Menjadi pemimpin itu nggak harus orang yang paling pintar dan cerdas

Untuk individu bebas saja mau membuat aturan seperti apa. Tapi kalau kebetulan bertindak sebagai lembaga yang mengayomi orang banyak sudah sewajarnya harus bijaksana dalam membuat keputusan. 

Menjadi pemimpin itu nggak harus orang yang paling pintar dan cerdas. Lebih penting bagaimana caranya bisa menyatukan semua pihak. Pasti akan ada pro kontra. Wajar. Yang penting tidak melewati batas hak-hak individu. 

Ngomongin apa sih? Hehe. Ngomongin tentang waktu subuh 😅😅 yang masih saja ramai perdebatkan. 

Kalau saya pribadi membuat aturan bahwa banyaknya nilai waktu subuh yang beredar saya anggap sebagai nilai rentang. Batas atasnya -20 derajat. Batas bawahnya -11 derajat. Kalau pas kebetulan bangun saat matahari -20 ya berhenti sahur jam segitu. Kalau enggak ya ambil batas bawahnya. Simple. Tapi ini aturan untuk saya sendiri. Ngawur memang 😅😅😆. Kalau nggak ngawur tampaknya hidup disini bakal susah luar biasa. Harus bisa luwes membuat aturan untuk diri sendiri. Puasa disini bisa sampai 17 jam lamanya. Ya ini pembenaran jika nanti malaikat nanya kenapa aku melakukan hal demikian. 

Kalau sebuah lembaga wajar jika mereka membuat aturan. Namanya juga memegang otoritas. Kalau kita sreg ya diikuti. Kalau kita ragu nggak bisa ambil keputusan sendiri ya tinggal ngikut. Sama-sama ngerti aja... Mereka hanya menjalankan tugas. Sebaliknya yang menjalankan tugas juga jangan melewati batas hak-hak personal. 

Mau pemimpin maupun individu punya karakter yang berbeda-beda. Ada yang dari gaya bicaranya kelihatan banget jumawa. Terkesan paling pintar, paling menguasai, paling serius dalam melakukan penelitian. Emang secara akademis gelarnya patut diacungi jempol sih. Jadi dia sebenernya berhak untuk merasa demikian. Tapi jujur aku nggak akan memilih orang seperti ini jadi pemimpin atau pemegang otoritas mengambil keputusan. Udah nampak otoriternya 😅😆. 

Disisi lain melihat orang yang begitu tawadhu'. Masyaallah bikin terharu melihat sopan santunnya. Meski punya data yang cukup kredibel tapi dari gaya bicaranya sama sekali tidak mengesankan kesombongan. 

Melihat riwayatnya, ternyata orang pesantren. Entah kebetulan atau bagaimana. Entah ini aku yang kurang jauh mainnya aja atau bagaimana. Rerata orang yang kuamati, yang jebolan dari pesantren punya akhlak yang luar biasa. Ya nggak semua sih. Ada juga yang songong. Cuma kalau bicara secara statistik orang jebolan pesantren berujung menjadi orang songong jumlahnya sangat sedikit. Maka dari itu nanti pingin anak-anakku masuk pesantren biar punya akhlak yang bagus. 

Saya sendiri sangat ingin menjadi seperti orang kedua jika saja diberi kemampuan yang setara. Kalau kondisi sekarang kan mau nyombongin apa selagi ilmu juga masih seuprit. Malah malu-maluin kalau terlalu banyak gaya 😅😅. 

Catatan.. Ilmu itu nomor dua. Nomor satu akhlak. Bukan ilmu nggak penting. Ilmu sangat penting tapi yang jauh lebih penting bagaimana memegang dan menyampaikan ilmu itu. 

*Gampang nulisnya. Susah nerapinnya. Bismillah yang penting ada niat.

https://www.facebook.com/1428354522/posts/10225977810498364/

Comments

Popular posts from this blog

jenis-jenis Sistem Transmisi mobil

Kudeta Jokowi Mulai Tercium Oleh Prabowo Subianto

Jumlah rakaat shalat tarawih sesuai tuntunan