Dari Berebut Partai hingga Ribut Amandemen tiga Periode

Dari Berebut Partai hingga Ribut Amandemen tiga Periode

Oleh: Nyai Dalang

Karut marut! Demikianlah polemik kongres luar biasa Partai berlogo Mercy yang kelewat ribut. Seolah semua kader partai di negeri ini begitu yakin masih dipercayai rakyatnya. Padahal, menonton ajang debat di layar kaca adalah cara usang menarik simpati penduduk Wakanda. 

Acapkali mereka bersilat lidah dengan kata-kata yang tak pantas. Para politikus  saling menyela omongan lawan debat di atas pentas. Tujuannya memang agar silang pendapat tak bisa ditangkap lebih jelas. Mantan petinggi negara juga tak pernah memberi contoh bagaimana melakukan debat yang sehat. Padahal mereka bukan kusir delman, kok mau-maunya debat kusir. Parahnya masih bisa tersenyum di depan kamera, tak peduli suara gaduh disekitarnya. 

Alkisah pak Bayu dengan wajah dinginnya mengecam Moeldaki yang tiba-tiba menjadi lawannya karena mengkudeta partai melalui kongres abal-abal. Pak Bayu sampai perlu meminta maaf karena merasa bersalah telah memilih Moeldaki sebagai panglima TNI pada saat Pak Bayu sebagai presiden. Timbul kesan bahwa Pak Bayu berjasa luar biasa dalam mengangkat karir Moeldaki dan seolah-olah itu adalah utang jasa yang harus dibayar.

Moeldaki dengan jabatan Kepala Staf Kepresidenan patut disebut biang keributan. Pasalnya, sekonyong-konyong ia bersedia memimpin partai padahal bukan kader. Betapa riuhnya para anggota partai menyaksikan pimpinan puncaknya berperilaku liar. 

Penghuni Istana berada di ujung tanduk. Kebetulannya, dia dari kader partai lambang hewan bertanduk. Diamnya salah, ikut ribut tambah salah. Jika presiden diam artinya bisa jadi mendukung atau setidaknya membiarkan Moeldaki sibuk dengan urusan Demuncrat. Namun, jika presiden ribut tetap salah, sebab banyak hal yang lebih layak dikomentari ketimbang mengurus gonjang-ganjing ini. Ada pihak yang lantang bersuara agar Presiden tidak dikaitkan dengan urusan stafnya, ada juga pihak yang meminta presiden menindak Moeldaki sang pembuat huru-hara. 

Memang susah menjadi pemimpin Wakanda. Keceplosan bicara bisa menjadi headline berita. Misalnya saat presiden mengajak rakyatnya mencintai produksi dalam negeri. Kalau cuma mandeg sampai disitu, mungkin tak apa-apa walau jargon itu klise adanya. Sayangnya, Presiden menambahkan kalimat "Mari kita membenci impor." Nah, frasa inilah yang memicu perang mulut. Hingga presiden bingung sekaligus heran, masalah begitu saja kenapa memicu ribut?

Bagaimana tidak ribut, kala presiden meminta membenci impor, sementara menterinya malah siap-siap mengadakan beras impor. Petani dibuat kecewa, panen melimpah tapi harga gabah terbanting rendah. Jika dipikir-pikir mana yang salah? Mungkin presiden terlalu sibuk kerja kerja kerja tapi lupa mengevaluasi pekerjaannya.

Kondisi politik kian memanas. Belum usai perang perebutan partai, kini muncul kabar perpanjangan masa jabatan presiden. Hal ini  mencuat seiring dengan munculnya kembali rencana amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Keributan ini jelas mengancam demokrasi Wakanda menjadi lebih terperosok ke jurang yang kian parah dan berdarah-darah.

Sungguh! Gagasan memperpanjang masa presiden menjadi tiga periode adalah sinyal bahaya bagi demokrasi  di Wakanda. Keinginan ini perlu ditolak sejak dini sebab berpotensi membawa Wakanda menjadi negara otoriter. Demokrasi sudah jeblok, akan semakin bobrok jika kehidupan ketatanegaraan merosot. Sebab, amandemen hanya akan memberi ruang bagi penguasa dan partai politik pendukung menjadi mudah melakukan berbagai langkah, mirip jaman Siti Nurbaya. 

Bencana kehidupan bernegara bisa datang secara tiba-tiba ketika sistem politik Wakanda compang-camping akibat tidak adanya oposisi yang kuat sebagai pengimbang. Mengamandemen konstitusi bukanlah diorama baru. Badan pengkajian MPR periode lalu bahkan beberapa kali menggelar diskusi dengan pusat studi hukum di kampus-kampus sejak 2018.

Diawali dengan perihal menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara lalu merembet ke amandemen pasal-pasal lain, di antaranya kemungkinan mengubah kewenangan MPR dan masa jabatan presiden. Karena rencana tersebut belum tercapai hingga masa jabatannya berakhir, MPR periode lalu membuat rekomendasi agar anggota MPR periode 2019-2024 melanjutkan upaya mewujudkan rencana tersebut. Nasib rakyat bahkan tak ada dalam nomer urut. 

Sudah seharusnya tak perlu membuka peluang memperpanjang masa jabatan presiden. Jamak diketahui, pembatasan masa jabatan presiden dan wapres selama dua periode merupakan amanat reformasi untuk mengoreksi sistem kekuasaan yang pernah mengakar di era orde baru. Sistem presidensial memberikan kewenangan besar kepada kepala negara untuk menjalankan pemerintahan. Apabila seorang presiden berkuasa dalam waktu lama justru mudah tergoda berlaku otoriter.  Apalagi jika mayoritas partai politik di parlemen berada dalam genggaman presiden, persis yang terjadi pada Wakanda saat ini.

Politik Wakanda sudah jatuh sangat dalam selama era pemerintahan Ki Jono. Hiruk pikuk partai politik berlomba merapat kekuasaan. Mekanisme saling kontrol nyaris tidak ada karena partai oposisi yang hanya segelintir itu turut diobrak-abrik penguasa. Etika politik hancur lebur, Pengambilalihan paksa partai berlogo Mercy oleh kepala staf kepresidenan Moeldaki dan para pendukungnya, melalui kongres luar biasa, menjadi contoh nyata praktik penghianatan terhadap demokrasi.

Ki Jono  memang menyatakan tidak berminat menjadi presiden selama 3 periode. Namun sejauh mana dia mampu membendung syahwat kartel politik yang ada dibelakangnya untuk terus berkuasa? Hanya dua pilihannya, ingin dikenal sebagai politikus negarawan atau politikus pelayan kartel tuan. Tapi, sama-sama tak memberikan perubahan. Sebab, tumbang satu pahlawan kesiangan, akan banyak pion cadangan yang dimainkan. 

Demikianlah manipulasi demokrasi. Ingin dipoles secantik mungkin tetap bocor sana-sini. Drama politik tak akan pernah enyah dalam negeri selama sistem basi terus menerus dipakai sebagai pengatur kehidupan ini. Sejarah mencatat, belum ada negara yang berhasil makmur dengan demokrasinya, lantaran sudah sifatnya hukum buatan manusia tak akan mampu menyelesaikan urusan manusia. 

Maka menyelesaikan benang kusut ini perlu tatanan yang bukan main-main, hingga para petingginya takut 'bermain'. Sebab, ada hak dan kewajiban yang diperhitungkan bukan dengan kalkulator manusia, tapi langsung dengan Sang pemilik jagad raya. Bila pemimpin beserta punggawa takut akan Tuhannya, maka celah mana yang bisa melalaikannya dari amanah sementara? Dengan sistem inilah negara menjadi digdaya. Yakni sistem berbasis syariah yang pernah dijalankan oleh Rasulullah Saw, dan terbukti pernah berjaya 14 abad lamanya. Wallahu a'lam.

#KelasWawasanPolitik
#LiwaSquad
#BerkomitmenMencerdaskan

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1449699835362527&id=100009675735511

Comments

Popular posts from this blog

janganlah kalian kotori dengan masuk ke dalam kubangan politik

Never attempt anything without complete information.

Efek Jangka Panjang Penggunaan Teknologi Digital pada Kognisi Manusia