Era reformasi vs era millenial? para bedebah

*Kok bisa?

Marsinah, aktivis buruh, bekerja di PT CPS Porong. Bersuara lantang membela buruh. Suatu hari, dia diculik, lantas ditemukan mati 8 Mei 1993, tiga hari setelah menghilang.

Widji Thukul, aktivis buruh, aktivis HAM, penyair. Bersuara lantang membela buruh dan isu2 HAM lainnya. Suatu hari, 23 Juli 1998, dia menghilang. Sampai hari ini tidak ditemukan.

Itu semua duluuu, di jaman kegelapan. Saat kebebasan bersuara memang dicekik penguasa. Perlawanan bertemu tembok kekerasan. Militer ikut campur, dll, dsbgnya. Dulu.

Lah, sekarang, semua bebas toh? Kalian mau berteriak, orasi, baca puisi, bisa dilakukan dimana2. Ada medsos, ada whatsapp, dll, dsbgnya. Pakai zoom juga bisa. Banyak sekali cara meneriakkan suara kalian. Kok bisa, katanya jutaan jumlah kalian, tapi memble saja? Duluu, ngumpulin orang2 buat melawan susah. Sekarang, bikin group whatsapp, bisa send ke semua orang.

Atau begini yang terjadi sekarang:

Joni, aktivis buruh. Berisik sekali dimana2, ngajakin buruh2 demo, dsbgnya. Suatu hari, dikasih posisi dan jabatan. Mingkem.  

Agus, aktivis buruh. Sering muncul di televisi, dengan pakaian kinclong. Bicara meledak2 membela buruh. Suatu hari, naik pangkat dan karirnya di perusahaan. Mingkem.

Susi, aktivis buruh. Sering muncul di berita2. Pembela buruh hebat sekali. Suatu hari, masuk partai, jadi anggota DPRD/DPR, mobil baru, rumah mewah. Ditemukan tertidur saat rapat.

Dstnya, dsbgnya. 

Jika jutaan (ngakunya) buruh ingin perubahan, maka hanya kalianlah yang bisa membuat perubahan. Indonesia itu ada di persimpangan jalan, dan persis RUU Cipta Kerja disahkan, elit pemerintah telah memilih jalan baru. Mereka sangat peduli dengan ekonomi, investasi. Bodo amat jika harus merugikan aspek lainnya. Maka 'pengusaha', 'investor' jadi istimewa. Apakah itu salah? Tergantung. Kalau kalian pengusaha, investor, kalian akan tertawa lebar. Bagus sekali.

Keseimbangan baru terbentuk. Kalian terima? Tidak terima? Dikembalikan ke kalian untuk membentuk keseimbangan baru. Jika kalian terima, selesai. Jika kalian tidak terima, perjuangan panjang telah menanti. Siapa yang akan menentukan nasib kalian? Tentu saja kalian sendiri. Masa' Tere Liye. Dia sudah pusing duluan dgn nasib jutaan buku2 bajakannya.

Maka akan seperti apa daftar berikutnya? Kalian yang menentukannya. Apakah akan seperti ini:

Johan, aktivis buruh, bekerja sebagai buruh di PT X. Suatu hari, dia berhasil menggerakkan 5 juta buruh di Indonesia, mogok total selama tiga bulan. Semua pabrik terhenti. Semua produksi barang terhenti. Bahkan shampo, sabun, tak ada lagi. Roda mesin pabrik seluruh negeri benar2 berhenti.

Atau

Johan, aktivis buruh, entah dimana dia bekerja tidak tahu, atau jangan2 dia bukan buruh, malah komisaris perusahaan negara. Sangar dan buas di televisi. Lantang dan berisik dimana2. Suatu hari, dia dikasih posisi. Langsung cengar-cengir, jadi penjilat nomor satu pemerintah.

Atau

Johan, aktivis buruh. Nasib. Pasrah sajalah. Yang penting bisa hidup, makan. Besok2, nyoblos lagi. Tidak apalah, pilih saja anak, mantu, cucu, keluarga pejabat. Nasib. Pasrah lagi. Besok2, nyoblos lagi. Pilih lagi, cicit, cicit keluarga pejabat. Nasib. Pasrah Lagi. 

*Tere Liye, penulis novel "Negeri Para Bedebah"

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3588870694496806&id=175057005878209

Comments

Popular posts from this blog

jenis-jenis Sistem Transmisi mobil

Kudeta Jokowi Mulai Tercium Oleh Prabowo Subianto

Jumlah rakaat shalat tarawih sesuai tuntunan