Itulah seburuk-buruknya sosok seorang pemimpin.
Terlepas dari kekurangan di sana-sini, saya pikir ada benarnya ungkapan pengacara keluarga Yosua, Kamaruddin Simanjuntak: "... kita harus selamatkan Indonesia ini melalui suatu tindakan yang tepat, yaitu pada tahun 2024, pilihlah pemimpin yang baik dan bertanggung jawab supaya Indonesia ini kita benahi bersama."
Secara implisit mau dikatakan bahwa Presiden Jokowi bukanlah pemimpin yang baik dan bertanggung jawab. Konteksnya adalah meskipun empat kali bilang agar kasus Yosua dibuka seterang-terangnya tapi sejatinya Jokowi tidak melakukan hal yang penting. Sebab, tidak cukup hanya menginstrusikan hal tersebut tapi ia harus melakukan sesuatu supaya Polri tidak terjebak dalam lumpur seperti sekarang.
Kita pindah soal lain, Instruksi Presiden (Inpres) 7/2022 yang diteken Jokowi pada 13 September 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Kita tahu tidak ada masalah dengan energi baru terbarukan dan seterusnya. Tapi, apakah Jokowi masuk kategori pemimpin yang baik dan bertanggung jawab jika ia mengabaikan konflik kepentingan dalam bisnis mobil listrik yang berkaitan dengan pejabat di sekelilingnya?
Inpres itu memberikan penugasan khusus antara lain kepada Menko Marives dan Kepala Staf Kepresidenan meskipun keduanya setidak-tidaknya ada kaitan dengan perusahaan yang bergerak di bidang kendaraan listrik.
Menko Marives---saya kutip persis pernyataan pihak Toba Sejahtra---merupakan pemegang saham minoritas yang kepemilikan sahamnya dalam PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA) berjumlah kurang dari 10%. TOBA dan GOTO adalah pemain bisnis kendaraan listrik melalui Electrum.
Kepala Staf Kepresidenan---saya kutip persis seperti laman resminya---dan PT Mobil Anak Bangsa Indonesia (MABI) didirikan tahun 2017 oleh Jenderal TNI (Purn) Moeldoko sebagai wujud tindakan mendukung program pemerintah dalam program energi nasional. Orang boleh tafsirkan mendukung program pemerintah adalah dengan cara mendirikan perusahaan sekaligus menjadi pejabat teras.
Inpres itu memberikan kewenangan kepada para pejabat yang ditunjuk untuk menetapkan regulasi, menetapkan anggaran khusus, dan mendorong penggunaan kendaraan listrik di pemerintahan.
Ceritanya akan sama saja dengan Program Kartu Prakerja yang berbenturan kepentingan dengan staf khusus presiden yang pemilik Ruangguru; akan serupa dengan investasi Rp6,4 triliun Telkomsel di GOTO yang ada kakak Menteri BUMN di situ; akan sama pula dengan bisnis pinjol Amartha yang ada pendirinya di staf khusus presiden;
Akan sama kisahnya dengan Wali Kota Solo yang adalah putra sulungnya yang menjabat rangkap sebagai pengurus korporasi swasta PT Siap Selalu Mas; sama cerita dengan bisnis PCR yang di dalamnya ada juga TOBA dan di sisi lain tahu sendiri betapa besar peran Menko Marives dalam kebijakan penanganan pandemi.
Bicara kendaraan listrik, belum saja kita persoalkan bagaimana penyediaan listriknya oleh PLN. Siapa yang memasok batu bara sekaligus penyedia listrik swastanya dan sejauh mana kaitan bisnisnya secara langsung maupun tidak langsung dengan para pejabat aktif.
Kita tahu ujungnya, Presiden Jokowi tidak pernah peduli soal konflik kepentingan itu, yang bisa kita tafsirkan, merupakan contoh nyata pemimpin yang tidak baik dan tidak bertanggung jawab.
Itulah seburuk-buruknya sosok seorang pemimpin.
Salam.
https://www.facebook.com/1311891821/posts/pfbid02H58Dj9N3nty1CveaKi5iM6KLe92ZCZQApEbm7eA7HcqF2ApKN4L2wzZoTg5PvFSPl/
Comments
Post a Comment