Hukum uang muka pembelian
*Fatwa Ulama Kontemporer Tentang Uang Muka ( urbun )*
1. Syeikh Abdulaziz bin Baaz
Syeikh Abdulaziz bin Baaz pernah tentang hukum melaksanakan jual beli urbun apabila belum sempurna jual belinya. Bentuknya adalah dua orang melakukan transaksi jual beli, apabila jual beli sempurna maka pembeli menyempurnakan nilai pembayarannya dan bila tidak jadi maka penjual mengambil uang muka tersebut dan tidak mengembalikannya kepada pembeli?”
Beliau menjawab,”Tidak mengapa mengambil uang panjar tersebut dalam pendapat yang rajih dari dua pendapat ulama, apabila penjual dan pembeli telah sepakat untuk itu dan jual belinya tidak dilanjutkan.”
2. Fatwa Lajnah Daimah
Fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta dalam fatwa no. 9388 menybutkan tentang kebolehan urbun ini. Berikut petikannya:
Bolehkah seorang penjual mengambil uang muka (’Urbuun) dari pembeli dan dalam keadaan pembeli gagal membeli atau mengembalikannya apakah penjual berhak secara hukum syari’at mengambil uang muka tersebut untuk dirinya tanpa mengembalikannya kepada pembeli?
Jawaban:
Apabila realitanya demikian maka dibolehkan baginya (penjual) untuk memiliki uang muka tersebut untuk dirinya dan tidak mengembalikannya kepada pembeli –menurut pendapat yang rojih- apabila keduanya telah sepakat untuk itu. Fatwa ini ditandatangani oleh Syeikh Abdulaziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Ghadayaan.
Selain itu Lajnah ini juga punya fatwa dengan no. 19637 yang terkait dengan masalah yang sama.
“Al ‘Urbuun sudah dikenal dengan uang muka sedikit yang diserahkan pada waktu membeli untuk tanda jadi hingga menjadikan barang dagangan tersebut tergantung. Apa hukum jual beli tersebut? Banyak dari para penjual yang mengambil harta Urbuun (panjar) ketika gagal pelunasan pembayaran, bagaimana hukumnya?”
Jawaban:
Jual beli dengan uang muka hukumnya diperbolehkan. Jual beli ini dengan membayar seorang pembeli kepada penjual atau agennya (wakilnya) sejumlah uang yang lebih sedikit dari nilai harga barang tersebut setelah selesai transaksi, untuk jaminan barang.
Ini dilakukan agar selain pembeli tersebut tidak mengambilnya dengan ketentuan apabila pembeli tersebut mengambilnya maka uang muka tersebut terhitung dalam bagian pembayaran dan bila tidak mengambilnya maka penjual berhak mengambil uang muka tersebut dan memilikinya.
Jual beli sistem uang muka ini sah, baik telah menentukan batas waktu pembayaran sisanya atau belum menentukannya dan penjual memiliki hak secara syar’i menagih pembeli untuk melunasi pembayaran setelah sempurna jual beli dan terjadi serah terima barang.
Kebolehan jual beli ‘urbuun ini didasari atas perbuatan Umar bin Al-Khaththab radhiyallahuanhu. Imam Ahmad menyatakan tentang jual beli panjar ini, “Boleh.”
Dan dari Ibnu Umar radhiyallahuanhuma bahwa beliau pun membolehkannya. Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin menyatakan, “Diperbolehkan bila ia tidak ingin untuk mengembalikan barangnya dan mengembalikan bersamanya sejumlah harta.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang berbunyi :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
“Rasulullah SAW melarang jual beli dengan sistem uang muka.”
Menurut mereka merupakan hadits yang lemah (dhaif), sebagaimana Al-Imam Ahmad dan selainnya telah mendhoifkannya sehingga tidak bisa dijadikan sandaran.
Fatwa ini ditanda tangani oleh Syeikh Abdulaziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Ghadayaan
3. Majlis Fikih Islam
Majlis Fikih Islam pada seminar ke delapan telah selesai berkesimpulan dibolehkannya jual beli panjar. Berikut ini ketetapan-ketetapan yang mereka buat:
Pertama: Yang dimaksud dengan jual beli sistem panjar adalah menjual barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual dengan syarat bila ia jadi mengambil barang itu, maka uang muka tersebut masuk dalam harga yang harus dibayar. Namun kalau ia tidak jadi membelinya, maka sejumlah uang itu menjadi milik penjual. Transaksi ini selain berlaku untuk jual beli juga berlaku untuk sewa menyewa, karena menyewa berarti membeli fasilitas.
Di antara jual beli dikecualikan jual beli yang memiliki syarat harus ada serah terima pembayaran atau barang transaksi di lokasi akad (jual beli As-Salm) atau serah terima keduanya (barter komoditi riba fadhal dan Money Changer).
Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi orang yang mengharuskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun hanya pada fase penjualan kedua yang dijanjikan.
Kedua: Jual beli sistem panjar dibolehkan bila dibatasi waktu menunggunya secara pasti, dan panjar itu dimasukkan sebagai bagian pembayaran, bila sudah dibayar lunas. Dan menjadi milik penjual bila si pembeli tidak jadi melakukan transaksi pembelian.
4. Bank Islam Al Rajihi
Fatwa Al Hai’at Al Syar’iyah Li Syarikat Al Raajihi Al Mashrafiyah Lil Istitsmaar (Dewan syari’at Bank Islam Al Rajihi KSA), ketetapan no. 99.Dengan demikian yang rojih –insya Allah- adalah pendapat yang membolehkannya.
Namun perlu diingat bila penjual mengembalikan uang muka tersebut kepada pembeli ketika gagal menyempurnakan jual belinya, itu lebih baik dan lebih besar pahalanya disisi Allah sebagaimana disabdakan Rasululloh SAW :
مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَهُ اللَّهُ عَثْرَتَهُ
Siapa yang berbuat iqaalah dalam jual belinya kepada seorang muslim maka Allah akan bebaskan ia dari kesalahan dan dosanya.
Iqalah dalam jual beli dapat digambarkan dengan seorang membeli sesuatu dari seorang penjual, kemudian pembeli ini menyesal membelinya, ada kala karena sangat rugi atau sudah tidak butuh lagi atau tidak mampu melunasinya, lalu pembeli itu mengembalikan barangnya kepada penjual dan penjualnya menerimanya kembali (tanpa mengambil sesuatu dari pembeli).
Comments
Post a Comment