3 hal penting yang Indonesia perlu lakukan supaya system kesehatan Indonesia mumpuni
Dari diskusi sekian minggu lalu bagaimana supaya warga +62 ga perlu buang duit ke luar negeri u/ berobat, I wanna share a story nanggepin video dr Tony Setiobudi yg sempet viral. Beware: long post.
Hampir 10 tahun lalu, Papi ada benjolan di leher, membesarnya luar biasa cepet. Ga bisa makan, napas sesak, mau ngomong juga susah. Ternyata satu thyroidnya bengkak, diduga kanker thyroid.
Dokternya (di Indo) langsung recommend thyroid yg terinfeksi diangkat aja lalu discuss langkah selanjutnya. Kami setuju. Operasi baru jalan bentar, dokternya keluar .. bilang kalo thyroidnya bengkak tp tidak seperti kelenjar thyroid yg digerogoti kanker. Lalu dia lihat di deket thyroid, kelenjar getah beningnya lah yg kelihatan seperti kena kanker. Diagnosa bergeser jadi “diduga lymphoma”.
Thyroid ga jadi diangkat, diambil darah u dianalisa ini lymphoma tipe apa stadium berapa.
Menunggu hasil complicated blood work ini berapa lama? 3 MINGGU. Three. Weeks.
Kok lama? Karena hanya 1 LAB yang bisa dan punya izin u/ menganalisa darah di level kompleks seperti ini. Rumah2 sakit se Jakarta setor sample ke 1 lab ini. Dan yang kondisinya kritis ga cuman Papi saya. Ya maaf, nunggu.
Eniwei, setelah tiga minggu hasil tes darah ga keluar2, akhirnya dokternya nelpon ke lab ini … dan tiba2 dalam hitungan jam hasilnya keluar. Non Hodgkin Lymphoma type B, stadium 3.
Nah saya malah jadi curiga, ini beneran udah kelar analisa belum? Akhirnya saya minta sample darah papi yg masih disimpan di RS. Saya bawa preparatnya ke National Cancer Center (NCC) di Singapur.
Dalam 2 hari, yes, 2 HARI, keluar diagnosa: Non Hodgkin lymphoma, type B, stadium 3, dan dokternya nulis email panjang lebar tentang opsi treatment-nya.
Berbekal second opinion dari NCC yang persis dengan dokter Jakarta, kami memilih di Jakarta aja. Dan remisi.
Selama di RS menunggu diagnosa awal itu, masalahnya bukan cuma nunggu. Rekam medis dan billing juga berantakan, sampai di titik di mana saya nyatet sendiri tiap kali dokter visit, tiap kali obat diberikan, dan double check ke billing. Karena beberapa kali dokter nggak visit kita di bill, termasuk ditagih u/ obat yg ga pernah dikasih (dan ketika ditanya dokter mana yg visit, nyuruh kasi obat apa, saya minta lihat catatannya - either catatannya ga ada atau mereka ga mau kasi liat ke kita), dan bahkan diberi diet low sodium yang tidak dianjurkan oleh dokter dan sebetulnya ditujukan untuk pasien lain 🙈
Saya percaya bahwa dokter2 Indonesia sangat mumpuni. And I feel very safe karena punya banyak temen dokter.
Tapi dokter mumpuni saja tidak cukup. Dari pengalaman Papi, ada 3 hal penting yang Indonesia perlu lakukan supaya orang2 Indonesia yg punya uang ga merasa perlu ke luar negeri:
(1) Infrastruktur diagnosa yang cepat, akurat dan menyeluruh. Bayangkan pasien kanker stadium 3 yang napas pun susah harus nunggu 3 minggu untuk mendapat diagnosa krn lab yg bisa cuma 1. Dokter sudah bener, tidak memulai treatment sampai ada diagnosa yg pasti. Tapi itu berarti papi nunggu dan dibawa bolak balik ke RS tanpa kepastian diagnosa dan diobati cuma u mengatasi gejala - ini beban psikologis yang berat buat pasien dan keluarganya.
(2) Sistem rekam medis dan administrasi RS yg akurat, lengkap dan centralized. Kalo tiap beda dokter kudu jelasin kronologi dari awal karena ga ada referensiny, alangkah lelahnya ... pasien dalam kondisi lemah dan keluarganya juga panik dan fatigue. Apalagi kalau masih perlu ngecek bill, mantengi berapa kali dokter dan obat datang, dosisnya gimana.
(3) World-class evidence-based practice. Kalau yg didukung bukan evidence-based research, medicine and technology tapi riset abal2 yang datanya ga masuk ke jurnal dan datanya ga tersedia untuk peer review - ya piye 😅.
https://www.facebook.com/537101341/posts/10158967609741342/
Comments
Post a Comment