RUMUS KEBAHAGIAAN
RUMUS KEBAHAGIAAN
Oleh: M As'ad Mahmud
Kita mulai dari sepakbola. Fans Everton ditertawakan orang, lolos degradasi saja senangnya sudah seperti jadi juara. Menginvasi lapangan, tumpah ruah tidak karuan, sampai nyaris ada korban jiwa. Kalau suporter Manchester City wajar bergembira ria, sebab mereka beneran juara liga.
Tunggu dulu, benarkah begitu?
Yang mentertawakan itu mungkin lupa, bahwa kebahagiaan itu, apapun sebabnya, selama masih di dunia, akan menyentuh batas yang sama. Jika sudah sampai di batas, ekspresi yang lahirpun kurang lebih akan sama. Jadi hingar bingarnya fans Everton yang sudah sama gembiranya dengan fans Manchester City itu bisa dimengerti. Maka percayalah, juara AFF itu (kapan ya?) rasa bahagianya sudah sama dengan juara dunia. Pialanya lebih besar malahan.
Mungkin dari sini lahir ungkapan populer : "bahagia itu sederhana". Maksudnya bahwa untuk mencapai level kebahagiaan yang sama, caranya bisa berragam, dan tidak musti rumit-rumit. Sekali lagi, kita bicara rasa kebahagiaannya, bukan nilainya di mata manusia (yang sebenarnya juga sangat relatif).
Sampel lain : Seorang anak TK yang diwisuda plus bintang dari kertas stereo foam digunting buatan gurunya, itu sama gembiranya dengan guru besar yang dikukuhkan dengan gelar Profesor. Rasa gembiranya pengusaha yang kekayaanya bertambah satu miliar itu sama saja dengan rasa gembiranya penjual dagangan keliling yang mendapat untung katakanlah 200ribu rupiah.
Kenapa begitu? Ya karena ini dunia mas, tempatnya permainan dan senda gurau, dimana semua kesenangan sebenarnya semu dan bahkan berikutnya melahirkan kesedihan dan kekhawatiran. Si Pengusaha lalu mikir uang segitu diapakan ya? gimana caranya biar tidak hilang? Pak penjual jg sama, besok bisa untung lagi nggak ya? jangan jangan bikin orang lain iri? Bagaimana kalau ketemu begal di jalan?
Begitu saja terus berputar, dan saat sudah sampai batas, kesenangan ini malah melahirkan kekhawatiran-kekhawatiran. Karenanya ia tidak pernah benar benar sempurna dan memuaskan.
Di sinilah agama kita punya rumus paten : jangan berlebihan dengan kesenangan dunia, jangan dikejar terus, dan yang paling penting, tanamkan sifat syukur dan puas, sebab kebahagiaan itu tempatnya di jiwa, bukan pada materi dan apa kata orang. Sebab bahagia itu apapun sebabnya, sama saja rasanya.
Dalam islam sifat ini namanya qona'ah, yang dilukiskan dengan indah oleh Imam syafii :
إذا ما كنت ذا قلب قنوع *** فأنت ومالك الدنيا سواء
“Jika engkau memiliki hati yang selalu qana’ah maka sesungguhnya engkau sama seperti raja dunia.”
Ya begitulah, mau raja, mau rakyat jelata, mau kaya mau miskin papa, kalau gembira ya sama saja, tertawa ngakak. Mau di kasur busa, di tikar lusuh atau di hotel mewah, kalau tidur ya sama saja, merem sambil ngorok. Makan itu mau di resto mahal atau mau di pinggir jalan kalau sudah lewat kerongkongan ya sama saja, keluar jadi eek. Emang beda ya, ketawa dan ngoroknya orang kaya dan orang miskin? anunya juga sama saja. Pernah dengar petuah bijak tentang What Can Money Do?
Maka beruntunglah sebagai muslim kita punya keyakinan akan surga, tempat kebahagiaan kekal dan abadi, tak mengenal batas, tak lagi semu dan tak pernah melahirkan kekhawatiran-kekhawatiran. Sebab semua bersumber dari rahmat dan ridho Allah SWT. Bocorannya pun bikin penasaran : "Belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan belum pernah terbersit dalam pikiran manusia".
Jadi kesanalah seharusnya kita berburu dan meramu...
وفي ذلك فليتنافس المتنافسون
"Dan untuk (kenikmatan surga) itu hendaknya orang berlomba-lomba" (al Muthaffifin : 26)
https://www.facebook.com/100000758830025/posts/pfbid067Ez7JffoM68wYhZzwMRYFY6tGAC8HKXmRZYNXqEt13HPNyCWbFZuAMrVFwy8hNTl/
Comments
Post a Comment