tanggung jawab binaan pd keluarga taaruf
Belum lama sy mendapatkan curhat pilu dari seorang akhwat yang tidak mendapatkan haknya dari suami dalam pernikahan. Ia menikah melalui proses ta'aruf dikenalkan orang. Namun, si ikhwan yang sama-sama ngaji ini selama pernikahan tidak menjalankan fungsinya dengan baik dalam memenuhi nafkah keluarga. Etos kerja tidak ada, lebih banyak menganggur. Sementara si akhwatlah yang akhirnya harus bekerja sebisanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Apalagi sudah ada anak. Tidak ada kemauan untuk survive mencari nafkah untuk keluarga. Setiap melamar kerja, kerja sebentar saja lalu keluar. Bahkan mereka tak punya sepeserpun uang saat kelahiran anak mereka.
Kenyataan pilu ini membuat sy merasa harus menuliskan ini. Wahai Bapak-bapak yang punya anak binaan. Apakah qodoya rowa'i bab tanggung jawab binaan pd keluarganya tidak termutaba'ahi dengan baik? Apakah di kalangan ikhwan, bab tanggung jawab utama mencari nafkah ini tidak betul-betul dipantau? Hingga harus ada produk gagal bina seperti ini.
Memanglah bukan selalu salah pengajiannya. That's personal issue. Tapi kalau sampai ada ikhwan ngaji yang dzolim sama istri dalam waktu lama seperti ini, siapa yang patut turut dievaluasi? Selain tentunya si ikhwan ini.
Itulah yang membuat saya tidak lagi mau membantu ta'aruf orang jika saya tidak betul-betul mengenal baik siapa yang akan dita'arufkan. Bayangkan betapa merasa bersalahnya dan dzolimnya kita jika salah merekomendasikan orang begini.
Sunggung Jaman dulu modal endorse "aktivis mahasiswa, aktif banget, dulu ketua ini itu" atau "anak ngaji" masih bisa buat modal seorang akhwat memutuskan menerima seorang ikhwan. Setidaknya ikhwan jaman dulu mentalnya masih ada untk berjuang, tak membiarkan anak istri terdzolimi. Masih bisa diharapkan etos kerjanya. Sekarang? Semua endorse itu sungguh tidak cukup.
Kemarin saya ditanya, "Bun, hal urgent apa yang bunda tanyakan pada calon suami saat ta'aruf dulu?"
selain bab ibadah, ngaji, pandangan soal pernikahan, peran suami-istri, ekspektasi satu sama lain, soal birrul walidain, tinggal dimana, dll itu, saya sangat menekankan untuk menanyakan bab pekerjaan dan gaji bulanan.
Pertanyaan bab apa pekerjaannya, berapa gajinya ini menjadi hal yang sangat urgent tidak terlewat untuk ditanyakan pd taarufan ke ikhwan-ikhwan masa kini. Bukan soal besar gajinya yang kemudian jadi pertimbangan utama (meskipun ini juga tidak terlarang), tapi kita harus menggali apakah si ikhwan ini tipe laki-laki yang mau gerak "gelem obah" buat mencari nafkah.
Sebagaimana curhatan yang datang pd saya, si ikhwan nggak betahan kalau kerja. Sebentar-sebentar resign. Makanya, mencari tahu riwayat pekerjaannya menjadi penting. Kalau jarak antara masuk dan resign sebentaran doang, bisa jadi ya orangnya bosenan, dan pasti ada catatan kenapanya.
Banyak ikhwan nekat melamar akhwat, masih nganggur tp berdalih sedang merintis usaha. Jika akwat mendapat calon seperti ini, bilang "sedang merintis usaha", gali dulu usahanya apa, kira-kira penghasilkan per bulannya selama masa merintis ini berapa, riwayat pekerjaan sebelum merintis usaha saat ini apa.
Status "ikhwan ngaji" , "ikhwan semanhaj"sekarang sungguh tak bisa jadi jaminan bahwa dia bakal baik dalam hal menafkahi keluarga.
Tipikal generasi saat ini yang tidak betah bertahan lama dalam satu pekerjaan, membuat mereka mudah untuk resign dan berpindah-pindah tempat kerja. Itu tak apa, asal kepastian nafkah itu tetap menjadi tanggung jawab yang mampu ia jaminkan pada istri dan anak-anak. Sekali lagi bukan besarnya ya. Tapi ADAnya.
Laki-laki jaman dulu besar rasa tanggung jawabnya pada keluarga. Tak akan mereka membiarkan anak istrinya kelaparan. Pekerjaan apapun akan dilakukan asal bisa menafkahi anak istri. Tapi sekarang banyak laki-laki yang justru menghilangkan maruahnya sendiri dengan menjadi benalu bagi kehidupan istri. Tidak jelas pekerjaannya. Belajarlah dari orang-orang sepuh yang masih hidup sekarang, meski hidup mereka sedernaha, apa adanya, tapi mereka punya effort buat kerja untuk menghidupi keluarga.
Untuk ikhwan yang mau cari istri di saat merintis usaha, tak apa merintis usaha, tapi jika memutuskan untuk mempersunting akhwat, paling tidak dia harusnya punya tabungan untuk bertahan hidup sekurang-kurangnya selama 6 bulan sampai usahanya settle. Kecuali jika orang tua si ikhwan mensupport bab finansial sebelum benar-benar mapan, ataukah ortunya tipe yang melepas anak 100% mau kelaparan sebodo amat sudah nikah ini. Ini harus jelas.
Tidak harus PNS tapi track record kerjanya jelas.
Konsep qona'ah itu menerima seberapapun yang diberikan suami. Bukan menerima jika harus dizholimi suami yang nggak punya etos kerja. Menikah dan menjalani rumah tangga bagaimanapun tetaplah butuh biaya. Listrik, rumah (jika ngontrak), makanan sehari-hari.
Buat akhwat, jangan silau dengan predikat ikhwan ngaji, atau mantan ketua organisasi mahasiswa. Karena hidup yang sesungguhnya sangat berbeda dengan ketika kita diorganisasi. Kalau butuh uang kegiatan, tinggal mengajukan proposal. KERJA. USAHA. Sebab stabilitas ekonomi keluarga juga menjadi salah satu yang memberikan ketenangan dalam rumah tangga. Dan ini yang harusnya diupayakan semua qowwam.
Jika mau membuat manuver dalam hidup, mbok yao tetap mempertimbangkan hak-hak istri, khususnya hak mendapatkan tempat tinggal, pakaian dan makanan yang layak.
Semoga menjadi pelajaran untuk yang hendak menta'arufkan, atau hendak menjalani ta'aruf. Tidak ada yang tidak ahsan untuk ditanyakan. Kecuali bab aib yang tak perlu dibahas.
Juga menjadi PR kita untuk membesarkan anak laki-laki yang faham tanggung jawab, mandiri, punya etos kerja.
https://www.facebook.com/1521190322/posts/10218554556364745/
Comments
Post a Comment