Sukses berbekal dari harapan orangtuanya.

Anak ini kemarin sempet trending. Foto dia diupload sama akun base SBMPTN n akun base UGM. 

Ceritanya dia lahir dari keluarga prasejahtera. Ibunya 'hanya' buruh tani, lulusan SD yang dgn susah payah membesarkan 3 orang anaknya. Anak ini samsek nggak pernah les apapun, nggak ikut bimbel dan buku-bukunya juga terbatas, asal sekolahnya dari SMK. 

Cara dia belajar adalah cari-cari pembahasan soal colongan. Dari twitter, IG, Youtube, semua yg gratisan dia jabanin. Pastinya juga cari wifi gratisan. Tapi dia bisa masuk ke UGM di tahun pertama SBMPTN (tahun ini namanya SNBT). Di jurusan industri peternakan, seperti impiannya. Dan dia bangga banget. Bagi dia yang sangat menghargai perjuangan ibunya, ijazahnya setinggi apapun kelak tetap lebih berharga ijazah ibunya yang 'hanya' ijazah SD. Karena dari ijazah SD ibunya lah dia bisa terus sekolah 🥲

Di tiktok trending, di twitter jg trending. Masalahnya, mungkin di twitter banyak anak2 yg nggak bahagia, jd tanggapannya justru mencemooh bocah ini. 

"Huh, baru MaBa aja belagu!"
"Liat aja nanti, semester berapa DO dah tau rasa  lu"
"Belum kenal dugem aja lu!"
"Kalo DO nangeeess" 
dan lain lain.

Bagi sebagian anak, kuliah adalah tradisi. Kakek neneknya sarjana-master-doktor, ortunya juga, om-tantenya juga, bude-pakdenya juga, sepupu-sepupunya semua sarjana-master-doktor. Maka kuliah bagi dia adalah meneruskan tradisi keluarga.

Tapi bagi sebagian anak yang lain. Kuliah adalah pencapaian dia. Prestasi besar dia yang bisa mendobrak tradisi keluarga yang nggak ada satu pun yang kuliah.

Suami saya punya anak asuh yg usianya 16 tahun dan belum pernah seharipun sekolah.

Waktu kami tanya,
"Kenapa nggak sekolah?" 

Jawaban dia,
"Ya, mbah, bapak ibu, kakak nggak ada yang sekolah. Jadi aku ya nggak sekolah.."

Anak saya juga punya teman yang pinterr dan baiiikk banget. Dewasa lah walaupun seumuran anak saya yang kecil (12 tahun).

Anak saya pernah tanya,
"Cita-cita kamu apa? Kamu besok mau kuliah apa?"

Dia jawab dengan sedih,
"Aku sih pengennya kuliah, tapi kata ibukku, 'kamu nggak usah mimpi bisa kuliah. Ibuk aja cuma rewang (ART), keluarga besar kita nggak ada yg kuliah, kamu nggak usah mimpi. Lulus SMA langsung kerja saja sudah syukur banget. Cepet bisa bantu bapak ibu!' Gitu. Jadi aku nggak akan kuliah."

Sedih sih. 
Seringkali hidup kita itu tergantung dari mindset kita. Dan kita sejatinya juga adalah buah dari didikan orangtua kita. 
Padahal anak-anak sukses kebanyakan berawal dari mimpi orangtuanya. 

Saya nggak bilang kalau kuliah pasti sukses atau kalau nggak kuliah pasti nggak sukses ya. Cuma ketika anak bermimpi ingin jadi apa. Ya dibantu saja dengan optimisme dari orangtua. Kalau masih realistis. 

Saya ada ponakan. Sejak kecil selalu ranking yang akhir-akhir. Tapi kakak saya berkeyakinan anak saya ini pasti masuk teknik UI. 

Saat SMA, les privat. Gurunya bilang, "Hadeh, susah ini sih bu. Kalau masuk UI pasti lewat jalur yang bayar mahal! Apalagi teknik, nggak mungkinlah."

Kakak saya tersinggung dong. Ganti guru. Ganti lagi. Ganti lagi. Terakhir gurunya ini optimis orangnya, ponakan saya jd happy belajar. Dan last minute prestasinya melambung. Ikut bimbel, lanjut les privat dengan guru yang optimis. Dia akhirnya lulus UMPTN masuk jurusan seperti impian ibunya. Dan dia enjoy di sana. Aktif di BEMUI, IPK tinggi dan selalu dapet beasiswa di UI. Lulus juga dengan IPK bagus. Fresh graduate saja bisa kerja di perusahaan luar dengan gaji hampir 3x lipat UMR DKI. 

Selain orangtua, guru-guru juga jangan pernah meremehkan muridnya. 

Ada juga cerita pengalaman seorang apoteker di tiktok.

Jadi dia ini lulusan pesantren dari SMP dan SMA atas kemauan sendiri. Dia memang pengennya jadi ustadz. Tapi orangtuanya pengennya dia jadi apoteker. Dengan terpaksa dia pun memilih UMPTN jurusan farmasi di sebuah PTN, diterima. 

Nggak dia sangka ternyata jurusan farmasi banyak pelajaran matematika dan fisika nya. Sepanjang semester selalu ketemu matematika. Padahal dia paling nggak suka matematika dan fisika.

Kalau dia mau curhat ke orangtuanya, selalu nggak pernah bisa. Belum-belum dia sudah dengar suara bahagia dan penuh harap dari orangtuanya, akhirnya dia nggak tega untuk cerita kesulitannya. Akhirnya pelariannya cuma sholat, berdoa, trus ikut kajian. Setiap ada kesulitan seperti itu pelariannya. Begitu terus.

Semester pertama kedua, IPKnya anjlok, dia sudah pengen kabur, tapi nggak tega. Lanjut lagi. Herannya semester ketiga keempat dan selanjutnya IPKnya naik terus, semua rasanya lebih mudah. Padahal dia tetap nggak suka matematika dan fisika. Kenapa nilainya kok bisa bagus-bagus. Padahal dia tetap stres setiap mau ujian stres, setiap mau kuliah aja stres. Mesti harus ikut kajian dulu, tuk menetralisir hatinya. Herannya kenapa ujiannya mudah. Padahal dia merasa tetap nggak bisa matematika dan fisika.

Lulus sarjana farmasi orangtuanya pun menangis bahagia. Langsung berharap lagi lanjut kuliah profesi apoteker. Si anak stres lagi, ikut kajian lagi, sholat n berdoa yang banyak lagi. Lah kok tetiba sudah lulus profesi aja, IPKnya pun bagus lagi. Saat profesi ini lah dia mulai jatuh cinta dgn dunia obat dan penelitian.

Akhirnya dia justru ingin lanjut S2 farmasi lagi sekaligus kuliah agama. 

MasyaAllah, sekarang dia pun jadi ustadz sekaligus apoteker. Setiap pasien yang putus asa selalu kembali semangat setiap dengar tausiyahnya. Bagi dia visit pasien adalah aktivitas terbaik yang paling dia sukai. 

Tapi ini jangan diikuti para ortu ya. Takutnya kl anaknya nggak kuat justru bundir.

Begitu kadang hidup. Nggak tau itu dia itu cm ngedabrus atau gimana biar vitinya rame. Tapi sepertinya enggak sih, dia serius jujur sama cerita hidupnya. Saya juga sering kenal orang-orang yang seperti itu. Sukses berbekal dari harapan orangtuanya.


https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid0o9ijDcinFa8dZHYqeWVzLn7MHvpvPmkWQku3hzVU1cdCP5BXAKRHWoZsFkLRFqNBl&id=1631983312&mibextid=9R9pXO

Comments

Popular posts from this blog

jenis-jenis Sistem Transmisi mobil

Kudeta Jokowi Mulai Tercium Oleh Prabowo Subianto

Jumlah rakaat shalat tarawih sesuai tuntunan