BUNG KARNO DAN LEMBAR HITAM ROMUSHA
BUNG KARNO DAN LEMBAR HITAM ROMUSHA
Iseng buka-buka galeri, lihat foto ini,...foto ini kuambil saat berada di Pattani, sebuah provinsi yang penduduknya bisa dibilang 100% muslim.
Pattani merupakan salah satu provinsi di selatan Thailand. Provinsi-provinsi yang bertetangga adalah Narathiwat, Yala dan Songkhla. Masyarakat Melayu setempat menyebut provinsi mereka, Patani Darussalam atau Patani Raya.
Nah saat berkunjung ke Pattani, kami mampir ke masjid kerisik yang merupakan masjid tertua di Thailand, untuk sholat di sana, kebetulan saat itu ada pengajian Akbar.
Jama'ah sampai meluber ke halaman masjid.
Usai sholat kami jalan-jalan ke sekitar situ, masuk ke sebuah jalan kampung, dan bertemu dengan seorang bapak-bapak penduduk di sana.
Ternyata ayah dari bapak tersebut berasal dari Jawa yang datang ke Thailand sekitar tahun 1943 , sebagai seorang romusha yang dikirim oleh Jepang dimari.
Yang Alhamdulillah bisa melarikan diri dari romusha dan menikah dengan penduduk setempat di Pattani.
===============================
Romusha adalah catatan hitam seorang Sukarno. Ribuan bahkan ratusan ribu nyawa rakyat Indonesia yang begitu mencintai Bung Karno, mati dengan cara mengenaskan akibat sistem kerja paksa yang kejam zaman pendudukan Jepang. Ironis, karena justru Bung Karno yang ditugasi Jepang mendata dan “merayu” rakyatnya memasuki ranah kerja paksa yang mengerikan itu.
Bung Karno, dalam biografi yang ditulis Cindy Adams, mengakui itu semua dengan hati remuk. Bung Karno tahu para romusha yang dikirim ke Burma, hampir 99 persen mati. Ada yang mati kelaparan, mati disiksa, mati dipenggal kepalanya, mati di dalam gerbong kereta tertutup yang berisi ribuan romusha. Mereka dipaksa bekerja hingga tinggal kulit pembalut tulang.
Inilah pernyataan Bung Karno tentang romusha :
“Sesungguhnya akulah –Sukarno– yang mengirim mereka kerja paksa. Ya, akulah orangnya. Aku menyuruh mereka berlayar menuju kematian. Ya, ya, ya, ya akulah orangnya. Aku membuat pernyataan untuk menyokong pengerahan romusha
Aku bergambar dekat Bogor dengan topi di kepala dan cangkul di tangan untuk menunjukkan betapa mudah dan enaknya menjadi seorang romusha. Dengan para wartawan, juru potret, Gunseikan –Kepala Pemerintahan Militer- dan para pembesar pemerintahan aku membuat perjalanan ke Banten untuk menyaksikan tulang-tulang-kerangka-hidup yang menimbulkan belas, membudak di garis-belakang, itu jauh di dalam tambang batubara dan tambang mas. Mengerikan. Ini membikin hati di dalam seperti diremuk-remuk.”
“Aku tahu bahwa mereka diangkut dengan gerbong-gerbong yang tertutup rapat tanpa udara, dipadatkan seperti hewan dalam jumlah ribuan sekaligus,” tulis Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Pada Juni 1942, Jepang memulai proyek pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan Thailand-Burma dengan mendatangkan baja dan tenaga kerja (romusha) dari wilayah-wilayah yang didudukinya. Selain romusha dari Jawa, ada romusha dari China, Malaya, Vietnam, juga tentara Sekutu yang tertawan Jepang. Total ada lebih 100 ribu romusha Asia Tenggara dan 55 ribu tawanan Sekutu.
Nasib romusha dalam pembangunan jalan kereta api, yang dikenal dengan istilah “Death Railway”, amat memilukan. Mandor atau serdadu Jepang berlaku kejam. Medannya berat, menembus lembah dan hutan lebat. Mereka bekerja di bawah guyuran hujan, jalanan berlumpur, atau terik menyengat. Jatah makanan minim. Fasilitas dan tenaga medis tak memadai, sementara wabah kolera, disentri, dan sebagainya berjangkit. Bahkan, seperti kesaksian Sadin, romusha yang tidak bisa bekerja lagi lantaran sakit, dikubur hidup-hidup.
“Seolah-olah ada perhitungan bahwa akan lebih murah untuk memasok romusha baru daripada mengambil risiko merawat atau memulihkan kembali mereka yang sakit,” tulis Aiko Kurosawa dalam Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945.
Tak heran jika banyak romusha dan tawanan Sekutu yang tewas. Commonwealth War Graves Commission, organisasi nirlaba yang bergerak menyantuni para keluarga tentara Sekutu yang jadi korban Perang Dunia II, melalui situsnya cwgc.org, mencatat, “Sepanjang pembangunan jalur itu, kira-kira 13.000 tawanan perang tewas dan dimakamkan di sepanjang lintasan. Diperkirakan 80.000-100.000 warga sipil juga tewas dalam proyek yang sama, terutama para buruh yang dibawa dari Malaya dan Hindia Belanda, atau wajib militer di Siam (Thailand) dan Burma.”
Tak ada angka pasti berapa jumlah romusha asal Jawa yang tewas. Dalam "Notes on the Thai-Burma Railway, Part II: Asian Romusha; The Silenced Voices of History" David Boggett menulis, dari 200.000-500.000 romusha asal Jawa yang dikerahkan, hanya sekitar 70 ribu yang masih hidup ketika perang berakhir.
Banyak romusha melarikan diri. Bagi mereka yang sial, bisa saja tewas di perjalanan atau di tangan Jepang. Sedangkan yang bernasib baik bisa kembali ke daerah asal atau tempat aman ketika perang berakhir.
Bung Karno bukannya tidak menuai protes. Lima mahasiswa kedokteran yang juga aktivis pergerakan segera mendatangi Bung Karno, sesaat setelah gambar Bung Karno bersama romusha dan terkesan mendukung romusha tersebar di mana-mana. “Nampaknya Bung Karno tidak dipercayai lagi oleh rakyat. Cara bagaimana Bung Karno bisa menjawab persoalan romusha?” seorang mahasiswa membuka percakapan yang menegangkan.
Bung Karno menjawab, ada dua jalan untuk bekerja (menuju Indonesia merdeka). Pertama dengan tindakan revolusioner, yang menurut Bung Karno, kita belum siap. Jalan yang kedua adalah dengan bekerja-sama dengan Jepang sambil mengkonsolidasikan kekuatan dan menantikan sampai tiba saatnya ia (Jepang) jatuh. Saya mengikuti jalan kedua. Begitu kata Bung Karno.
Tidak puas dengan jawaban Bung Karno, mahasiswa lain menimpali, “Tapi kenapa Bung Karno sampai hati memberikan rakyat kita kepada mereka?”
Jawab Bung Karno, “Dalam setiap perang ada korban. Tugas dari seorang Panglima adalah untuk memenangkan perang, sekalipun akan mengalami kekalahan dalam beberapa pertempuran di jalan. Andaikata saya terpaksa mengorbankan ribuan jiwa demi menyelamatkan jutaan orang, saya akan lakukan. Kita berada dalam suatu perjuangan untuk hidup….”
Dalam dialog yang lebih lunak Bung Karno menjelaskan, langkah “kooperatif” dengan Jepang adalah untuk menjaga kepercayaan Jepang kepadanya sebagai pemimpin. Dan Sukarno tahu betul, saat itu sudah sangat dekat dengan pintu gerbang kemerdekaan. Terlebih setelah ia dan Hatta diterima Kaisar Tenno Heika, dan mendapat sinyal tentang dukungan Kaisar Jepang terhadap kemerdekaan Indonesia.
Setahun setelah “tragedi” Romusha, bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Sumber :
https://rosodaras.wordpress.com/2009/06/03/bung-karno-dan-lembar-hitam-romusha/amp/
https://historia.id/amp/urban/articles/romusha-di-seberang-lautan-6jzJ6
Comments
Post a Comment