It's time for a good cry (repost)
*It's time for a good cry (repost)
Kalian kenal dengan wajah anak ini? Yang "tua-tua" kenal, yang muda, mungkin tidak lagi. Tapi tahun 1983-1984, hampir setahun penuh, serial yang dibintangi anak ini menjadi salah-satu serial televisi paling banyak ditonton sepanjang sejarah di Jepang. Diputar pagi hari, 15 menit setiap episode, total 297 episode. Menceritakan tentang perjuangan hidup seorang anak, bernama Oshin. Usianya baru tujuh tahun, tapi dia sudah harus bekerja menjadi babysitter. Kecil sekali Oshin, harus menerima kalimat kasar, hukuman fisik dari kepala pelayan tempatnya bekerja, aduh, itu opening kisah yang sangat mengharukan.
Lantas Oshin tumbuh besar, terus tekun, teguh, hingga kelak dia menjadi Oshin yang paham tentang kehidupan.
Saat diputar di Jepang, serial ini rata-rata menguasai audience share 52,6%. Fantastis! Bravo! Kisah ini simpel tentang: jangan pernah menyerah, bahkan dalam situasi paling menyakitkan sekalipun. Lihatlah Oshin, dia tidak menyerah! Lihatlah Oshin, dia tahan banting. Diputar pagi hari oleh NHK, bayangkan, pukul 08.00-08.15, lantas re-run siangnya, 12.45-13.00, jutaan penduduk Jepang, anak-anak, orang tua, menontonnya. Cukup 15 menit sehari, jutaan penduduk Jepang jatuh cinta atas serial ini. Banyak sekali anak perempuan di tahun2 itu dikasih nama Oshin. Dan hei, bukan hanya penduduk Jepang, serial ini juga diputar di 68 negara, termasuk di Indonesia, diputar oleh TVRI. Di banyak negara, Oshin malah jadi kosakata dan nama tersendiri.
Saya tidak tahu apakah pernah ada penelitian yang serius mengenai dampak serial televisi kepada penontonnya. Tapi jelas sekali, Oshin memiliki dampak massif kepada penontonnya. Thx God, dampaknya mayoritas positif. 15 menit setiap pagi itu seperti kultum saja. Atau macam pojok literasi. Menumbuhkan pemahaman tentang kerja keras, sabar, selalu berbuat baik. Se-bebal apapun penontonnya, ada juga pesan moral itu nempel di kepalanya.
Kita punya contoh bagaimana serial televisi bukan hanya sukses secara komersil, banyak yang nonton, tapi juga berkualitas. Kita punya contoh itu. Dan saya yakin, produser, sutradara, kru, dan pembuat sinetron Indonesia hari ini pasti pernah menonton Oshin, pasti pernah tahu serial ini. Tidakkah mereka tergerak untuk membuat serial yang kualitasnya sama? Bukan malah membuat sinetron yang dipenuhi rebutan harta warisan, selingkuh, bunuh2an, lantas tabrakan, jatuh cinta sama gadis yang ditabraknya. Bukan malah sinetron cinta2an SMA--dengan pemeran yang sudah pantas punya anak 2, kisah2 cinta di sekolah yang entah di mana mendidiknya.
Saya juga punya mimpi soal serial seperti ini. Itulah kenapa saya menulis serial anak-anak Mamak. Burlian, Amelia, Eliana dan Pukat. Saya menyiapkan sesuatu lewat novel2 tersebut, membuat cerita. Dan novel ini pernah dicoba dibuat jadi sinetron di SCTV. 15 episode, 40 menit setiap episode. Sinetron yang mendapat banyak pujian dan penghargaan, sayangnya tewas setelah 15 episode, rankingnya di luar 20 besar. Tapi itu bukan masalah, besok2, jika masih ada pihak yang punya mimpi yang sama, kita bisa memperbaiki banyak hal. Sungguh dibutuhkan kerjasama, kolaborasi dari banyak orang dgn "mimpi" yang sama, dibutuhkan kesabaran, dan tahan banting pula, maka kita bisa membuat serial seperti Oshin. Saat masa itu belum tiba, saya akan fokus membuat ceritanya saja dulu.
Tentu saja, drama adalah drama, sinetron adalah sinetron, telenovela adalah telenovela, opera sabun adalah opera sabun. Termasuk novel. Itu semua hanya kisah fiksi. Penuh dramatisasi, hiperbolik. Termasuk Oshin, dibuat sedemikian rupa agar penontonnya tidak beranjak, bahkan tidak sabaran menunggu 23 jam, 45 menit. Orang2 Jepang dulu menyebutnya (dalam bahasa Inggris) "Oshin=It's time for a good cry". Tapi terlepas dari itu, pesan moral, pendidikan yang terkandung di dalamnya, semoga sampai kepada penonton, dan itulah yang menjadi nyata. Bukan lagi fiksi.
Semoga anak2 kita masih punya alternatif tontonan yang baik. Kalaupun di televisi tidak ada lagi, maka semoga mereka punya bacaan yang baik. Novel2 yang baik. Buku2 yang baik. Boleh jadi, dari sanalah kita bisa melahirkan generasi berikutnya yang lebih baik.
*Tere Liye
Comments
Post a Comment