Kenaikan PPN tidak bisa dianggap sekadar
Kenaikan PPN tidak bisa dianggap sekadar “hanya 1%” (dari 11% ke 12%). Tidak pula bisa seenaknya diklaim bahwa hasilnya nanti akan kembali ke rakyat dalam bentuk bansos dan subsidi. Menurut saya, pejabat pemerintah yang mengeluarkan pernyataan semacam itu logikanya berantakan, berpotensi menyesatkan, menghina akal sehat, dan merendahkan martabat rakyat—terlebih lagi jika alasan yang digunakan adalah bansos.
Lihat saja di Ghana, ketika anak-anak muda di sana memprotes dengan mengembalikan bansos berupa beras yang dibagikan pejabat. Mereka merasa yang mereka butuhkan bukan sekadar bansos, tetapi perbaikan taraf hidup melalui penyediaan lapangan kerja. Sementara itu, di sini masyarakat justru terus dibuat kecanduan bansos oleh pejabatnya. Ironisnya, bukan sekadar membagikan beras, mantan presiden yang kini sibuk menjadi content creator malah keliling kampanye pilkada, melempar kaos paslon dari atas mobil. Mungkin dulu ia mempertahankan kekuasaan dengan bansos, dan kini, setelah tak menjabat, ia menggantinya dengan membagi-bagikan kaos. Ini membuktikan bahwa bansos yang ia gunakan dulu bukanlah bentuk kebaikan hati, melainkan strategi politik yang memanfaatkan program APBN.
Kenaikan tarif PPN tidak berdiri sendiri. Oleh sebab itu, tidak bisa disebut “hanya naik 1%.” Perhitungan sederhana menunjukkan bahwa jika PPN naik 1%, harga barang dan jasa di tangan konsumen bisa ikut melambung hingga 30%. Kenapa? Karena ada banyak variabel lain yang saling berkaitan, seperti kenaikan harga bahan baku yang juga terkena PPN, inflasi, upah tenaga kerja, hingga biaya logistik dan pengiriman. Belum lagi “biaya tak terlihat” seperti suap untuk pejabat!
Argumen “toh nanti akan kembali ke rakyat sebagai bansos dan subsidi” adalah bentuk manipulasi data—atau dalam istilah lain, “cara berbohong dengan statistik.” Pernyataan itu menutupi fakta penting lainnya. Berdasarkan Nota Keuangan RAPBN 2025 yang disusun oleh Kementerian Keuangan sendiri, alokasi belanja bansos hanya Rp152,6 triliun. Bandingkan dengan belanja pegawai (gaji, tunjangan, dll.) yang mencapai Rp513,2 triliun, belanja subsidi (energi dan nonenergi) Rp309 triliun, dan pembayaran bunga utang (dalam dan luar negeri) Rp552,8 triliun. Ini artinya, anggaran negara jauh lebih banyak dialokasikan untuk melantik pejabat, menggaji pegawai, dan membayar utang daripada untuk bansos. Jadi, wahai pejabat Kemenkeu, berhentilah berargumen bahwa kenaikan PPN akan kembali ke rakyat. Itu hanyalah setengah kebenaran yang menyesatkan.
Kenyataannya, beban keuangan negara justru lebih banyak berasal dari hal-hal seperti kabinet yang gemuk akibat banyaknya kursi yang harus dibagi kepada anggota koalisi, jumlah pejabat yang terus bertambah, pergantian logo dan papan nama lembaga yang tak berfaedah, serta gaya hidup mewah pejabat beserta keluarga dan kroninya. Contoh paling baru: Kantor Komunikasi Presiden (PCO) baru saja melantik 50 pejabat dan staf. Bagi saya, ini jelas berlebihan dan hanya memboroskan anggaran. Sepuluh orang saja sudah lebih dari cukup, toh presidennya hanya satu—kecuali ada pihak lain yang masih merasa presiden. Lagi pula, pekerjaan mereka nantinya juga akan disubkontrakkan ke vendor, bukan?
Jadi, apa poin tulisan ini?
1) Menkeu yang katanya terbaik di dunia seharusnya meminta maaf kepada masyarakat atas pernyataan anak buahnya yang ngawur dan menghina akal sehat dengan dalih bansos dan subsidi.
2) Jangan ada kenaikan PPN sebelum pemerintah memangkas biaya untuk pejabat dan pegawai serta benar-benar memberantas korupsi di lingkaran mereka sendiri!
Sesederhana itu.
Salam.
https://www.facebook.com/share/18LrC938JB/
Comments
Post a Comment