pusaran model bisnis digital perusahaan global untuk menarik keuntungan sebanyak-banyaknya
Kalau berhadapan dengan masalah Kartu Prakerja, Menteri Keuangan Sri Mulyani yang—katanya terbaik di dunia—langsung jatuh kasta. Terlihat dari sikap dan pandangannya di media massa.
Dulu bilang, ia sakit perut karena Presiden Jokowi menjanjikan Kartu Prakerja dalam kampanye, padahal tidak ada bayangan anggarannya dari mana. Sampai akhirnya ada pihak-pihak yang membantu dan kasih gratisan.
Apa betul begitu? Tidak. Mana ada makan siang gratis. Faktanya, anggaran Rp20 triliun Kartu Prakerja dibebankan kepada APBN sebagai bagian dari anggaran dukungan konsumsi pemulihan ekonomi COVID-19. Rp5,6 triliun-nya dianggarkan untuk beli video pelatihan di 8 platform digital.
Sekarang ia berkata, pelatihan online Kartu Prakerja itu, berdasarkan keinginan Presiden Jokowi, dilakukan supaya orang ada kerjaan selama diam di rumah karena PSBB COVID-19.
Jadi jangan mudah percaya kalau dihembuskan opini pelatihan online Kartu Prakerja untuk meningkatkan kompetensi dan menekan pengangguran—seperti dikatakan oleh sejumlah politisi Golkar.
Argumen-argumen itu sangat tidak bermutu. Bukan hanya itu, argumen dimaksud menyebabkan negara berpotensi rugi dan sebaliknya menguntungkan platform digital. Kasarnya boleh dibilang, negara menyediakan Rp5,6 triliun (Rp1.000.000 x 5,6 juta orang) + Rp840 miliar (Rp150.000 x 5,6 juta peserta) untuk kepentingan membesarkan bisnis platform digital melalui Kartu Prakerja.
Platform digital mendapat tiga hal penting bagi bisnisnya dari Kartu Prakerja: pengguna baru (users), transaksi (pembelian klik video), dan promosi/marketing (insentif pengisian survei dan rating). Ketiga hal itulah yang akan melipatgandakan valuasi bisnis mereka di masa depan.
Selama ini negara kerap mengeluhkan defisit pajak. Berkaca dari Kartu Prakerja ini, keluhan itu aneh. Seorang Menkeu yang membawahkan Ditjen Pajak saja malah menggelontorkan dana negara untuk kepentingan mereka yang seharusnya jadi subjek pajak potensial. Tidak ada satu pun pernyataan Menkeu untuk mengevaluasi anggaran Rp5,6 triliun itu, padahal ia berwenang berdasarkan Pasal 40 PMK 25/2020.
Pertunjukan kekayaan oleh perusahaan platform digital itu nyata adanya. Tokopedia, misalnya, yang nyaris jadi decacorn (valuasi US$10 miliar/Rp140 triliun, asumsi kurs Rp14.000). Jika valuasinya segitu, berapa penghasilan yang bisa dikenakan Pajak Penghasilan (PPh)?
Menurut hitungan saya seperti dalam status sebelumnya, dengan cara membandingkan dengan Alibaba, Tokopedia berpenghasilan (net income) Rp2,77 triliun. https://www.facebook.com/1311891821/posts/10223728531383910/
Kalau mau diterapkan PPh Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap 22% sesuai dengan Perppu COVID-19—yang sudah menjadi UU—maka negara bisa mendapatkan Rp610,5 miliar.
Begitu juga PT Bukalapak.com yang diberitakan valuasinya mencapai US$2,5 miliar (Rp35 triliun). Jika menggunakan rasio yang sama, penghasilan (net income) Bukalapak mencapai Rp693,7 miliar. Potensi PPh yang bisa dikejar setara Rp152,6 miliar.
Bagaimana dengan Ruangguru yang valuasinya saat ini diberitakan mencapai Rp7 triliun? Berapa penghasilannya? Berapa potensi PPh yang bisa ditarik negara? Saya belum bisa menyajikan analisisnya, karena perbandingannya tentu tidak bisa disamakan dengan Alibaba, karena berbeda segmen bisnisnya.
Mungkin perbandingannya dengan BYJU’S (platform ed tech India) yang valuasinya US$8 miliar) atau 2U (Nasdaq: TWOU) dan Laureate Education (Nasdaq: LAUR) yang market cap-nya masing-masing US$2,3 miliar dan US$1,9 miliar. Tapi kinerja TWOU lagi jelek karena rugi US$293,7 juta (TTM).
Jika ada valuasi, berarti ada tindakan ekonomi. Jika ada tindakan ekonomi, berarti ada penghasilan. Penghasilan adalah objek pajak, yakni setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun (Pasal 4 ayat (1) UU 36/2008 tentang Pajak Penghasilan). Laba usaha, keuntungan karena pengalihan harta, dan penerimaan atau perolehan pembayaran berkala, adalah beberapa di antaranya.
Subjek pajak ada tiga, yaitu orang pribadi, badan, dan bentuk usaha tetap (bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia).
Berapa penghasilan perusahaan platform digital yang dilaporkan selama ini? Berapa pajak (PPh badan) yang mereka bayarkan? Apakah laporan penghasilannya sudah sebenar-benarnya? Ingat. PPh badan adalah kontributor terbesar penerimaan pajak Indonesia (21,5%).
Lalu PPN. Apakah selama ini marketplace memotong PPN 10% per transaksi? Berapa PPN total transaksi yang dilaporkan ke pajak? Apakah laporan sudah sebenar-benarnya?
Kurang sekali kita memperoleh informasi ini dari pemerintah. Yang ada malah berita bahwa Kementerian Keuangan mencatat pembayaran pajak melalui agen e-commerce (Tokopedia, Bukalapak, Finnet Indonesia) capai Rp59 miliar.
Padahal ada PP 80/2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang mengatur tentang Penyedia Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE)/Marketplace. Mereka dikenakan PPN dan PPh atau pajak transaksi elektronik yang dilakukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri yang memenuhi kehadiran ekonomi signifikan (peredaran bruto konsolidasi grup usaha, penjualan di Indonesia, dan pengguna aktif media digital di Indonesia, yang akan diatur dengan peraturan lebih lanjut).
(Sebagai catatan saja: Ruangguru memiliki 15 juta pengguna; Tokopedia 7 juta merchant, 91 juta pengguna; Bukalapak 5 juta merchant, 70 juta pengguna. Pendanaan, mengutip Crunchbase: Ruangguru US$150 juta/Rp2,2 triliun; Tokopedia US$2,4 miliar/Rp35 triliun; Bukalapak US$50 juta/Rp736 miliar).
Lalu bagaimana dengan pajak perusahaan platform digital yang valuasinya bertriliun-triliun itu? Menkeu Sri Mulyani malah mencabut PMK 210/PMK.10/2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce) pada 29 Maret 2019.
Padahal dalam aturan yang dicabut itu ada pasal tentang kewajiban bagi penyedia platform marketplace untuk wajib memiliki NPWP dan PKP (Pengusaha Kena Pajak), serta melaksanakan kewajiban pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pengertian Penyedia Wadah Pasar Elektronik (Penyedia Platform Marketplace) adalah pihak baik orang pribadi, badan, maupun Bentuk Usaha Tetap yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan atau memiliki kegiatan usaha di dalam Daerah Pabean yang menyediakan platform berupa marketplace, termasuk Over the Top di bidang transportasi di dalam Daerah Pabean.
Yang terbaru, Menkeu mengeluarkan PMK 48/2020 tentang PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atas pemanfaatan produk digital dari luar negeri, yang berlaku mulai 1 Juli 2020. Kabarnya, mengenai PPh terhadap pelaku transaksi digital masih menunggu konsensus global di bawah koordinasi The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)/G20.
Bisa dilihat, betapa cengkeraman pengaruh bisnis perusahaan digital itu kuat sekali hingga tataran internasional. Jadi persoalan pelibatan platform digital dalam Prakerja berbiaya Rp5,6 triliun itu bisa kita tafsirkan sebagai cerminan dari kuatnya cengkeraman pengaruh bisnis mereka di Indonesia.
Ini bukan persoalan sepele sekadar memberikan kerjaan bagi orang yang lagi diam di rumah karena COVID-19 dengan menonton video pelatihan. Ini masalah pemerintah kita yang sudah diseret terlalu dalam pada pusaran model bisnis digital perusahaan global untuk menarik keuntungan sebanyak-banyaknya.
Salam 5,6 Triliun.
www.prakerja.press
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid02RYndNwUnAC9qn42oHm7kShdHCAxED5JNuiepJcbao6LunP4f8GNyh5JifcejN2FZl&id=1311891821&mibextid=Nif5oz
Comments
Post a Comment