Mencuci Otak ala Orang Indonesia, kasus dr. Terawan

Mencuci Otak ala Orang Indonesia

Saya sebenarnya  penasaran, ingin bikin polling kecil-kecilan, kira kira di kalangan netizen mana yang lebih banyak ya :  antara yang save dr. T, atau leave dr. T. 

Asumsi saya, lebih banyak yang memilih opsi pertama.

Dan polling itu kayaknya cukup sampai banyak banyakan saja. Siapa menang siapa kalah.  Nggak perlu sampai siapa benar siapa salah.

Karena saat ini benar dan salah selalu punya dua versi. Harus ditanyakan dulu: Versi dunia nyata atau dunia maya. 

Yang di dunia nyata, kebenaran bisa diverifikasi. Dibuktikan. Karena  baik benar atau salah, konsekuensi yang ditanggung juga harus real. Walau tidak selalu  direalisasikan, hehehe...

Di dunia maya, kebenaran direpresentasikan dengan opini terbanyak. Karena itu jika di dunia nyata anda dianggap bersalah, maka serahkanlah masalah anda pada netizen dengan meminta membuat tagar sebanyak banyaknya. 

Karena di era digital, kedaulatan ada di tangan netizen. People power ala Cory aquino atau mahasiswa di awal-awal reformasi sudah ketinggalan jaman. 

Ok, tapi terlepas dari hukum rimba media sosial tersebut, sebenarnya duduk masalah dr. T itu bagaimana? 

Bila anda termasuk orang awam di bidang kedokteran dan etika kedokteran, ceritanya begini: 

Sebelumnya, apa yang dilakukan dr. T yang disebut dengan terapi cuci otak itu bukanlah barang baru, bukan klenik juga bukan magic, tetapi merupakan suatu prosedur yang sudah sangat rutin dilakukan, jangankan di Barat yang memang menemukan prosedur ini pertama kali, bahkan di rumah sakit di kota-kota besar di indonesia pun juga. Jadi sampai di sini, harap dipahami bahwa dr. T bukanlah penemu metode yang disebut dengan DSA Ini, singkatan dari digital subtraction angiography ini, karena prosedur ini sudah dilakukan di Inggris sejak akhir tahun 70an, saat dr. T mungkin masih duduk di bangku SD. 

Tetapi alih-alih merupakan prosedur yang “dipromosikan” dr. T sebagai prosedur terapi, pengobatan, sesungguhnya prosedur ini di negeri penemunya sana adalah prosedur pemeriksaan alias diagnosis. 

Sampai di sini, are you still with me, class?

Ok kita lanjutkan. 

Nah dari namanya  saja : angiography, prosedur DIAGNOSIS ini dilakukan  dengan memasukkan cairan kontras (cairan yang bisa berpendar bila diamati dalam alat angiograph) ke dalam pembuluh darah otak. 
Aslinya,  prosedur ini bertujuan untuk mengetahui daerah pembuluh darah otak yang mana yang mengalami pembuntuan, ditunjukkan oleh cairan kontras yang menunjukkan aliran yang menyempit di pembuluh darah yang tersumbat. 

Dalam dosis cairan kontras tertentu yang dikurangi, dan bahan yang digunakan adalah heparin yang sebenarnya hanya untuk mencegah pembuntuan pembuluh darah, bukan r-TPA  yang memang untuk menghancurkan pembuntuan darah, prosedur yang sebenarnya hanya untuk melihat pembuntuan ini digunakan pula untuk meng "ogrok-ogrok" pembuluh darah. Kata pak DI yang sangat gencar mem “promosi” kannya, ini bisa dianalogikan dengan mengogrok ogrok gorong-gorong yang buntu.

Dan...AHA
Kenapa tidak sekalian aja  "dijual" sebagai TERAPI ya? 

Maka bila dipackaging dengan menarik dengan label  "terapi cuci otak", karena marketnya adalah orang Indonesia yang gampang nggumunan, gampang kagetan, dan gampang dumeh (dumeh kaya, misalnya) dan suka dengan label aneh aneh macam “mie setan", “ayam mercon”, dan berbagai nama teman teman setan maupun bahan bahan peledak lainnya untuk sekadar menggambarkan betapa pedesnya rasa makanan itu, maka harga 30-40 juta itu jadi terasa murah dan “membanggakan". Bisa jadi kalau yang stroke itu netizen jaman now maka saat dilakukan prosedur tersebut sambil selfie. 

Harga 30-40 juta untuk diagnosis. Cukup mahal. Tapi di"promosi"kan sebagai terapi. 

Keputusan benar salah tetap saya serahkan netizen. Anda yang berdaulat di dunia maya. 

Nah kini kita lihat dari aspek etik. 

Bila dr. T menyampaikan informasi yang utuh pada pasien  bahwa ini adalah prosedur diagnosis, yang kemudian dimodifikasi sehingga diharapkan punya efek mengambrolkan sumbatan penyebab stroke, dan bukanlah  terapi definitif yang sesungguhnya untuk mengobati stroke, maka masalah etiknya selesai. 

Walaupun masalah “modifikasi” sebenarnya masih perlu dikonfirmasi, ditabayyuni landasan teorinya. Jangan sampe sekedar trial and error saja. Ibarat kita melakukan ibadah yang tidak ada tuntunan dalilnya...kan biasanya rame rame dihujat sebagai bid’ah? Jadi agar tidak lagi dianggap bid’ah, maka komisi etik kedokteran berkali kali memanggil dr. T untuk menjelaskan sanad, rowi, dan matan dalil untuk modifikasi yang dilakukannya. Dan dr. T tidak pernah memenuhi panggilan  itu. 

Jadi sampai sekarang komisi etik kedokteran belum tahu dasar dalil modifikasi DSA yang dilakukan dr. T itu statusnya shohih, hasan, dlo’if, atau maudlu’ alias palsu. 

Pun dalam kasus DSA sebagai prosedur pemeriksaan, tetapi dibelokkan sebagai terapi, maka boleh jadi dari sudut pandang kaidah fiqhiyah di mana muamalah sebesar 30 hingga 40 juta itu seyogyanya akadnya jelas: pasien membayar untuk diagnosis, bukan membayar pengobatan, dan kalaupun toh ada efek samping positifnya yaitu ambrolnya sumbatan, berarti itu rejeki anak soleh, maka pembelokan itu tentu merusak akad.

Bagaimana, akhi, akhwat….Masih bisa mengikuti…?

Lanjut. 
Masalah etik kedua, kalaupun prosedur diagnosis ini dicoba sebagai "siapa tahu strokenya sembuh" maka seharusnya pasiennyalah yang dibayar, sebagai responden, bukan malah disuruh bayar, hehehe...karena artinya prosedur ini masih berupa trial. Penelitian. Belum EBM atau Evidence-Based Medicine alias Pengobatan Berbasis Bukti. 

Tapi yah berhubung pasiennya orang Indonesia...meskipun para pesohor juga termasuk di dalamnya..toh mau mau aja...hehehe..berarti dr T nggak salah salah amat. 

Kan uli ma ridlo’u….sama sama ridlo... Hehehe…

Ini dari sudut pandang saya.

Ini dunia maya. Anda yang berdaulat atas pendapat anda.

https://www.facebook.com/100001054454024/posts/1861021087276355/

Comments

Popular posts from this blog

Tingkatkan Pengetahuan Anda! TAHUKAH ANDA?

Menyambut Ramadhan

Mencampuradukkan ajaran agama lain ke dalam Islam