Jejak Kolonial di Kota Lama Semarang
Nah, ketemu refrensi yang nge pasi,🤭🤭🤭...
Cuma males ngedit,
Monggo, kita pakai logika,🤭🤭🤭.
Bila Rembang Jateng saat itu sudah ramai, kenapa membangun Semarang???,
LOGIKA...🤭🤭🤭
https://jejakkolonial.blogspot.com/2017/06/secuil-eropa-di-kota-lama-semarang.html?m=1
Jejak Kolonial
Yang harus kita hilangkan dari sisa-sisa kolonial adalah ketimpangan, kesewenang-wenangan, dan penindasan, bukan bangunannya....
Minggu, 04 Juni 2017
Secuil Eropa di Kota Lama Semarang
Di bantaran Sungai Semarang, bangunan-bangunan tua bekas kantor kongsi niaga Belanda itu masih tampak berdiri megah. Keruhnya air sedikit memantulkan aura kekunoan bangunan itu. Berjarak 200 meter ke timur, sebuah kubah gereja kuno berdiri menjulang lebih lama daripada bangunan tadi. Menyusuri jalanan sempitnya, akan terjumpa bangunan lintas zaman dengan beraneka bentuk yang khas. Itulah pemandangan yang diperoleh dari Kota Lama atau Oudestad Semarang, sepotong kawasan di kota Semarang yang sarat dengan bangunan kuno lintas masa, saksi bisu sejarah tumbuhnya Semarang menjadi kota besar seperti saat ini. Tulisan Jejak Kolonial kali ini akan menggali satu persatu cerita dari setiap bangunan lama yang tertinggal sana, cerita tentang perjalanan hidup sebuah kawasan dan pertumbuhan ekonomi kapitalis masa penjajahan.
Bangunan lama di Kota Lama yang akan dibahas tulisan ini. Keterangan : A. Nederlandsch Handel Maatschappij / B. Handelsvereeniging Semarang / C. Koloniale Bank / D. Cultuurmaatschappij der Vorstenlanden / E. Koniklijke Paketvaart Maatschappij / F. Stoomvaart Maatschappij Nederland / G. De Javasche Bank / H. Rumah Abad 18 / I. Nillmij / J. Borsumij / K. Gereja Blenduk / L. Toko Zikel / M. Toko Spiegel / N. Nederlandsch Indische Handelsbank / O. Oei Tiong Ham Concern / P. Escompto / Q. Spaarbank Semarang / R. Schouwburg Semarang.
Perkembangan kawasan kota lama Semarang dari tahun 1719, 1741, 1866, hingga 1917. Perhatikan pada peta tahun 19719 dan 1741, di dekat Kali Semarang terdapat benteng berbentuk segi lima bernama benteng Vijfhoek (sumber : maps.library.leiden.edu).
Sulit dibayangkan bahwa kota yang padat penduduk sekarang ini hanya berjarak lima abad ke belakang dulunya masih berupa dasar laut. Tahun 1476, ketika seorang penyebar agama Islam bernama Ki Ageng Pandanarang membuka perkampungan di Bergota, tempat itu masih berada di tepian pesisir. Memasuki abad ke-16, erosi dari Sungai Garang menghasilkan dataran alluvial yang membuat garis pesisir menjauh ke utara dan permukiman pun ikut bergeser (Brommer dkk, 1995;7). Pada masa kekuasaan kerajaan Demak, pengganti Ki Ageng Pandanarang, Ki Ageng Pandanarang II diangkat sebagai bupati Semarang. Saat itu, Semarang masih belum menjadi kota pelabuhan besar. Hatta, Kerajaan Demak kemudian runtuh dan kuasa kota Semarang berpindah ke tangan kerajaan Mataram Islam pada 1575. Semarang saat itu masih pelabuhan kecil dengan perkampungan yang dihuni oleh orang pribumi dan Tionghoa. Sebagai pelabuhan pamornya masih kalah dari Demak atau Jepara.
Situasi kota Semarang pada awal tahun 1700an.
Selanjutnya ketika VOC mulai bercokol di Jawa pada abad ke 17, Semarang masih belum dipandang sebagai tempat yang penting. Saat itu, VOC lebih memilih Jepara ketimbang Semarang sebagai markas utamanya di Jawa tengah. Pada tahun 1618, markas VOC di Jepara diserang dan sebagian pegawainya ditawan ke Semarang. Pegawai VOC yang tertawan itulah yang menjadi orang Belanda pertama yang tiba di kota Semarang seperti yang disebutkan oleh Ir. W.B. Peteri dalam “De Geschiedenis der Stad Semarang”. Meskipun belum memiliki pengaruh besar, namun geliat industri Semarang saat itu sudah cukup maju dengan adanya industri gula, garam, dan perikanan. Selain itu ada juga perkebunan kelapa, pohon jati, asam, nila, padi, kacang, dan bawang. Kendati belum menjadi pelabuhan besar, Semarang memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh pelabuhan lain, yakni memiliki jalan darat yang terhubung ke ibukota kerajaan Mataram di pedalaman. Hal tersebut diakui oleh duta VOC untuk Maratam, Abraham Verspeet, yang mengunjungi Mataram tahun 1668. Pijakan awal VOC di Semarang dimulai ketika Amangkurat II menyerahkan Semarang kepada VOC pada 15 Januari 1678 karena VOC sudah membantu Amangkurat II menumpas perlawanan Trunojoyo di Jawa Timur. Untuk menegaskan kekuasaanya di Semarang, VOC selanjutnya mendirikan pos dagang namun pekerjaan berjalan pelan karena sedikitnya tenaga tukang kayu Eropa. Ketika VOC telah menjalin aliansi dengan Amangkurat II, barulah Semarang dianggap penting karena perannya sebagai pintu masuk ke kerajaan Mataram (Kuiper, 1935; 343).
Pemandangan kota Semarang pada tahun 1770 (sumber : commons.wikimedia.org).
Denah benteng Vijfhoek, benteng yang dibangun tahun 1697 dan dirobohkan tahun 1741 (sumber : atlasofmutualheritage.nl)
Pada 9 Maret 1697, kedudukan gubernur VOC di Jepara mulai diboyong ke Semarang meskipun Semarang belum menyandang status resmi sebagai pusat pemerintahan. Dalam rangka menyiapkan Semarang sebagai pusat pemerintahan, mulailah didirikan benteng yang pembangunannya berjalan pelan karena kurangnya tukang kayu dari Eropa. Benteng pertama VOC di Semarang yang dibangun tahun 1697 itu dinamai Vijfhoek merujuk pada denah dasarnya berbentuk segi lima – vijf dalam bahasa Belanda – dan dilengkapi dengan bastion di kelima sudutnya yang masing-masing diberi nama Zeeland, Amsterdam, Utrecht, Raamsdonk dan Bunschoten. Di tengah benteng, terdapat lapangan luas yang dikelilingi oleh lima bangunan barak dan penunjang. VOC lalu menempatkan seorang residen di Semarang yang berada di bawah pengawasan Letnan Gubernur VOC di Jepara pada 23 Juni 1702. Setelah melalui proses yang berlarut-larut, akhirnya Semarang resmi menjadi ibukota VOC untuk wilayah pantai timur Jawa pada 1708 (Peteri, 25 Juli 1925). Wewenang Gubernur yang menetap di sana, menjangkau mulai dari Cirebon hingga ke titik paling timur Pulau Jawa di Selat Bali. Ia ditunjuk oleh residen tertinggi dan merupakan bawahan Gubernur-Jenderal Batavia (Stockdale, 2021 : 431-432). Dari balik tembok benteng Vijfhoek, kompeni menjalankan roda kuasanya atas pesisir Jawa bagian tengah sekaligus mengawasi gerak-gerik penguasa pribumi yang tinggal di seberang benteng. Benteng itu sendiri kemudian dirobohkan pada pertengahan abad ke-18 untuk perluasan kota Semarang. Di tempat yang sama, dibangun beberapa bangunan seperti menara syahbandar yang berdiri tahun 1825. Menara tersebut masih berdiri menjulang meskipun kondisinya sudah merana. Selain menara syahbandar, di tempat tersebut juga pernah terdapat pabrik gas milik "Nederlandsch Indische Gas Maatschappij".
Alun-alun Semarang. Di kejauhan tampak masjid kauman dengan atap tumpangnya. Tampak sebuah trem yang melintas di tengah alun-alun Semarang (sumber : media-kitlv.nl).
Semenjak menjadi markas VOC, Semarang tumbuh menjadi kota bandar yang ramai. Hal tersebut tak lepas dari perannya sebagai gerbang Jawa bagian tengah. Berbagai pedagang dari negeri asing akhirnya berbondong-bondong datang ke sana, mulai dari Melayu, Tiongkok, Arab, hingga Eropa. Gudang-gudang penuh dengan tumpukan beras, kayu, dan kapuk yang dihimpun dari pedalaman untuk selanjutnya dijual keluar. Kota Semarang lambat laun menjadi kota bandar yang sentausa, mengungguli kota pelabuhan yang sudah lebih dahulu eksis seperti Demak dan Jepara. Kota yang dulunya hanya hamparan rawa itupun akhirnya menjelma menjadi “Batavia Kedua” (Poerwanto dan Soenarso, 2012; 47). Para pedagang Melayu, Tiongkok, Arab, dan Eropa tak sekedar berdagang saja. Karena pelayaran saat itu masih bergantung pada musim, maka pedagang itu tinggal beberapa lama di Semarang dan perlahan terbentuk permukiman yang digolongkan berdasarkan etnis. VOC menjalankan pemerintahan lokal dengan menunjuk seorang tokoh dari masing-masing golongan etnis sebagai perantara VOC dan pemimpin golongan mereka. Misalnya ada bupati untuk penduduk pribumi dan untuk penduduk Arab dan Tionghoa dari kalangan mereka ditunjuk seseorang yang digelari pangkat militer tituler. Di seberang selatan benteng Vijfhoek, terhampar alun-alun, pusat permukiman pribumi di Semarang yang kini tinggal namanya saja.
Masjid Agung Semarang.
Di sekeliling alun-alun Semarang, berdiri beberapa bangunan penting, misalnya masjid agung di sebelah barat yang sudah berulang kali mengalami pembangunan. Menurut prasasti yang ada di gerbang masjid, bangunan tersebut dibangun 1756 untuk menggantikan masjid lama yang terbakar semasa pemberontakan Geger Pecinan tahun 1741 (Peteri, 31 Oktober 1925). Sementara di selatan alun-alun, terdapat kediaman bupati Semarang yang kini hilang semenjak pemerintahan kabupaten Semarang dipindahkan ke Ungaran pada tahun 1983. Tempat tersebut kini berganti menjadi Kampung Kanjengan. Di sekeliling alun-alun juga terdapat sejumlah bangunan penting lain seperti penjara yang kemudian menjadi Pasar Johar, kantor pos, kantor telepon, dan bank. Di sebelah timur alun-alun, pernah berdiri gedung besar yang menjadi kantor administrasi pemerintahan kolonial. Semenjak tahun 1970an, luas alun-alun mulai menyusut dengan dibangunnya hotel dan perguruan tinggi yang memakan sebagian lahan alun-alun. Terlebih setelah Pasar Yaik diperluas. Alhasil, bagian alun-alun yang tersisa kini tinggal sepenggal kecil lahan di timur Masjid Kauman.
Peta Semarang pada tahun 1787 yang memperlihatkan kawassan kota lama (A) dan pecinan Semarang (Y). (Sumber : nationaalarchief.nl)
Pada masa kedatangan awal, orang-orang Eropa yang sebagian besar adalah pegawai VOC masih tinggal di dalam benteng. Seiring waktu, dengan pertambahan jumlah dan peningkatan kekayaan - entah dari cara wajar atau tidak, orang-orang Eropa mulai membangun rumah di sebelah utara permukiman orang Tionghoa yang saat itu masih ada di seberang timur sungai. Orang-orang Tionghoa tinggal di tempat tersebut karena dekat dengan sungai yang dahulu dapat dilalui oleh perahu-perahu kecil yang mengangkut barang-barang dari gudang ke kapal besar yang bersauh di tengah laut. Bangunan-bangunan saat itu kebanyakan dibuat dari bahan non-permanen. Permukiman Eropa di Semarang mengalami perubahan bentuk mencolok setelah meletusnya pemberontakan Geger Pecinan tahun 1741. Pada pemberontakan tersebut, permukiman Tionghoa di selatan benteng Vijfhoek musnah terbakar. Orang-orang Tionghoa lalu disingkirkan dari sana dan tempat tersebut diambil alih oleh golongan Eropa untuk memberikan ruang pelebaran tempat tinggal mereka.
Peta kota lama Semarang sekitar tahun 1787 yang memperlihatkan tembok keliling (nationaalarchief.nl)
Untuk melindungi penduduk Eropa, maka dibuatlah tembok dan parit baru yang mengelilingi kawasan permukiman Eropa. Benteng Vijfhoek lantas dirobohkan. Proses pembuatan tembok tersebut selesai pada tahun 1760 (Peteri, 17 Oktober 1925). Selama beberapa tahun, kawasan yang dikelilingi tembok tersebut menjadi pusat kehidupan orang Eropa di Semarang. Saat Stockdale mengunjungi Semarang pada tahun 1800 awal, ia mendapati "benteng di Semarang berada dalam keadaan yang sama seperti semua benteng milik VOC, sangat buruk dan menyedihkan. Dinding yang mengelilinginya rendah dan hampir runtuh." (Stockdale, 2021, 178). Lambat laun, keberadaan tembok kota dirasa tidak berguna untuk sarana pertahanan sehingga tembok keliling tersebut disingkirkan pada tahun 1824 dan menyisakan sejumlah toponim jalan yang dipakai selama masa kolonial. Misalnya Westerwalstraat (Jalan Tembok Barat, kini Jalan Mpu Tantular-Sendowo), Oosterwalstraat (Jalan Tembok Timur, kini jalan Cendrwasih), Noorderwalstraat (Jalan Tembok Utara, kini Jalan Merak), Zuiderwalstraat (Jalan Tembok Selatan, kini Jalan Sendowo).
Pemandangan udara kota Semarang pada tahun 1930. Kala itu Semarang sudah berkembang pesat menjadi kota niaga yang ramai. Menurut Baldinger, beberapa faktor yang menyebabkan majunya perniagaan di Semarang antara lain, upah buruh yang cukup rendah, bahan mentah yang mudah didapat, dan murahnya harga tanah. (sumber foto : commons.wikimedia.org).
Pemandangan udara Kali Semarang tahun 1930. Keterangan 1 : Gereja Blenduk. 2 : Kantor K.P.M (sekarang Pelni) 3 : Kantor Rotterdamsche Llyold. 4 : Uitkijk atau Menara Syahbandar. 5 : Kantor N.H.M (sekarang Bank Mandiri). 6 : Kantor Koloniaale Bank (sekarang Paphros). 7 : Kantor Cultuurmaatschappij ter Vorstenlanden. 8 : Kantor Pos. 9 : Alun-alun Semarang (sumber : Semarang beeld van een stad).
Semenjak tembok kota dilenyapkan pada tahun 1824, perkembangan kawasan Eropa tampak terhenti meskipun sudah mulai banyak didirikan bangunan permanen. Hal tersebut dikarenakan adanya kebijakan tanam paksa yang perdagangan komoditasnya masih dalam kendali pemerintah kolonial sehingga jumlah pedagang swasta Eropa di Semarang belum begitu besar saat itu. Setelah sistem tanam paksa dirasa gagal, maka pemerintah kolonial secara bertahap membuka keran untuk perdagangan swasta. Perlahan kegiatan perdagangan dan pelayaran mulai berkembang, terlebih semenjak pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869 yang memperpendek hubungan antara Belanda dan Hindia-Belanda. Sejumlah pembangunan dilakukan guna menyambut arus perdagangan yang diperkirakan akan lebih ramai dari sebelumnya. Pada tahun 1867, dimulai pembangunan jalur kereta api pertama di Hindia-Belanda yang menyambungkan Semarang dengan Vorstenlanden. Kemudian disusul dengan pembuatan kanal baru pada tahun 1872 sebagai tempat bongkar muat barang. Sepanjang kanal yang dikenal dengan Kali Baru tersebut, berdiri gudang-gudang milik perusahaan swasta. Meskipun demikian, kehidupan ekonomi swasta di kawasan Eropa masih belum terlalu bergairah akibat meletusnya perang Perancis-Jerman pada tahun 1870 yang menyebabkan pergolakan ekonomi di Eropa dan berdampak sampai Hindia-Belanda.
Peta Kota Lama Semarang tahun 1909. (Sumber : digitacollections.universiteitleiden.nl)
Memasuki abad ke-20, Semarang mulai menunjukan tanda-tanda pertumbuhan ekonomi. Fungsi kawasan Kota Lama akhirnya bergeser dari kawasan hunian menjadi distrik komersil atau dalam bahasa Belanda disebut zakencentrum. Kendati perniagaanya maju, namun bukan berarti tiada kendala dalam perkembangannya. Hal itu diakui oleh insinyur Baldinger dalam artikelnya di majalah Locale Techniek edisi Maret 1938. Menurutnya, perniagaan di Semarang masih terhambat dengan kurang terhubungnya sarana perhubungan seperti pelabuhan masih kurang teratur dan tidak tersambungnya jalur kereta milik N.I.S dan S.C.S. Derasnya arus investasi di Semarang seringkali tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan buruh yang akhirnya memicu munculnya gerakan Sosialis di Semarang, membuat Semarang berjuluk sebagai Kota Merah. Tidak terhitung berapa banyak gesekan antara kaum buruh dengan pengusaha yang berujung pada aksi pemogokan buruh.
Societeit Amicita yang kemudian menjadi kantor Nederlansche Handel Maatschappij.
(sumber foto lama : media-kitlv.nl)
Deretan bangunan kolonial yang berdiri amat megah di bantaran Kali Semarang itu menjadi saksi sejarah perjalanan kota bandar dengan geliat niaga yang ramai itu. Di jalan itu, akan terjumpa beberapa bangunan yang dulu menjadi kantor perusahan pelayaran, keuangan, dan perkebunan. Persis di mulut kawasan Kota Lama, terdapat bekas kantor Nederlandsch Handel Maatschappij (NHM) yang kini menjadi kantor Bank Mandiri. Lama sebelum kantor NHM dibangun di tempat tersebut, pada tempat yang sama terdapat rumah sementara residen Semarang yang ditunjuk VOC pada tahun 1702 (Peteri, 25 Juli 1925). NHM sendiri dibentuk pada 1825 oleh Raja Willem I untuk menghimpun dan memperdagangkan semua hasil perkebunan sistem tanam paksa. Oleh karena perannya yang cenderung bersifat monopoli itu, NHM kadang disebut sebagai “VOC Kecil”. Perusahaan NHM membuka cabang di Semarang sejak tahun 1826. Lokasi kantor pertama NHM di Semarang menempati bekas kantor pemerintahan zaman VOC. Pada tahun 1854, bangunan tersebut habis terbakar sehingga NHM memindahkan kantornya ke tempat lain. Bekas lahannya kemudian dibangun Societeit Amicitia yang menjadi tempat utama orang-orang Belanda di Semarang berkumpul sebelum dibangun Societeit Harmonie di Bojong. Pada awal tahun 1907, NHM membeli lahan Societeit Amicitia dan bangunan tersebut dikosongkan. Sebelum pembongkaran, bangunan kosong tersebut sempat digunakan sebagai area permainan sepatu roda (De Locomotief, 2 Juli 1907) Bangunan Soceiteit Amicitia dirubuhkan untuk diganti bangunan kantor baru NHM rancangan Prof. Klinkhamer dan B.J. Ouendag, arsitek yang merancang bangunan kantor Nederlandsche Indische Spoorweg Mij. atau kini dikenal sebagai Lawangsewu (De Locomotief, 13 Januari 1908). Gedung baru NHM tersebut memiliki beranda keliling yang lebar dan tampak mencolok dengan sebuah menara di sudut bangunan yang menyambut setiap orang yang memasuki kawasan ke Kota Lama. Aslinya, menara tersebut akan ditambahkan dengan jam. NHM mulai menempati gedung tersebut pada Juni 1910. Selain NHM, gedung tersebut juga ditempati oleh perusahaan dagang Geo-Wehry & Co (Het Nieuws dan den dag voor N.I, 23 Juni 1910). Pada zaman pendudukan Jepang, kantor NHM digunakan sebagai kantor Bank of Taiwan Ltd. (Soerabiasch Handelsblad, 22 Mei 1942).
Pemandangan Kali Semarang pada tahun 1890an. Pada tahun 1900 hingga 1930an, banyak bangunan di kiri sungai dibongkar dan diganti bangunan baru. (Sumber : nationaalarchief.nl)
Bangunan kantor Handelsvereeniging dilihat dari dekat Jembatan Mberok (Sumber : media-kitlv.nl)
Bekas kantor Handelsvereeniging Semarang.
Selain gedung NHM, pengunjung Kota Lama juga disambut dengan bangunan kantor sekretariat Handelsvereeniging Semarang atau kamar dagang Semarang yang dibentuk pada April 1854 dan resmi berbadan hukum pada 16 Agustus 1857. Tujuan dibentuknya lembaga tersebut adalah sebagai wadah para swasta di Semarang sehingga mereka dapat menyuarakan aspirasi dan membujuk pemerintah kolonial untuk membuat aturan yang membantu kemajuan perdagangan swasta. Salah satunya adalah dengan "mengompori" pemerintah kolonial untuk membuatkan jalur kereta Semarang-Vorstenlanden. Jumlah keanggotaan dalam Handelsvereeniging Semarang tidak menentu, kadang naik kadang turun tergantung dari situasi ekonomi dan politik. Jumlah keanggotaan Handelsvereeniging Semarang terbanyak mencapai 118 anggota (Algemeen Handelsblad, 4 April 1929). Handelsvereeniging Semarang mulanya memiliki sekretariat di belakang rumah G.C.T. van Dorp. Lalu sekretariatnya dipindahkan ke salah satu ruang kantor NHM pada 1 Mei 1910. Sejak 23 September 1922, Handelsvereeniging Semarang menempati bangunan baru yang berada di seberang kantor NHM. Bangunan itu sendiri merupakan karya dari biro arsitek "Karsten, Lutjens dan Toussaint" (De Sumatra Post, 27 September 1922).
Bekas kantor Koloniaale Bank.
(sumber foto lama : media-kitlv.nl)
Selain NHM, konglomerasi lain yang berkantor di dekat Jembatan Berok adalah "Koloniale Bank" yang menempati sebuah gedung dengan tampilan seperti gedung tua di bantaran kanal Amsterdam. Bangunan tersebut dibangun pada tahun 1908 sebagai pemberian dari Mayor Tionghoa Semarang saat itu, Oei Tiong Ham, kepada "Koloniale Bank". Koloniale Bank dibentuk di Amsterdam pada tahun 1881 untuk menyediakan pinjaman modal kepada pengusaha perkebunan di Hindia-Belanda. Koloniale Bank memulai kiprahnya di Jawa Tengah dengan pembukaan kantor cabang di Semarang pada bulan Juni 1883. Sebelum berkantor di lokasi yang sekarang menjadi kantor Phapros, "Koloniale Bank" menempati kantor di Hogendorpstraat. Kantor Koloniale Bank di Semarang menjadi tempat pelatihan untuk pegawai junior sebelum bekerja di kantor induk di Surabaya. Usia "Koloniale Bank" di Semarang hanya bertahan sampai 52 tahun saja karena Koloniale Bank menutup kantor tersebut pada Januari 1935, imbas dari krisis ekonomi yang mendera pada awal tahun 1930an. Seluruh operasional Koloniale Bank Semarang selanjutnya dipindahkan ke Surabaya (De Locomotief, 31 Desember 1935).
Gedung Cultuur Maatschappij der Vorstenlanden dengan menara kembarnya.
(sumber foto lama : media-kitlv.nl)
Selanjutnya, menempel di selatan kantor Koloniale Bank, terdapat gedung kantor yang berdiri begitu anggun dengan dua menara kembarnya. Gedung itu dulu ditempati oleh perusahaan konglomerasi perkebunan bernama "Cultuurmaatschappij der Vorsteenlanden". Perusahaan tersebut sejatinya adalah kelanjutan dari perusahaan "Dorrepaal & Co" yang ha
https://www.facebook.com/share/18SUSCWatx/
Comments
Post a Comment