Batalkan total saja itu PPN buat sekolah.
*Lucu
**baca sampai selesai biar tahu lucunya apa.
Debat ini hanya menghabiskan waktu. Sia-sia. Sama kayak dulu, ketika debat ttg: buku A bebas PPN, karena dia mengandung unsur pendidikan. Buku B harus bayar PPN, karena dia tidak mengandung unsur pendidikan.
Maka muter2lah semuanya. Buku Tere Liye yg berjudul Tentang Kamu, yes, bebas PPN. Tapi buku Tere Liye yg Pulang, No. Harus bayar PPN. Padahal apakah novel Pulang itu tidak mengandung unsur pendidikan? Coba baca. Jangan2 setelah khatam buku itu, lebih banyak pengetahuan yg didapat dibanding kuliah 3 SKS (asumsi, kuliahnya banyakan tidur).
Dulu, muter2 bae debat ini. Muteeeer, muteeeer! Hingga lupa, sejatinya, orang2 yg nulis buku itu, bahkan saat dia tidak meniatkannya untuk mendidik orang lain, tetap saja dia mau buku itu bermanfaat. Juarang sekali loh ada orang yg nulis buku buat jahat. Karena kalau dia mau jahat, mending korupsi dana bansos. Lebih mudah. Nulis buku itu, duuuh Gusti, ribetnya.
Alhamdulillah, pemerintah akhirnya oke, Januari 2020, buku2 bebas PPN. Lupakan saja definisi ini, itu. Tidak dibuat ribet lagi. Juga tidak perlu bikin SKB PPN, dll, dsbgnya.
Maka, saat pemerintah berencana memungut PPN ke sekolah2. Lagi2 dengan argumen: hanya sekolah komersil yg kena PPN. Yang tidak komersil bebas PPN.
Duuuh, kamu benar2 hanya muter2 saja. Muteeer! Muteeer! Gimana sih definisi sekolah komersil itu? Sebentar, tahaaan dulu sok tahunya. Ini ribetnya, terlalu banyak orang2 yg tidak pernah bangun sekolah, tidak pernah mendirikan sekolah, tapi sok tahu banget prosesnya. Merasa bisa mendefinisikan sekolah komersil. Coba tanyakan ke Muhammadiyah misalnya, organisasi ini punya 20.000 lebih TK. Itu baru TK loh ya. Kamu coba berhitung 1 sampai 20.000, bibir kamu bisa dower, dan setelah selesai, ketahuilah, sekolah TK Muhammadiyah lebih banyak.
Tanya ke mereka:
1. Ada nggak sih orang yg bikin sekolah niatnya 100% biar profit?
2. Ada nggak sih orang yg repoooot banget bikin sekolah niatnya 100% biar komersil?
Kagak ada, cuy!
Bahkan saat sekolah itu super super mahal, super super komersil, tetap saja dia punya unsur lain yg khas dalam dunia pendidikan. Bahkan saat SPP sekolah itu 10 juta per bulan; pegang kata2 saya: tetap saja itu sekolah. Itu bukan perusahaan dagang. Di sana ada guru2, yg kalaupun di gaji 100 juta per bulan, dia bertugas mendidik anak2. Mereka bukan pedagang. Mereka guru.
Dan apa salahnya sih sekolah untung? BUMN saja, yg ngaku2 100% milik negara, kayak PLN, maksa untung. Bodo amat listrik naik mulu, yg penting untung. Itu Telkom, juga pengin untung? Bodo amat harga langganan internet paling mahal. Lantas apa salahnya sekolah untung? Pun apa salahnya jika guru2 ini digaji tinggi. Lah, kamu yg kagak jelas, mendadak jadi komisaris bisa bawa pulang 1-2 milyar per bulan. Entah apakah kamu betulan kerja atau cuma sok tahu saja di sana.
Jadi ayolah, jangan habiskan waktu utk bikin aturan yg akhirnya hanya bikin debaaat mulu.
Kamu paham pajak? Nah, kalau kamu ngaku betulan paham pajak, salah-satu kaki penting dari prinsip pajak itu adalah: sederhana. Duh, Gusti, ini teh diajarkan di pertemuan pertama belajar pajak. Sederhana.
Maka, mending kamu batalkan total saja itu PPN buat sekolah. Tidak perlu dibuat2 peraturan sekolah A komersil, sekolah B non komersil, sekolah C bla-bla-bla. Muteeeer. Muteeeer.
Saran saya, ayo, sana, buat yg menyusun draft RUU KUP ini, bertanyalah ke Muhammadiyah sebentar soal pajak sekolah ini. Mereka sudah bikin puluhan ribu sekolah. Mereka tidak minta bantuan pemerintah loh pas bikin. Mereka terus membangun sekolah2, dll, dsbgnya. Eh, mereka sudah kontribusi mencerdaskan bangsa, elu pungut PPN. Pun juga tanyakan ke organisasi, yayasan, dll yg juga terjun langsung di dunia pendidikan. Tanya mereka. Minta pendapatnya. Dan didengarkan.
What? Kamu merasa sudah paham sekali? Sudah merasa tahu banget? What? Kamu merasa lebih oke study banding ke LN soal PPN pendidikan ini. Baiklah, silahkan studi banding ke Finlandia, Eropa, Amerika deh. Hitung2 ngabisin anggaran. Karena kalau nggak habis, nanti hangus, dan tahun depan nggak dapat.
Seriusan, ini kadang sudah tidak lucu lagi. Mati2an nyari uang buat nambal APBN. Tapi aparatnya, mati2an ngabisin anggaran bodo amat itu mau dipakai buat acara di hotel2 berbintang lima, rapat di Bali, bodo amat, harus habis.
*Tere Liye, penulis novel 'Negeri Para Bedebah'
Comments
Post a Comment