KESABARAN SANG PEMECAH BATU
KESABARAN SANG PEMECAH BATU
by Yogie W. Abarri
Beberapa tahun yang lalu saya pernah mengawal proyek penyediaan air bersih di bagian paling atas lereng Merapi. Ada dua proyek, kita kerjakan di dua lokasi yang berbeda. Yang satu di Kec. Srumbung. Yang satunya lagi di Kec. Dukun. Keduanya terletak di wilayah Kab. Magelang.
Yang di Kec. Dukun, tepatnya di Dusun Trono Desa Krinjing. Dan yang di Kec. Srumbung, tepatnya di Dusun Pule Desa Tegalrandu.
Keduanya adalah dusun paling atas di sisi lerengnya masing².
Saat mengawal proyek yang di Pule, kita mendapatkan hasil akhir yang jauh lebih massif daripada anggarannya. Karena yang semula anggaran untuk beli batu dan pasir, bisa kita optimalkan untuk beli semen, besi, dan pipa.
Mengapa bisa begitu? Karena profesi mayoritas penduduknya (selain petani) ternyata adalah juga sebagai penambang pasir dan pemecah batu.
Pasir bisa mereka usahakan sendiri.
Dan batu (pondasi) bisa mereka siapkan sendiri. Mau bentuk dan ukuran yang bagaimana pun, mereka bisa usahakan.
Di dusun itulah saya mendapat pelajaran tentang kesabaran seorang pemecah batu.
Batu buuuesar dan tampak sangat keras, ternyata bisa dibelah dengan palu (bodem).
Sekali lagi... dengan palu, bukan dengan gergaji.
Awalnya Si Pemecah Batu memukuli salah satu sisi batu dengan nyaris 20x pukulan.
Tak ada perubahan. Batu tampak tak bergeming dan tak terpengaruh dengan pukulan² itu.
Gila. Mana mungkin pecah batu ini hanya dengan palu sekecil itu. Batin saya.
Ya. Dibanding ukuran batunya, ukuran palu bodem itu memang jadi tampak mungil banget.
Lalu Si Pemecah Batu memanggil beberapa temannya, mengambil linggis dan bersama² membalik batu yang tampak sangat angkuh itu. Kemudian ia kembali memukuli batu tersebut dengan palu "imut"-nya itu.
Entah berapa kali pukulan, saya sudah mulai malas menghitungnya. Dan memilih menyeruput kopi bersama tim media yang menyertai saya.
Dari sudut mata saya melihat manusia tak berbaju itu tampak memutar² batu dan memukulinya terus silih berganti. Diputar, dipukuli. Diputar lagi, dipukuli lagi.
Tiba²... KRAKKK !!!
Batu saya saksikan terbelah, sambil mengeluarkan suara yang keras sekali.
Sampai melompat berdiri saya karenanya. Dan saya pun melotot seolah tak percaya ketika melihat batu raksasa itu benar² terbelah.
Setelah terbelah menjadi dua, Si Pemecah Batu kembali melanjutkan aksinya. Terus dan terus. Sehingga batu yang ukurannya semula bahkan lebih besar dari tempat tidur itu pun terpecah menjadi banyak bagian, yang tiap bagiannya tak ada yang lebih besar dari kepala manusia.
Batu besar yang akhirnya terbelah dua itu, bukan terbelah oleh hanya satu pukulan yang terakhir itu saja. Pukulan² sebelumnya, bahkan sejak yang pertama, sesungguhnya ikut menyumbang kontribusi retakan di dalam batu itu.
Bila setelah sekian kali pukul Si Pemecah Batu menyerah karena melihat pukulannya yang seolah tak berdampak... maka batu itu dijamin takkan pernah pecah.
Atau setelah kita tinggal malah pecah hanya gara² terbentur oleh tempurung seekor kura².
Demikian pula dakwah. Kita mungkin pernah menemukan seseorang yang berkepala batu. Kita dakwahi berkali² seolah tampak tak bergeming.
Jangan salah. Karena sesungguhnya "pukulan" kita itu telah menyumbang suatu retakan tertentu di dalam dirinya. Dan kita tidak perlu merasa tak berguna ketika Si Kepala Batu itu akhirnya pecah di tangan orang lain.
Otomatis kita juga tak perlu menepuk dada ketika berhasil "membelah" seorang kepala batu. Karena bukan tidak mungkin pukulan kita itu sebenarnya cuma bagai benturan tempurung kura² pada batu yang di dalamnya sudah penuh retakan akibat pukulan² sebelumnya.
Jadi teruslah berdakwah. Dan Anda tak perlu merasa tak berguna ketika "pukulan" Anda itu seolah seperti tak berdampak.
Percayalah, "pukulan" Anda itu berdampak. Setidaknya buat diri Anda sendiri. Yaitu berdampak menambah tabungan pahala Anda, karena Anda telah melaksanakan dakwah, yang mana itu hukumnya adalah fardhu 'ain.
Siap berdakwah? Siap untuk terus menambah amunisi dakwah? [UYWA]
Telegram Backup :
https://t.me/bukangoresanpena
Comments
Post a Comment