cerpen: adil istri pertama dan berbagi
Rembulan Dan Berbagi
"Bun, ayah izin menikah lagi."
Rembulan menghentikan menjahit gamis pesanan berwarna kuning bergaris hitam. Gamis pesanan khusus pelanggan istimewanya yang meminta Rembulan sendiri yang menjahit gamisnya.
Pelahan ia mengangkat wajahnya. Menatap Surya, suaminya yang duduk tak jauh dari meja jahitnya. Hanya menatap, lalu meneruskan menjahit.
"Bun, ayah minta maaf harus mengatakan ini. Tapi ayah bersungguh-sungguh bun. Ayah minta izin bunda."
Rembulan menghentikan pekerjaannya. Mematikan mesin jahit listriknya lalu membereskan potongan kain yang berserak.
"Bun..... "
"Bunda dengar yah." jawab Rembulan tanpa menoleh.
"Lalu, apakah bunda... "
"Gadis dua puluh delapan tahun itu yang akan ayah jadikan isteri kan? Admin di tempat kursus bahasa Inggris Bintang kan?" Ujar Rembulan, menyebut nama Bintang anak pertama mereka.
Rembulan menggenggam gunting kain di tangannya. Gunting yang selalu tajam.
"Ayah sudah siap adil pada isteri-isteri ayah nanti? Adil pada anak-anak? Jika ayah siap, bawa perempuan itu kerumah besok. Agar kita bisa bicara bertiga. Bagaimana?"
Rembulan meletakkan gunting kain di meja jahitnya. Ujungnya menghadap ke Surya.
Surya menelan ludah. Namun tekadnya sudah bulat.
"Baik bun, besok Mega akan ayah bawa kesini dan kita bicara bertiga."
Rembulan tersenyum datar. Berdiri lalu beranjak ke kamarnya. Sementara Surya, entah mengapa tak berani menyusul Rembulan ke kamar.
***
Sore itu gadis bernama Mega duduk bersama Surya diteras belakang rumah. Rembulan yang sedang merawat anggrek-anggrek kesayangannya lalu meletakkan gunting tanaman yang cukup besar di meja yang berada di tengah mereka bertiga.
Rembulan memperhatikan gadis yang duduk di depannya. Rambutnya pirang bergulung-gulung ala anak jaman sekarang. Jeans ketatnya dipadu kemeja hitam yang lengannya digulung hampir ke siku. Rembulan mencium wangi parfum mahal dari gadis itu.
Rembulan memperbaiki letak jilbab creamnya. Gamis coklat tuanya membuat perpaduan yang sempurna, menonjolkan kecantikan usia empat puluhnya. Dipandangnya gadis di depannya.
"Apa yang membuatmu yakin kalau suamiku bisa menjadi suami yang baik buatmu? Buat kita?" Tanya Rembulan lembut namun tegas.
"Bang Surya lelaki baik. Pasti bisa adil buat kita kak."
"Baik. Jadi begini Mega, kita akan bicara soal berbagi dan soal adil. Sebelum bicara berbagi hati, sebaiknya kita bicara berbagi penghasilan dulu."
Rembulan bersandar santai di kursi yang didudukinya. Memandang Surya yang nampak tegang di kursinya.
"Gaji mas Surya saat ini adalah dua puluh juta per bulan. Kami punya dua anak. Ditambah kamu, maka kita berlima. Alhamdulillah, kami saat ini tak punya hutang. Dua puluh juta itu akan kita bagi lima. Per orang akan dapat empat juta. Yang empat juta bagian mas Surya, kita bagi dua. Karena mas Surya akan berada di rumah ini dan rumah kalian secara bergantian."
Surya memandang Rembulan tak mengerti. Demikian pula Mega.
"Kami punya dua rumah. Namun keduanya dibeli dengan uang mas Surya dan uangku. Hasil bisnisku. Jadi, aku tak ikhlas jika kau menempatinya. Alhamdulillah dua rumah itu sudah atas namaku."
Surya mencoba berbicara. Namun Rembulan mengisyaratkannya untuk diam.
"Begitu pula dengan dua mobil kami. Satu mobil dibeli dengan uang kami berdua. Satu lagi kubeli dengan uang hasil usahaku sendiri. Jadi, jika kalian menikah nanti, silahkan usahakan uang enam juta bisa membeli rumah dan mobil. Atau paling tidak bisa menyewa rumah dulu. Dan mobil yang ada sekarang hanya dipergunakan mas Surya saat ia dirumah kami."
"Bunda, kenapa jadi begini?" Surya berbicara dengan nada agak tinggi.
"Kenapa yah? Dimana salahnya bunda? Bukankah itu adil? Kalau Mega mencintai ayah seperti bunda mencintai ayah, pasti dia tak keberatan bersusah-susah membangun rumah tangga seperti bunda dulu bersama ayah hingga ayah bisa seperti sekarang kan?"
Rembulan berkata lembut pada Surya sambil tersenyum dan memandang Mega yang wajahnya sudah merah padam.
"Adil apaan ini? Isterimu aneh bang. Tidak bisakah abang mengajarinya soal adil?" Mega berkata pada surya dengan suara bergetar menahan marah.
Rembulan tetap tersenyum.
"Mega, adil itu adalah jika kau mau mengambil tempatku dulu, saat mas Surya masih merangkak meniti karir. Dimana aku harus tidur hingga larut karena harus menyelesaikan jahitan pelanggan, saat itu aku belum punya konveksi seperti sekarang. Dimana aku harus bangun jauh sebelum subuh untuk membuat kue-kue basah yang kutitipkan di warung-warung, saat aku belum punya usaha katering seperti sekarang. Dimana aku harus berhujan berpanas mengantar anak-anak les dan sekolah dengan sepeda motor. Bukan dengan Expander seri tertinggi seperti yang dikendarai mas Surya sekarang."
Rembulan tersenyum ke arah Surya.
"Yah, jika ayah mau jadi suami adil, harusnya ayah bisa memahami apa yang bunda katakan ini. Bunda hanya meminta, agar ayah mau fair mengakui bahwa apa yang sudah kita capai selama ini, adalah karena kerja keras kita berdua. Pengorbanan kami. Isteri dan anak-anakmu."
Mega berdiri dengan gerakan yang kasar. Memandang Rembulan dengan wajah marah. Lalu berteriak pada Surya.
"Abang harus ubah pikiran isteri abang jika mau menikah denganku."
Mega lalu beranjak pergi keluar rumah dengan kasar.
Rembulan hanya tersenyum. Memandang suaminya. Menunggunya apakah ia akan mengejar Mega. Namun Surya tak beranjak dari kursi yang didudukinya. Ia memandang Rembulan dan berkata
"Maafkan ayah. Bunda telah menyelamatkan ayah dari orang yang salah. Bunda telah menyadarkan ayah kalau adil itu bukanlah seperti yang kebanyakan orang pikir. Ayah tak mampu bun. Ayah tak bisa menyakiti bunda dan anak-anak yang sudah menemani ayah selama ini."
Rembulan tak menjawab. Ia tetap tersenyum. Mengambil gunting tanaman di depannya. Berdiri lalu sekuat tenaga menghujamkan gunting tanaman itu. Tepat dan telak.
Menghujamkannya ke pot berisi media yang akan digunakannya untuk menanam anggreknya.
~WP 🌿
https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=3800881199973743
Comments
Post a Comment