Mencari Berkah dari Makanan Habib
Mencari Berkah dari Makanan Habib
Soalan:
Apa hukum mempercayai berkah kiai atau habib. Misalnya ada pengajian terus mengundang habib fulan, terus ketika diberi konsumsi habib tersebut ada sisa-sisa makanan ketika itu ada yang mengambil makanan tersebut karena dipercaya mengandung berkah, kesehatan dll.
Jawaban:
Diantara manusia yang boleh diambil berkahnya adalah Nabi kita Muhamamd shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengambil berkah di sini dalam arti mengambil manfaat dari jasad beliau, benda yang berasal dari tubuh beliau, seperti ludah atau keringat atau mengambil berkah dengan anggota badan yang terlepas dari beliau, seperti rambut beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Terdapat banyak dalil yang menunjukkan masalah ini, diantaranya,
a. Dari anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita,
“Setiap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat subuh, orang-orang yang menjadi pembantu di Madinah, datang membawa wadah yang berisi air. Setiap kali dihadapkan bejana berisi air di depan beliau, maka beliau akan mencelupkan tangannya ke bejana tersebut.” (HR. Muslim)
b. Dari Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan
“Di siang hari yang panas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju tempat namanya Bitha. Beliau berwudhu kemudian melaksanakan shalat zuhur dan asar 2 rakaat. Kemudian berbondong-bondong orang mengambil air wudhu beliau dengan kedua tangannya dan mengusapkannya di wajahnya. Aku pun mengambil sisa air wudhu itu di tanganku, dan aku letakkan di wajahku. Ternyata lebih dingin dari salju dan lebih wangi dari minyak misk.” (HR. Bukhari)
c. Asma binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma menceritakan bahwa Nabi memiliki jubah thayalisah, yang ada tambalannya kain sutra. Kata Asma,
“Jubah ini dulu dibawa Aisyah. Setelah dia meninggal, aku ambil. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakainya. Kami mencuci baju ini dan airnya diberikan orang sakit untuk obat.” (HR. Muslim)
d. Dari Ibnu Sirin, beliau memiliki rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diperoleh dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Ubaidah mengatakan,
“Andai aku memiliki rambut beliau, itu lebih aku senangi dari pada aku memiliki dunia dan seisinya.” (HR. Bukhari)
Demikianlah praktIk sahabat dan tabiin, mereka mengambil berkah dengan jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ketika beliau masih hidup maupun sudah meninggal, baik yang melekat di jasad beliau maupun yang terpisah. Itu Hanya Khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Mengambil berkah seperti yang disebutkan dalam hadis di atas, hanya dilakukan oleh para sahabat terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebaliknya, mereka tidak melakukan praktik tabarruk (ngalap berkah itu) kepada selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diantara bukti nyata yang menunjukkan hal ini, tidak dijumpai riwayat yang menyebutkan bahwa para sahabat junior, mencari berkah dengan sahabat senior semacam Abu Bakr, atau dengan ahlul bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, semacam Hasan, Husein, atau sahabat pilihan lainnya. Padahal kita sepakat bahwa tingkat mereka di sisi Allah jauh lebih mulia dibanding para habib yang hidup di zaman ini, atau bahkan tidak layak dibandingkan.
Berikut keterangan para ulama yang menegaskan bahwa para sahabat tidak mengambil berkah dari orang shaleh selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Pertama, Keterangan Imam asy-Syatibi.
Dalam kitab al-I’tisham, beliau mengatakan,
وبالغ بعضهم في ذلك حتى شرب دم حجامته… إلى أشياء لهذا كثيرة. ..
“Sebagian diantara mereka ada yang berlebihan, sampai meminum darah bekam kiyainya.., dst. Semacam ini banyak sekali.”
Selanjutnya asy-Syatibi menegaskan,
“Bahwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum, setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada satupun di kalangan mereka yang melakukan tabarruk ini kepada orang yang menggantikan beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan manusia di tengah umatnya yang lebih mulia dari pada Abu Bakr ash-shiddiq radhiyallahu ‘anhu, beliau menjadi pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tidak ada bentuk tabaruk apapun yang dilakukan terhadap Abu Bakar, tidak pula Umar radhiyallahu ‘anhuma. Padahal mereka ada di tengah-tengah umat. Kemudian tidak pula tabaruk ini dilakukan tehadap Utsman, Ali, maupun sahabat lainnya, yang mana, tidak ada satupun manusia di kalangan umat ini yang lebih mulia dibanding beliau.
Asy-Syatibi melanjutkan,
“Kemudian juga tidak terdapat riwayat yang shahih yang ma’ruf bahwa ada orang yang mengambil berkah dengan salah satu bentuk di atas. Namun mereka hanya mencukupkan diri dengan meniru perbuatan para sahabat senior itu, memperhatikan petuahnya dan tingkah lakunya yang mereka ikuti dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kondisi ini menunjukkan ijma (kesepakatab) di kalangan sahabat untuk meninggal semua bentuk tabarruk itu kepada selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-I’tisham, 1:310).
Selanjutnya asy-Syatibi menjelaskan sebabnya, mengapa para sahabat tidak melakukan praktik mengambil berkah dari selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepeningal beliau. Asy-Syatibi mengatakan,
Menyisakan satu pembahasan, tentang alasan mereka meninggalkan perbuatan tersebut. Ada dua kemungkinan,
Pertama, para sahabat meyakini bahwa itu hanya khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahwa tingkatan kenabian menyebabkan bolehnya mengambil berkah, karena keberkahan dan kebaikan yang mereka cari pasti ada di jasad nabi. Mengingat semua bagian beliau adalah berkah, yang dzahir maupun yang batin. Siapa yang ingin mencari cahaya dari beliau, dia akan mendapatkannya dengan cara apapun. Berbeda dengan yang lainnya di kalangan umatnya – meskipun mereka mendapatkan cahaya meniti petunjuk beliau sesuai yang Allah kehendaki – namun tidak akan mencapai yang setingkat dengan beliau atau bahkan hanya mendekati tingkatan beliau.
Kedua, mereka tidak meyakini bahwa itu khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi para sahabat meninggalkannya dalam rangka menutup celah karena khawatir itu akan dijadikan ajaran –sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya– dan itu dilarang. Atau karena masyarakat awam tidak membatasi praktik itu pada batasan tertentu, namun mereka akan melampaui batas dalam mencari berkah karena kebodohannya. Sehingga orang yang menjadi sasaran ngalap berkah diagungkan, yang melampaui batas. Bahkan terkadang muncul keyakinan tentang orang yang menjadi sasaran ngalap berkah berbagai tahayul yang sebenarnya tidak ada dalam dirinya.
Selanjutnya, asy-Syatibi menegaskan bahaya tabarruk yang salah,
“Mencari berkah, merupakan awal mula munculnya ibadah. Karena alasan inilah, Umar bin Khatab menebang pohon yang menjadi tempat baiat Ridwan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan sikap mencari berkah merupakan sebab munculnya bentuk penyembahan terhadap berhala yang terjadi pada umat masa silam, sebagaimana yang dijelaskan oleh ahli sejarah.” (al-I’tisham, 1311 – 312).
Kedua, Keterangan al-Hafidz Ibnu Rajab dalam al-Jadir bil Idza’ah.
Demikian pula bertabaruk dengan peninggalan orang saleh. Sesungguhnya para sahabat hanya melakukan tabaruk dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara mereka tidak melakukan hal itu antara satu sahabat dengan sahabat lainnya. Tidak pula dilakukan oleh tabiin dengan para sahabat. Padahal mereka sangat tinggi kedudukannya. Ini menunjukkan bahwa ngalap berkah hanya dilakukan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti ngalap berkah dengan air wudhu beliau, atau yang keluar dari tubuh beliau (misal: luldah), atau rambut beliau, atau sisa minuman dan makanan beliau.
Kemudian beliau menegaskan bahaya ngalap berkah yang dilakukan masyarakat awam,
Ringkasnya, tindakan mengambil berkah semacam ini merupakan fitnah yang besar, bagi orang yang diagungkan maupun yang mengagungkan. Mengingat dikhawatirkan muncul tindakan berlebihan yang menjadi pintu bid’ah. Dan terkadang naik tingkatan sampai pada bentuk kesyirikan. Semua ini termasuk meniru kebiasaan ahli kitab. (al-Jadir bil Idza’ah, Hal. 24).
Berdasarkan keterangan di atas, dapat kita simpulkan, mencari berkah dengan orang shaleh selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diperbolehkan, karena beberapa alasan,
Tidak ada manusia yang setingkat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehebat apapun dirinya. Sehingga orang soleh selain nabi, tidak bisa dianalogikan dengan nabi dalam kasus ini.
Para sahabat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengambil berkah dengan sahabat lain yang lebih senior, seperti Abu bakr atau Umar. Padahal tidak ada satupun manusia yang lebih mulia dibanding Abu bakr dan Umar, meskipun dia ahlul bait. Ini merupakan dalil tegas bahwa mereka sepakat meninggalkan hal itu.
Mengambil berkah dengan orang shaleh selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa mengantarkan kepada sikap melampui batas dalam mengagungkan orang lain. Jika semacam ini boleh dilakukan terhadap orang shaleh selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan membuka peluang besar bagi orang awam untuk orang melakukan berbagai penyimpangan aqidah. Tentu saja ini berbeda dengan apa yang dilakukan sahabat terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. karena mereka tidak mungkin sampai melampui batas yang diizinkan syariat.
Sangat dimungkinkan munculnya sikap ujub bagi orang yang menjadi sasaran ngalap berkah. Padahal syariat melarang kita melakukan perbuatan yang menjerumuskan orang lain kepada maksiat
Sejuta Cara Untuk Mendapatkan Berkah
Inti berkah adalah kebaikan yang banyak. Karena itu, orang bisa mendapatkan berkah, tanpa harus menggunakan jasad orang lain. Mencari berkah yang paling tinggi derajatnya adalah mencari berkah dengan mengikuti sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. setiap ibadah dan ketaatan yang dilakukan oleh muslim, merupakan sumber keberkahan bagi dirinya. Itulah bentuk ngalap berkah yang diajarkan oleh para sahabat senior, semacam Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu ‘anhum. Dr. Abdul Aziz ar-Rais mengatakan,
Anda tidak akan mendapatkan riwayat yang menyebutkan bahwa sahabat senior, semacam Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu ‘anhum, mereka ikut berebut untuk mengambil berkah dengan bekas wudhu atau ludah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. namun yang mereka lakukan adalah mengambil berkah dengan cara yang lebih utama, yaitu melakukan amal shaleh, yang merupakan tujuan diciptakannya jin dan manusia. (Ahkam At-Tabaruk, Hal. 14).
Allahu a’lam
Referensi: https://konsultasisyariah.com/15621-mengambil-berkah-habib.html
Comments
Post a Comment