cerpen: Diterima Kerja

Bab 1. Diterima Kerja
"Jadi kamu janda? Sudah punya anak berapa? Umur kamu 39 tahun. Penampilan kamu juga bersih. Saya suka," kata Nyonya Besar yang duduk di sofa. 
Dia kini memegang surat lamaranku yang berisi berkas lengkap tentangku. Hanya ijazah terakhir saja yang tidak aku lampirkan. Masa seorang lulusan Diploma III melamar jadi pembantu? Bisa langsung ditolak nanti. 
Beliau berusia sekitar 75 tahun, kelihatan sekali orang kaya. Baju sutra, perhiasan berkilau, dan rambut yang disasak ke atas menunjukkan kelasnya.
Tadi, sebelum aku masuk, aku sudah di-interview oleh pegawai senior dan diajari harus bersikap bagaimana. Mereka mencari pembantu untuk di rumah anak sulungnya. Lowongan pekerjaan online dengan tawaran gaji di atas UMR membawaku ke sini. Sekarang, interview terakhir yang menentukan diterima atau tidak. Katanya, sudah tiga bulan proses ini berlangsung dan belum ada yang cocok.
“Iya, Nyah. Saya janda mempunyai anak satu. Anak saya bersama neneknya di kampung. Dia sudah besar. Jadi, saya bisa konsentrasi di pekerjaan ini. Saya janji tidak sering minta pulang kampung.” 
"Kamu ini belum ada pengalaman kerja. Memang kamu sanggup dengan pekerjaan ini? Kami membutuhkan pengurus rumah untuk anak saya. Semua keperluan rumah kamu yang atur. Syaratnya satu, jujur. Kamu sanggup?"
"Saya sanggup, Nyah. Saya belum pernah kerja sebelumnya, tetapi saya yakin bisa."
Aku tidak terlalu mengerti dengan pengurus rumah itu apa, bukannya sama dengan pembantu, ya? Kenapa harus mengatur semua keperluan rumah? Mungkin, yang dimaksud nyonya besar adalah belanja, bersih-bersih, dan masak? 
Ah, yang penting dapat pekerjaan halal! Semoga aku diterima di pekerjaan ini. Biaya sekolah Wisnu yang tidak sedikit, memaksaku untuk menerima pekerjaan ini. Setelah bercerai dengan Mas Bram, semua kebutuhan Wisnu aku yang memanggung. Aku tidak sudi berhubungan ataupun meminta harta ke tukang selingkuh itu. 

“Maharani, kau harus kuat dan semangat!” batinku.
“Kamu, saya panggil Rani, ya. Kamu diterima untuk pekerjaan ini. Masa percobaan tiga bulan. Kalau lolos, kamu lanjut menjadi pembantu di rumah anak saya. Kalau tidak, kamu harus pulang. Karena pekerjaan ini berat, kamu saya gaji enam juta untuk sementara! Saya harus lihat kualitas kerja kamu!"
“Haah? Enam juta per bulan sebagai pembantu? Seberapa berat pekerjaanya, sih?” batinku yang kebingungan. 
Tidak ada pekerjaan di luar sana yang gaji awalnya segitu! 
Apalagi, dengan umur yang sudah tidak muda lagi, seperti aku!

Bab 2. Meja Kerja Pembantu

Akhirnya, aku mendapatkan pekerjaan! Aku sangat senang.

Anita, karyawan senior di rumah ini, mengantarku ke rumah Tuan Kusuma Adijaya.

Dalam perjalanan, Anita menjelaskan tentang beliau. Beliau merupakan anak sulung Nyonya Besar dan mempunyai satu anak perempuan bernama Amelia Adijaya. Katanya, anak beliau sudah sekolah SMP kelas dua.

Lalu, tugasku adalah mengurus rumah dari A sampai Z dan setiap seminggu sekali Anita akan datang untuk mengecek semua berupa laporan tertulis. Semua itu tugasku, termasuk memasak, belanja, bertanggung jawab dengan penataan rumah, sampai laporan keuangan.

"Maaf, Mbak Anita. Pekerjaannya banyak sekali. Nanti, saya di sana sendirian?"

"Yang bertanggung jawab, Bu Rani sendiri. Tapi, ada Pak Maman sebagai sopir dan Bik Inah yang akan bantu. Selain itu, ada satpam, tiga orang. Semua jadwal sudah saya atur, tapi nanti Bu Rani bisa atur ulang. Nantinya, semua karyawan di rumah tetap di bawah tanggung jawab Bu Rani," jelas Anita.

"Ini buku yang sudah saya rekap tentang jadwal Tuan Kusuma dan Nona Amelia. Di sini juga dijelaskan apa kesukaan mereka dan apa yang harus dihindari. Semua lengkap. Ada juga nomor telepon saya yang bisa dihubungi kalau keadaan terpaksa. Bagaimana, Bu? Ada yang ditanyakan?"

Satu buku tebal ditaruhnya di pangkuanku. Dasar orang kaya! Cari pembantu sampai seperti ini. Pantesan, sampai berbulan-bulan tidak dapat pegawai! Di-training saja sudah nyeremin.
"Mbak Anita, saya mau tanya. Memang, istri Tuan Kusuma ke mana? Apakah sibuk juga?" Aku heran karena semua pekerjaanku seperti tugas seorang istri, bukan tugas pembantu. Apalagi, di sana juga sudah ada Bik Inah.

"Oh iya, lupa saya! Tuan Kusuma, duda. Istrinya meninggal ketika Amelia umur 5 tahun. Ada lagi tugas khusus, yaitu memperhatikan Nona Amelia. Dia sudah ABG. Pesan Nyonya Besar, Bu Rani harus mengurus keperluan dia. Siap ya, Bu?" kata Anita memastikan kesungguhanku.

"Insyaallah, siap."

*****

Mobil yang kunaiki sudah memasuki rumah yang mempunyai gerbang tinggi—nyaris tidak kelihatan orang berdiri dari luar. Rumah dengan design Romawi ini terlihat mewah dengan aksesoris mahal di sana-sini. Ada banyak guci kuno, lampu kristal, dan hiasan sclupture yang aku tahu pasti bahwa harganya mahal.

"Ayo masuk, Bu Rani. Di rumah, masih sepi. Non Amelia sekolahnya full-day. Tuan Kusuma juga di kantor sampai sore. Jadi, cuma Bik Inah yang di rumah."

"Rumah segede ini, hanya mereka berdua saja? Tetapi, Bik Inah juga tinggal di sini, kan?"

"Bik Inah dan Pak Maman suami istri. Mereka tinggal terpisah di rumah belakang. Ini kamar Bu Rani. Sebelah sini, ada kamar Non Amelia. Di ujung dekat taman, ada kamar kerja Tuan Kusuma. Kalau kamar Tuan Kusuma, ada di atas."

Kamarku besar sekali, ber-AC, dan ada kamar mandi di dalamnya. Nyaman sekali! Ini terlalu mewah untuk kamar seorang pembantu. Letaknya juga berdekatan dengan kamar nona rumah ini. Sepertinya, karena tugas khusus itu, aku harus dekat dengannya.

Anita mengajakku keliling rumah. Rumah dua lantai ini sangat luas dan mewah. Aku harus mengingatnya dengan jelas, takut kesasar. Setelah berkenalan dengan Bik Inah dan Pak Maman, kami ke ruangan dekat dapur.

"Ini ruang kerja Bu Rani. Semua file penting ada di komputer. Berkas lain juga ada di folder ini. Maaf, agak berantakan. Saya tidak sempat merapikan karena harus mondar-mandir ke rumah Nyonya Besar," jelas Anita panjang lebar.

Ruang kerjaku ini seperti di kantor saja. Ada meja kerja yang di atasnya ada komputer. Beberapa folder ada di rak berjajar rapi. Aku ini pembantu, tetapi kok seperti kerja kantoran? Pembantu yang mempunyai ruangan kerja? Aneh sekali….

Ah, tapi yang penting, gajinya besar! Senyumku seketika mengembang mengingat nominal gajiku.

"Bu Rani, semua sudah saya jelaskan. Tolong dicari tahu sendiri. Ini ponsel untuk kerja. Ini juga ada brankas untuk simpan uang cash, dan ini kartu debitnya. Saldo bisa dicek di internet banking atau mobile banking. Semua data ada di sini. Apa ada yang ingin ditanyakan, Bu?"

"Saya mengerti. Insyaallah, saya bisa," jawabku mengangguk mantap.

Aku yakin akan sanggup menjalani pekerjaan ini. Pengalamanku yang pernah menjadi manajer restoran, mengatur keuangan perusahaan mantan suami, dan tentunya ibu rumah tangga, tentu akan sangat membantuku dalam mengelola keperluan Tuan Kusuma dan Nona Amelia.

"Baiklah. Kalau begitu, Bu Rani punya waktu satu minggu untuk tanya-tanya ke saya. Silakan tanyakan secepatnya. Saya mau cuti menikah, Bu," ucap Anita sambil tersipu. Dia masih muda—sekitar 25 tahun. Hebat sekali perempuan ini bisa mengurus rumah besar dan rumah Tuan Kusuma walaupun sementara.

"Jadi, semua keperluan rumah di sini tanggung jawab Bu Rani, termasuk mengurus keperluan tuan dan nona. Sudah saya perinci di berkas yang tadi. Kalau begitu, saya permisi dulu."

Anita mengangguk dengan sopan untuk permisi kembali ke rumah besar. Kini, tinggal aku sendiri di sini. Bik Inah masih di belakang mencuci baju, sedangkan Pak Maman sedang merapikan kebun di depan.

Aku kembali ke meja kerja untuk mempelajari file di komputer. Uang cash yang ada di sana berjumlah Rp 8.659.000,- dan saldo di rekening Rp 35.879.453,-, aku segera mencocokkan dengan laporan sebelumnya. 

Jadi, aku harus mengelola semuanya untuk keperluan rumah? Pantesan, Nyonya Besar bilang kalau harus jujur. Ternyata, karena ini! 

Folder demi folder aku pelajari agar aku benar-benar mengerti. Pekerjaannya berat untuk seorang pembantu, pantas saja digaji tinggi.

****

Sudah mulai sore. Dengan dibantu Bik Inah, aku menyiapkan makanan sesuai jadwal menu: rendang, opor ayam, dan cah kangkung. Menu sudah ada. Begitu pula, resep yang harus diikuti. Hanya saja, aku modifikasi sedikit agar lebih lezat. Contohnya, rendang ditambah koya kelapa. Jadi, akan terasa gurih dan lebih kering.

Sepertinya, lauknya berat semua. Aku cek di dalam kulkas. Ada ikan laut di sana. Sepertinya, enak kalau dibuat pepes bakar. Aku mempunyai resep sendiri. Nanti, rasanya akan manis, asam, dan pedas sedikit—segar dan lezat. Aku mencoba membuat ini, mungkin mereka suka.

Dan, menunggu Tuan Kusuma dan Nona Amelia.

Bab 3. Amelia yang Manis

Terasa hilang pegal di badan dan sedikit terurai otakku yang penuh dengan ingatan file-file tadi. 
Hmmm ... ternyata capek juga.
Aku kini memakai baju bersih—baju hijau toska dipadukan dengan rok tiga perempat dengan warna hijau tua. Rambut disanggul rapi dan riasan tipis. Mbak Anita sudah berpesan, aku harus selalu tampil rapi dan bersih.
Aku cek ponsel, mungkin ada yang menghubungi. Satu pesan yang masuk, dari Wisnu—anakku.
[Ma, bagaimana pekerjaannya? Mama baik-baik saja?]
[Mama sudah di tempat kerja. Alhamdulillah, kerjaannya lancar. Kamu jaga diri. Doakan Mama selalu sehat.]
[Selalu, Ma. Wisnu selalu berdoa buat Mama. I love you, Ma]
Dia langsung menjawab pesanku. Ini menunjukkan bahwa dia menantikan balasanku sedari tadi. Terasa sesak di dada, ingin menangis karena perhatiannya. Aku menghela napas dalam-dalam mencari kekuatan. Aku harus kuat dan tega kepada Wisnu, supaya dia menjadi anak yang mandiri dan kuat.
[Iya, sayang. Love you, anakku<3]
Wisnu, dia anak satu-satunya. Setelah berpisah dengan Mas Bram—mantan suamiku—kami menetap di rumah orang tuaku. Hanya tinggal ibu saja di sana, bapak sudah meninggal. Ibu mempunyai beberapa peternakan ayam yang dikelola rekanan. Nanti, hasil usaha akan dibagi sesuai kesepakatan. Hasilnya lumayan untuk kehidupan kami bertiga. Namun, akhir-akhir ini, harga tidak stabil. Kami kemudian mengalami kebangkrutan. Bukan untung, malah tabungan kami keikut untuk biaya operasional.
Minggu kemarin, Wisnu memberi kabar gembira. Kabar ini yang membuat aku bertekad untuk mencari pekerjaan dengan berpenghasilan tetap.
"Mama … Mama! Aku diterima kuliah!" teriak Wisnu kala itu. Dia berlari dan memelukku. Wajahnya terlihat sangat senang, cita-cita sekolah di perguruan tinggi di Malang tercapai. Arsitektur, jurusan yang menjadi pilihannya.  
"Alhamdulillah, Nak. Akhirnya, kerja kerasmu tercapai. Mama senang sekali." Aku mengusap rambutnya yang panjang ikal sebahu. Rambutnya gondrong. Dia berjanji akan memotongnya kalau yang diinginkan tercapai. Badannya sudah kelihatan tinggi, dengan tinggi sekitar 170 cm, kulit sawo matang, dan wajah bersih, dia kelihatan lebih dewasa dan ganteng.
Aku bertekad untuk mengantarmu menjadi orang sukses tanpa mengandalkan Mas Bram, Papamu. 
Sakit hati ini kalau mengingat pengkhianatannya. Tiga tahun ternyata dia membohongiku.
Tiga tahun, aku dibodohi mereka!
Pembukaan cabang di Batam hanya sekedar kedok untuk menyembunyikan istri barunya. Sampai mereka mempunyai dua anak! Bodohnya, aku tidak menyadari pengkhianatan ini. Aku sangat kecewa dan merasa menjadi orang bodoh sedunia. 
Saat ini, anggap saja kembali seperti dulu ketika kami tidak pernah kenal. Ya, kembali di titik awal itu.
Aku menganggap tidak pernah mengenal Mas Bram dan mencoretnya dari kisah hidup ini. Oleh karena itu, aku menolak dengan tegas pembagian harta ataupun biaya untuk Wisnu. Aku bertekad menghilangkan namanya dari hidupku.
Aku ingin hidup tenang.
“Tin ... Tin ... Tin ....” Terdengar bunyi klakson mobil.  
Aku melonggokkan kepala ke depan, ternyata Nona Amelia pulang dari sekolah.
"Selamat siang, Nona Amelia. Perkenalkan, saya Maharani, panggil saja Rani," ucapku memperkenalkan diri.
"Ini Tante Rani, ya! Wah, sudah dateng!" Dia langsung menghampiriku, memelukku, dan menggelayut manja seperti seorang anak kepada ibunya. Tanpa rasa canggung sedikit pun.  
Anak ini manis sekali. Sejenak, aku teringat Wisnu. Wajahnya cantik putih bersih, memakai baju seragam kotak-kotak, sepatu putih—cantik sekali.
"Non, segera bersih-bersih dan langsung makan, ya. Tante sudah masak buat Non Amelia."
"Ok!" jawab Amelia. Dia langsung berlari ke kamarnya. 
Gegas, aku menyiapkan makanan di atas meja makan dengan piring, sendok, garpu, termasuk napkin yang ditata sedemikian rupa seperti di restoran. 
Di buku panduan tercantum, anak ini menyukai jus mangga. Dia juga tidak suka jus buah naga. Baik, aku buat jus mangga dengan racikan seperti di restoran tempatku pernah bekerja. Dulu, sebagai manajer, aku tahu benar resep dan rasa yang pas. 
"Wow, enak sekali!" teriak Amelia melihat makanan yang tersedia di meja.
"Heeemmm, jusnya enak banget. Tante racik sendiri, ya?! Tidak seperti biasanya," komentarnya setelah minum jus mangga sampai tandas.
"Mau lagi, Te."
"Cukup, ya. Makan dulu. Nanti, Tante buatkan lagi setelah makan. Nona, ayo makan!"
Aku ambilkan nasi di piringnya. Pepes kubuka sedikit. Dia memandangku terus. Apa yang aku lakukan, selalu dia perhatikan.  

Entah, apa yang dipikirkan.
"Tante, jangan panggil aku nona, dong. Aku malu. Panggil aja Amel atau sayang, seperti temanku dipanggil mamanya. Aku pingin gitu," rajuk Amelia kepadaku. 
Matanya menatapku seperti memohon.
Deg ....
Aku iba melihatnya.
"Baik. Tante panggil Amel atau sayang, ya. Ayo, sekarang makan. Ini pakai lauk yang mana, Sayang?" 
Kami pun mulai akrab. Ternyata, Amelia yang memilihku untuk bekerja di sini. Berkas lamaran yang dikirim lewat online dia pelajari semua, dan jatuh pilihannya kepadaku. Katanya, merasa sudah klik.
Ini kesempatan pertama, dia memilih orang yang bekerja di sini. Biasanya, Nyonya Besar yang mengirim orang untuk bekerja mengurus pekerjaan ini. Kata Amelia, orangnya banyak yang aneh-aneh. Paling lama, satu tahun bertahan.
Kami makan bersama karena dia memaksa untuk ditemani. Makannya lahap sekali, bahkan sekarang sudah piring kedua. Seperti lapar sekali.
"Sayang, di sekolah apa tidak makan di kantin?"
"Makanan di kantin tidak enak. Amel malas makan. Di sekolah, makan camilan aja," katanya sambil mengunyah makanannya.
"Kalau Tante bawakan bekal makanan mau?"
"Mau banget, Tante! Wah, aku bisa pamer sama temanku! Biasanya, aku suka dipamerin bahkan diledek sama mereka. Mereka suka bawa bekal, katanya mamanya yang buat. Tolong buat yang enak, ya, tante?" 
Melihat tingkah Amelia, dadaku terasa sesak. Anak ini dari umur lima tahun tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu. 
Kasihan.
Sambil makan, dia terus tersenyum dan sesekali memandangku.
Manis sekali.

Bab 4. Dasar Bos!

Hari semakin malam dan terasa sepi. Bik Inah dan Pak Maman pulang ke rumah belakang. Tinggal satpam saja yang di depan. Setelah makan, Amelia langsung kembali ke kamar. Katanya, banyak tugas sekolah. Rumah sebesar ini terlihat sangat sepi.
Aku berkeliling di dalam rumah, sambil mengenal semua sudut yang ada. Tanggung jawabku besar—apa pun yang ada dan apa pun yang terjadi adalah tanggung jawabku. Apalagi, Tuan Kusuma jarang ada di rumah. Jam segini saja, beliau belum sampai. Kasihan Amelia, pantas dia kelihatan girang melihat kedatanganku.
"Non Amelia sudah menunggu kedatangan, Bu Rani. Makanya, dia seneng banget. Dia tidak ada teman ngobrol. Kalau ngobrol, Bibik sering tidak nyambung. Bibik tidak mengerti dia ngomong apa," kata Bik Inah tadi siang.
Dari lantai paling atas, separuh lantai atas adalah ruang terbuka. Ada ruang fitnes yang menghadap taman di roof top. Di dalamnya, berbagai peralatan tersedia, tetapi seperti jarang digunakan. 
Ada dua kamar di atas, kamar utama—kamar Tuan Kusuma dan satu kamar yang biasanya dipakai Nyonya Besar ketika berkunjung.
Aku buka kamar Tuan Kusuma, kesan maskulin terasa benar. Tercium pengharum ruangan beraroma kayu-kayuan. Cat kamar berwarna abu-abu muda dengan perabotan kayu jati kombinasi metal minimalis, serta seprei warna gelap dan lampu sorot di beberapa titik menunjukkan selera interior design khas zaman sekarang. 
Aku rapikan beberapa pernak-pernik di atas meja nakas. Di sana, aku melihat berkas lamaranku.
“Tap ... tap ... tap ....” Suara langkah kaki bersepatu. 
Aku melonggokkan kepala dan terlihat laki-laki berumur sekitar 40 tahun. Perawakannya tinggi dan agak kurus. Dia menenteng tas kerja. Segera aku berdiri menyambutnya, pasti dia Pak Bos rumah ini!  
"Selamat malam, Tuan Kusuma. Perkenalkan, saya Maharani—karyawan baru di sini."
Dia mengangguk pelan sambil tersenyum dan menyerahkan tas kerjanya. 
"Tolong taruh di meja ruang kerja. Saya mau makan, siapkan cepat. Saya bersih-bersih dulu." 
Oh, ini yang namanya Tuan Kusuma. Penampilan seorang bos memang lain. Kelihatan rapi dan bersih. Segera kutata meja makan seperti tadi. Ditambah air putih hangat dan teh manis di sampingnya. Aku menunggu di kursi yang terletak agak jauh dari meja makan.
"Mbak Rani, kau duduk di sini saja—menemani saya makan sambil ngobrol-ngobrol," kata Tuan Kusuma sembari menunjuk kursi yang harus aku duduki.
"Baik, Tuan."
Mungkin, beliau akan mewawancaraiku, seperti bos kalau menerima karyawan baru. 
"Ini yang masak Mbaknya, ya? Enak. Rendangnya gurih, dikasih apa? Terus ini pepesnya enak juga," tanyanya sambil mencicipi semua makanan yang tersedia. Mulutnya tidak berhenti mengunyah.
"Rendangnya saya kasih koya kelapa, Tuan. Kelapa sangrai yang ditumbuk halus. Kalau pepes ikannya, itu khas Banyuwangi. Ada rasa asam, manis dan pedas. Tetapi, pedasnya saya kurangi. Apa ada yang kurang, Tuan?" 
Deg-degan juga sih. Seperti tes masakan saja. Semoga dia suka.
"Tidak, sih. Saya suka semua. Oh iya, jangan panggil saya tuan. Seperti zaman penjajahan saja," katanya sambil terkekeh. Ternyata dia juga bisa melucu.
"Panggil saya pak atau mas aja!"
"Baik, Pak!" 
Aku sengaja memanggilnya pak, bukan mas. Aku ingin tetap profesional. Bagaimanapun, dia adalah seorang majikan dan aku pekerja.
"Rani! Aku panggil Rani, ya. Buatkan saya seperti pepes ini, tapi, pakai udang. Buat makan siang saya. Besok, sopir kantor akan ambil. Oh iya, menu yang Anita susun kamu ganti saja. Terserah kamu, saya tidak sempat mikir. Saya yakin kamu pintar masak!" kata Tuan Kusuma sambil meneruskan makan malamnya. 
Sambil makan, dia bertanya tentang apa yang aku bisa kerjakan. Apakah bisa mengoperasikan komputer, bisa pakai internet, dan tentunya bisa masak apa saja. Dia juga menjelaskan apa saja yang harus dikerjakan. 
"Hal-hal kecil di rumah, tolong kau atur. Saya tidak sempat."
"Baik, Pak. Apa ada lagi yang harus saya kerjakan?" tanyaku setelah makan malamnya selesai.
"Saya masih ada pekerjaan sedikit. Tolong kamu buatkan minuman hangat? Tenggorokan saya, agak tidak enak." 
"Baik, Pak."
Orang kaya memang enak dilihat dari jauh, tetapi sebenarnya tidak demikian. Pagi sampai sore kerja mengatur perusahaan. Malamnya masih kerja lagi. Tanggung jawabnya besar, banyak yang menggantungkan nasib di pundaknya.
"Malam, Pak." Aku ketuk dulu pintu ruang kerja sebelum masuk. Aku mengantar jahe hangat dan camilan biskuit di nampan.
"Terima kasih, ya. Kau duduk sebentar saja. Saya mau bicara."
"Saya minta tolong. Amelia, anak saya. Dia sudah beranjak dewasa. Tolong dia diperhatikan, ya. Saya tidak sempat. Apalagi, dia perempuan. Kadang-kadang, saya tidak mengerti apa maunya. Jangan sampai dia di jalan yang salah. Kasihan dia, pasti dia merasa kesepian," katanya sambil memperlihat raut wajah sedih.
"Kau sudah punya anak, kan?"
"Anak saya sudah lulus SMA, Pak."
"Oke, siip. Anggap saja dia anakmu. Kalau nakal marahin saja. Saya tidak apa-apa kalau demi kebaikan. Tolong habis ini lihat dia, ya!"
"Baik, Pak." 
"Eh, tunggu!" teriak Tuan Kusuma ketika aku akan menutup pintu. 
Aku membalikkan badan dan mendapati matanya yang menyelidik melihatku dari atas sampai ke bawah. 
Apa aku ada salah, ya?
"Kamu akan sering mendampingi Amelia. Jadi, penampilanmu harus sesuai. Besok, kamu pergi belanja pakaian dengan Amelia. Pakai uang kas. Jangan uangmu!"
"Ba—baik, Tuan. Tetapi, saya sudah bawa baju. Itu tidak perlu. Menurut saya—"
"Tidak perlu bagaimana?! Saya tidak mau anak saya malu karena penampilanmu! Nanti, dia diejek sama teman-temannya. Kamu ngerti, enggak sih? Jangan samakan dengan di kampung! Sudah, sana-sana!" katanya memotong ucapanku sambil mengibaskan tangan menyuruh aku segera pergi.
Huufff ... tadi baik, sekarang julid. Seenaknya saja! Tidak mau dibantah. 
Aku merasa kesal, apa yang salah dengan penampilanku? Bersih dan rapi kok.
Dasar bos!

Bab 5. Tragedi Ayam Lengkuas

"Selamat pagi, Tante." Amelia sudah siap berangkat sekolah. Dia cantik sekali. 
"Ini susunya diminum, ya. Rotinya juga dimakan. Harus sarapan," ucapku sambil menyodorkan segelas susu. Dia minum sedikit, kemudian meneruskan memakai sepatu.
"Ayo ini rotinya. Aaak ...." ucapku menyuapinya dengan roti.
"Tante, aku makan di mobil. Ini bekalku, ya? Makasih tante. Love you. Muach ...." Dia menciumku dan berlari terburu-buru. 
Hemmm .... Anak-anak, di mana-mana, sama saja. Selalu terburu-buru kalau mau berangkat sekolah.
Aku teruskan pekerjaanku di dapur, sekali lagi cek belanjaan hari ini.
****
Daftar belanja sudah kutulis. Setelah Tuan Kusuma berangkat kerja, Bik Inah akan belanja. 
Makanan pagi sudah aku siapkan. Segelas kopi hitam sedikit gula dan roti. 
Sarapannya orang kaya memang lain. Kalau kita di kampung, kalau belum makan nasi itu bukan makan, tapi camilan. Hehehe….
"Pagi!"
"Pagi, Pak Kusuma. Silakan makan pagi. Sudah saya siapkan," ucapku.
"Selain tas kerja, apakah ada yang harus dibawa, Pak?" tanyaku untuk memastikan tidak ada yang ketinggalan.
"Hampir saya lupa! Ada map biru, itu proposal proyek di Bali. Pastikan masuk di tas!" teriak Tuan Kusuma sambil menikmati sarapannya.
"Rani! Rani!" teriaknya lagi memanggilku. Aku yang di ruang kerja setengah berlari ke arahnya. 
Ada apa ini? 
Apa aku ada salah?
"Ini bau apa, ya!?" Tuan Kusuma berdiri di dapur sambil mengendus-endus mencari bau yang dimaksud.
"Bau apa, Pak?" 
"Ini bau masakan. Kamu masak apa?"
Ya ampun, ternyata bau masakan. Aku pikir bau kotoran atau apa. Dia mencium sisa ayam lengkuas yang dibawa Amelia.
"Oh, bau masakan? Saya tadi masak ayam lengkuas buat bekal Amelia," jelasku sambil menunjukkan sedikit sisa ayam tadi. Diambilnya sedikit untuk dicicipi.
"Hemmm, enak …. Kenapa kamu sembunyikan dari saya?!" katanya sambil mengambil satu potong ayam.
"Nanti siang, saya mau dikirim ini, ya? Dan, jangan sekali-kali menyembunyikan makanan dari saya," ancamnya sambil mengambil satu potong ayam lagi.
"Pepes udangnya bagaimana, Pak?"
"Besok!" ucap Tuan Kusuma, kemudian bergegas keluar untuk berangkat kerja.
****
Daftar belanja sudah siap, Bik Inah dan Pak Maman yang berangkat. Aku masih berkutat dengan urusan folder-folder ini yang belum sempat aku pelajari. 
“Dreetttt ... dreetttt ... dreetttt ....” 
Ponsel kerja berbunyi. Aku sebut ponsel kerja karena ini khusus untuk urusan pekerjaan. Di sana sudah lengkap nomor telepon yang berhubungan dengan rumah ini. 
Amelia tiba-tiba mengirim pesan whatsapp. Terlihat fotonya ketika makan bekalnya yang dia bawa tadi. Ada dua foto, dikasih judul before dan after. Foto makanan masih utuh dan foto tinggal kotak kosong.
[Makasih Tante sayang. Love you]

Aku tersenyum membacanya. Alhamdulillah.
[Sama-sama sayang]
[Tante, temanku juga suka. Besok bikin 25 kotak bekal seperti tadi, ya. Aku mau traktir temenku. Porsinya dibanyakin. Love you!]
Apaaa ...!? Dua puluh lima kotak ayam lengkuas!? Ini namanya tragedi! 

Alamat semalaman memarut lengkuas ....

Bab 6. Make Over

Seharian kami sibuk.
Pesanan dadakan ayam lengkuas—langsung dieksekusi hari itu juga. Pak Maman sampai Pak Satpam dapat tugas mengupas lengkuas dan bumbu lainnya. Bik Inah memarut lengkuas. Mereka semangat dengan imbalan nasi kotak ayam lengkuas.
"Lama-lama, kita buka pesanan nasi kotak ya, bu?" celetuk Bik Inah sambil tertawa. 
Aku tersenyum melihat kesibukan ini. Ini benar-benar tragedi!
Aku belanja peralatan untuk nasi kotak. Harus yang bagus, jangan sampai membuat malu. Aku jadi ingat kalau mau hajatan di kampung.
Tak lupa, siang hari nasi bekal makan siang untuk Tuan Kusuma. Kalau lupa, bisa diomelin lagi. Aku siapkan di food pack khusus, sehingga makanan tetap hangat sampai di tempat. Tadi, sudah ada orang dari kantor ada yang mengambil.
Untuk besok, serundeng lengkuas aku goreng dulu dan disimpan di tempat kedap udara. Besok, tinggal goreng ayamnya dan masak nasi. Beres!
“Tring ... tring ... tring ....”
Ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk dari Amelia. 

[Tante! Papa bilang, tante suruh jemput Amel ke sekolah. Langsung mau ke mall. Sekarang ya, Te.]
[OK!]
Aku segera siap-siap. Pilihan pakaianku adalah kemeja putih dan rok bunga-bunga. Tidak ada aksesoris yang mencolok karena memang tidak punya. Yang penting, tampil rapi. Yang penting, jangan sampai kena marah lagi sama pak bos.
"Pak Maman, ayo berangkat. Kita sekarang jemput Amel. Dia sudah menunggu karena pulang cepat."
*****
Sekolah Amelia sangat besar. Mobil penjemput berjajar panjang. Semua merek mobil mewah ada di sana. Pasti sekolah mahal. Ya iyalah, anaknya bos.
[Tante sudah di mana?]
[Sudah di jalan masuk sekolah. Masih antre. Sabar ya ….]
[Tidak usah parkir. Amel tunggu di depan gerbang]
[OK!]
Kata Pak Maman, antrean panjang mobil penjemput terjadi setiap hari. Ini terjadi juga ketika mengantar sekolah. Makanya, Amelia selalu buru-buru. 
Oh itu dia! Kelihatan Amelia celingak-celinguk melihat mobil yang lewat. Pak Maman berhenti, aku turun membukakan pintu untuk Amelia.
"Tante, duduk di belakang, ya. Bareng Amel," katanya sambil menarikku masuk di bangku belakang. Kami langsung menuju mall sesuai arahan Amelia. 
Sampai tujuan, kami langsung menuju butik langganan mereka. Kata Amelia, ini butik langganan keluarga Adijaya. Selain kualitas bagus, koleksinya juga lengkap. Tersedia dari baju anak muda, tua, wanita atau pria, bahkan aksesoris juga ada. Ternyata butik ini berkerjasama dengan beberapa desainer terkenal.
"Selamat siang, Non Amel." 
Kami disambut beberapa pegawai yang menjaga pintu. Diantarkannya kami menuju ruangan seperti ruangan untuk tamu. Seorang wanita cantik keluar dari ruangan menghampiri kami.
"Hai, Amel cantik. Tadi, Papi telepon. Sudah tante disiapkan pesanannya. Ini yang namanya Bu Rani?" katanya. Dia melihatku dari atas sampai bawah. 
Aku pun tersenyum sebagai balasan.
"Hmmm, badannya ideal. Perlu sedikit polesan saja. Saya Claudia, yang akan handle Anda. Mari ikut saya!"
Kami segera mengikutinya. 
"Sayang, Tante mau diapain?" bisikku ke Amel.
"Tante mau di-make over," katanya sambil tersenyum.
Ruangan yang kami tuju seperti salon khusus. Aku dilulur, facial, dan dirapikan rambutku sedikit. Setelah dua jam, aku dibawa kembali ke ruangan sebelumnya. Terlihat Amelia duduk-duduk malas sambil menikmati camilan yang disediakan. 
"Wow, Tante Rani cantik sekali. Wangi!" teriak Amel sambil memelukku erat. 
"Kamu tidak capek, Sayang? Maaf, ya. Kamu jadi menunggu lama."
"Gak capek, tante. Demi besok bisa diantar-jemput tante, Amelia belain, deh," katanya sambil menggelayut manja.
Iya, kemarin Tuan Kusuma bilang akan membelikan baju untukku supaya tidak memalukan anaknya. Ternyata, sampai make over keseluruhan. Aku sebenarnya tidak terlalu suka berjam-jam di salon seperti ini. 
Tampilan sederhana itu saja sudah cukup. Mungkin, pikiranku yang kolot ini membuat Mas Bram berpaling ke wanita yang lebih modis dan cantik. Laki-laki memang kalau melihat yang lebih bening menjadi jelalatan. 
Huuft .... Kalau mengingat itu, hatiku terasa sesak.
Terdengar suara seperti rak didorong.
Benar. 
Tiga rak gantungan baju di dorong ke depan kami. Diikuti wanita cantik tadi.
Oh, iya. Namanya Claudia.
"Coba, kesini Bu Rani. Bajunya pilih sendiri atau saya yang pilih?"
"Dipilihkan saja," jawabku. 
Semua bagus-bagus. Modelnya sederhana, tetapi mewah dan elegan. Baju di rak itu, kulihat bandrol harganya dari ratusan ribu sampai hampir satu juta. Bahkan, ada yang lebih. Aku merasa tidak enak kalau memilih sendiri. Soalnya, bukan uangnya sendiri.
Setelah bolak balik mencoba baju, Amelia dan Claudia yang menilai. Tak hanya baju, tetapi juga sepatu dan aksesoris. Aku dibantu dua asisten untuk mendandaniku. Serasa menjadi model dadakan.
Capek rasanya! Kakiku cenut-cenut!
Mungkin, kalau perempuan yang gila belanja, akan senang sekali. Tetapi, kalau aku tersiksa rasanya.
"Amel, ini belanjaan tidak kebanyakan, ya?"
Tumpukan baju lebih dari satu lusin, aksesoris—dari anting, kalung, gelang sampai kalung—dan juga beberapa pasang sepatu. Berapa totalnya ini?
"Tidak, Tante. Papi tadi yang nyuruh langsung ke Tante Claudia. Sudah tenang aja. Tante nurut aja, Papi nanti marah, loh," katanya sambil senyum-senyum senang.
"Tante, tadi Papi telepon. Katanya, langsung ke rumah eyang. Jadi, nanti tidak usah ditungguin."
“Tring ... tring ... tring ....”
[Rani
Saya langsung ke rumah mama
Jangan ditunggu]
Ternyata, Tuan Kusuma yang kirim pesan. Bukannya tadi sudah kasih tahu Amelia, ya? Ada-ada saja.
[Baik, Pak. Kami masih di butik sekarang. Terima kasih atas semuanya]
[OC :-)]
Langsung dijawab pesannya dengan tanda smile di belakangnya. Ternyata, bisa santai juga dia.
Berarti, nanti, aku bisa langsung istirahat. Tidak usah menyiapkan makan malam dan menunggu Tuan Kusuma yang pulang malam.
"Bu Rani, semua sudah selesai. Untuk semuanya, sudah saya laporkan ke Tuan Kusuma. Ada yang bisa saya bantu lagi?" kata Claudia mengangguk sopan. 
"Tidak terima kasih," ujarku. Aku sudah tidak sabar untuk pulang. Capek!
Ketika melewati cermin besar, aku melirik bayanganku. Hasil make over hari ini, memuaskan!
Sangat memuaskan!

Bab 7. Kamu Cantik!

Penat rasanya!

Setelah ganti baju kebangsaan emak-emak—daster gombrong—terasa merdeka badan ini.
Aku menggosok kakiku dengan minyak angin supaya pegal-pegalnya reda. Maklumlah faktor usia. Jalan di mall sebentar sudah angkat tangan.  
Seperti biasa, sebelum tidur, aku membaca cerita favoritku di aplikasi. Alhamdulillah, bisa istirahat lebih awal.
“Tok ... tok ... tok ....” Pintu kamarku ada yang ketok, siapa ya? Apa Bik Inah? Aku buka pintunya, ternyata Amelia dengan menampilkan selarik senyum penuh arti. Dia membawa guling.
"Ada apa, Sayang?" 
"Tante, aku tidur sini, ya. Please," pintanya dengan tampang memelas. Anak ini memang menggemaskan, manja sekali. 
"Iya boleh. Tapi, besok harus bangun pagi!" 
"Beres!" 
Dia langsung menyelonong masuk dan berbaring memeluk guling yang dia bawa tadi. Iba rasanya melihat anak ini. Bagaimana hari-hari kemarin ketika aku belum datang? Pasti sangat kesepian.
"Langsung mau tidur? Atau mau makan apa gitu?" kataku sambil mengelus rambutnya. Dia menjawab dengan menggeleng. 
"Ya udah, tidur saja."
Aku langsung berbaring di sampingnya. 
"Tante .... "
"Hmm .... "
"Aku ingin peluk Tante," kata Amel lirih. Kurengkuh segera kepalanya dan dia memelukku erat. 
"Sudah … tidur, ya."
Kubelai rambutnya perlahan-lahan dan berangsur-angsur pelukannya melemah. Napasnya terdengar teratur. Dia sudah tertidur.
****
“Tok ... tok ... tok ....”
"Rani!"
Ada yang mengetuk pintu kamar dan memanggil namaku. Apa aku bermimpi, ya?
"Rani!"

Benar, ada yang memanggil namaku. Aku rapikan rambutku terlebih dahulu. Kemudian, aku membuka pintu kamar. Ternyata, ada Tuan Kusuma di depanku dengan raut wajah kebingungan.
"Rani! Amel hilang! Dia tidak ada di kamarnya!" ucapnya serak. Tersirat kekawatiran yang amat sangat.
"Amel ada di kamar, Pak. Dia tidur."
"Tidak ada! Saya sudah cek! Kamu ini bagaimana, sih?! Saya tinggal sebentar saja sudah berantakan!" bentaknya keras sambil matanya melotot.
"Ssttt ...." 
Aku memberi kode untuk tidak berisik dengan menaruh telunjuk di depan mulutku. 
"Bukan di kamarnya, Pak. Tapi, di sini, di kamar saya." Aku membuka lebar pintu kamar untuk menunjukkan Amelia yang lagi tidur.
Tergopoh, dia menerobos masuk menghampiri anaknya yang lagi terlelap. Dibelai rambut dan dicium keningnya, sambil bergumam entah apa. Pemandangan ini membuatku sangat terharu. Kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Terlihat jelas di sana.  
"Amelia tadi malam minta tidur dengan saya. Biarkan dia tidur, Pak. Sudah jam tiga pagi, sebentar lagi juga waktunya bangun," ujarku berbisik. 
"Baik kalau begitu. Saya sangat kawatir tadi. Entah bagaimana kalau ada apa-apa dengan Amelia," ucapnya sambil mengusap wajahnya yang tadi tegang.
Dia beranjak dari tempat tidur dan menuju pintu. Tiba-tiba, dia berbalik ke arahku.
"Rani! Tolong jaga dia, ya! Mulai saat ini, tugas utamamu adalah mengawasi Amelia. Apa pun yang kau minta pasti saya penuhi. Tapi, tolong jaga dia!" katanya tegas. Raut wajahnya serius sekali, keningnya berkerut.
"Baik, Pak! Saya berusaha sebaik mungkin. Hari ini, saya mulai mengant

Comments

Popular posts from this blog

jenis-jenis Sistem Transmisi mobil

Kudeta Jokowi Mulai Tercium Oleh Prabowo Subianto

Jumlah rakaat shalat tarawih sesuai tuntunan