelan.
Sambil memijat kepalaku yang sedang pusing, kalimat tersebut mengagetkanku. Aku terkejut. Ada apa gerangan dia tiba-tiba berkata seperti itu.
“Maksudnya apa, Mi?” tanyaku penasaran.
“Ingat saat ke Giethoorn kemarin, apa yang sudah kamu lakuin ke Sierra?”
“Waktu naik perahu itu?”
“Iya. Jangan sampai kita melakukan hal seperti itu terlalu sering, ya! Jika bisa, hilangkan kebiasaan itu!” ujarnya tegas.
***
Waktu itu, saat kami berempat, aku, ibunya Sierra, Sierra, dan teman kami naik perahu di Giethoorn. Saat itulah memang terjadi kejadian yang dimaksud harus dihindari tersebut. Apa itu?
Kami menyewa perahu tanpa guide, jadi aku yang langsung menjadi driver dari perahu kecil bermesin tersebut. Tanpa pengalaman melakukan hal itu sebelumnya, membuat perahu kami bolak-balik menabrak pinggiran kanal dan menyenggol perahu lain.
Sebenarnya bukan masalah besar, karena mesin perahu didesain dengan kecepatan yang minim, sehingga benturan yang terjadi tidak terlalu keras. Bagi kami yang sudah dewasa, mungkin tidak masalah, tapi berbeda dengan si kecil.
Dia panik, ketakutan. Tidak sekali dua kali dia berteriak.
“Mami, Siya takut. Ayo pulang aja!”
Berulang kali dia mengatakannya. Perahu kami sempat tersudut. Tidak cakapnya aku dalam mengendarai perahu, membuatnya menghalangi perahu-perahu lain untuk melintas. Sierra kembali berteriak ketakutan. Aku menjadi ikut panik.
“Sierra, diam!” ujarku dengan nada sedikit keras padanya.
Dia kemudian terdiam. Wajahnya tampak sekali ketakutan.
***
“Jangan sampai kita mendidik Sierra dengan cara seperti itu, ya?”
“Kenapa, Mi? Bukankah terkadang perlu sedikit ketegasan biar dia nggak manja?” ujarku yang masih merasa apa yang sudah kulakukan tidak salah.
Kami berdua memang terbiasa berdiskusi sebelum tidur. Membahas apa saja.
“Benar, tapi bukan dengan cara seperti itu, Sayang. Kalau kamu menggunakan jalan instan dengan cara seperti itu, menyuruh Sierra diam saat dia ketakutan, itu hanya berhasil sementara saja.”
Aku terdiam. Menarik sepertinya. Ia kemudian melanjutkan penjelasannya.
“Saat ini, posisi kita memang lebih kuat, apalagi kamu sebagai figur sebagai bapak. Dia cuma anak kecil, jadi pasti dia akan menurut. Tapi apa yang terjadi saat dia besar nanti, Bi?”
Pertanyaan tersebut menohok dengan keras tempurung kepalaku yang diisi pemahaman yang juga keras ini.
“Saat dia sudah memiliki kekuatan lebih daripada kita, dia nggak akan lagi takut dengan gertakan. Dia nggak akan takut lagi dengan ancaman. Karena apa? Kekuatan kita sudah nggak bisa lagi mengontrol dan membuatnya takut.”
Aku termenung. Benar sekali apa yang diucapkan oleh wanita kesayanganku ini.
“Kamu benar, Mi.” Aku berkata sambil mengelus kepalanya.
***
Apa aku tersinggung dengan nasihat-nasihatnya? Apa aku marah dengan kritikannya? Tidak, tentu saja.
Sejak berpacaran, kami memang sudah berkomitmen untuk saling mengingatkan satu sama lain. Hingga kami menikah, sekalipun aku telah mengambil posisi sebagai kepala rumah tangga dan pengambil keputusan tertinggi, kami tetap dengan komitmen yang sama.
Aku tidak masalah dia mengkritikku. Dia tentu senang saat kesalahannya aku koreksi. Aku dan dia memang berusaha membuat serta mewujudkan lingkungan keluarga yang mengedapankan diskusi, bahkan terkadang dengan debat. Tapi tentu, dengan menggunakan adab yang baik.
***
“Kita harus mendidik Sierra dengan cara yang lebih bisa diterima, Bi.”
“Jadi kita harus bagaimana kalau berada dalam situasi seperti itu?” tanyaku.
“Kalau kamu nggak bisa nahan emosi, coba tahan nafas dulu. Ingat, apa yang kita ucapkan, itu bakal membekas lama di ingatan Sierra.”
“Kamu benar, Mi.”
“Aku yakin kamu dulu dididik Bapak dan Ibu dengan kasih sayang. Kamu memperlakukanku dan Sierra dengan baik, itu pasti karena pola yang sama kamu terima dulu. Tapi emosimu yang terkasang meluap itu, perlu di kelola lebih baik, ya!” ucapnya lembut.
Aku menjadi damai. Beruntung sekali memiliki teman diskusi seumur hidup—InsyaAllah—seperti ini.
“Alhamdulillah, Allah memberi kita Sierra. Dia nggak banyak nuntut, bisa adaptasi dimana saja, ceria, pengertian. Kita harus menjadi sosok yang saat dia nanti dewasa dan punya kekuatan lebih dari kita, dia akan tetap mencarimu sebagai bapaknya, merindukanku sebagai ibunya.”
Dia berkata dengan air mata yang mulai mengalir.
“Aku ingin, saat dia kesusahan dan ketakutan yang dia ingat adalah dia punya daddynya. Saat dia kesepian dan butuh tempat bercerita, yang dia ingat adalah dia punya maminya.”
“Saat dia butuh segalanya, dia tahu kemana tempat tujuannya, kan?” potongku cepat, sambil memeluknya erat.
“Menjadi orang tua itu belajarnya bertahap dan terus-menerus, Bi. Kamu belajar, aku belajar. Aku nggak lebih pintar, kamu nggak lebih pintar. Kita belajar bersama terus, ya?”
Aku memeluknya semakin erat.
Ah, istriku kalau sudah begini, kadar manisnya makin meningkat saja. Membuat sakit kepala berangsur hilang dan ingin segera mengakhiri diskusi ini dengan sesuatu hal yang menyenangkan bersama-sama.
PS: Bagi yang jomblo, mohon maaf untuk paragraf terakhir, ya! Nggak ada maksud, koq.
Eindhoven, 25 September 2021
#repost #bapak2ngonten
https://www.facebook.com/share/p/1BBfAywZL9/
Comments
Post a Comment