MELAWAN BUDAYA KULINER
MELAWAN BUDAYA KULINER
Dulu... waktu selesai lulus kuliah, bapakku menasehati ku begini :
"Fil...kalo kamu suatu saat ikut psikotes, misal melamar pekerjaan atau tes PNS, biasanya ada psikotes nya...
Nah... biasanya di ujian psikotes itu adalah para peserta dikasih kertas, dimana di kertas tersebut biasanya sudah ada garis, atau titik.. kemudian para peserta diperintahkan untuk melanjutkan garis/ titik tersebut untuk menjadi sebuah gambar.
Kebanyakan para peserta akan menggambar makanan.... jangan sekali-kali engkau menggambar makanan"...
Akupun bertanya :" memang kenapa pak ,kalo menggambar makanan?"
Bapakku pun menjawab :" karena itu mencerminkan apa yang kamu pikirkan... bahwa makanan merupakan prioritas dalam hidupmu,...dan itu tidak baik, dan akan mempengaruhi penilaian"..
Seketika aku teringat sebuah hadits:
Rasulullah shallallahi ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما ملأ آدميٌّ وعاءً شرًّا من بطن، بحسب ابن آدم أكلات يُقمن صلبَه، فإن كان لا محالة، فثُلثٌ لطعامه، وثلثٌ لشرابه، وثلثٌ لنفَسِه
“Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus (melebihinya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas”.
Dulu .. waktu aku kuliah tahun 90 an ... rasanya gak ada istilah "kuliner"... apalagi istilah "wisata kuliner"
Dulu... bahkan jurusan tata boga termasuk jurusan yang bisa dibilang sepi peminat, dibandingkan dengan jurusan yang lain.
Dulu istilah "chef" tidak dikenal, yang ada adalah istilah "koki"
Istilah wisata kuliner kayaknya pertama kali dipopulerkan oleh Pak Bondan Winarno dalam sebuah acara TV.
Culinary dalam bahasa Inggris berarti hal urusan dapur yang berkenaan dengan keahlian masak-memasak. dengan kata kuliner. Pusat kuliner merupakan tempat makan dengan banyak stand makanan. Pengunjung bebas memilih, baik makanan maupun tempat makannya.
Sehingga bertaburan pojok-pojok jajanan hingga cafe tempat hang out dengan teman-teman dan keluarga.
Foto-foto bareng teman atau keluarga mengelilingi meja makan yang penuh makanan adalah hal biasa yang kita lihat di postingan beranda FB
Atau foto-foto makanan saja dengan caption " maknyus", adalah hal yang biasa kita temui bdi beranda sosmed.
Pun rasanya belum pas, jika mengunjungi suatu daerah, tidak berburu kuliner makanan khas daerah tersebut.
Ada tulisan dari ustadz Budi Ashari Lc tentang hati-hati terhadap kebiasaan atau budaya kuliner dan juga video dari ustadz Ammi Nur Baits Lc membuat aku merenung....
Beliau mengingatkan kita untuk berhati hati terhadap kebiasaan atau budaya kuliner.
Terus mengapa harus berhati-hati ...??
Di mana masalahnya?
Bukankah justru bisa menambah akrab anggota keluarga/ teman ...??
Bahkan bisa jadi ajang pendekatan bagi seorang ayah yang super sibuk dengan anak dan istri yang mulai merasa terdzalimi karena tidak mendapatkan hak waktu mereka ...??
Ya, tak dapat dipungkiri,banyak manfaat yang bisa diambil oleh keluarga. Bukan hanya itu. Menghilangkan sekadar kejenuhan adalah hal yang penting. Karena rutinitas yang membosankan membuat suram suasana rumah.
Dan memang boleh-boleh saja sebuah keluarga memutuskan untuk makan bersama di luar.
Tetapi ustadz Budi Ashari Lc, mengingatkan bahaya kuliner jika dijadikan budaya. Apa arti budaya di sini? Yaitu ketika anggota keluarga mewajibkannya. Ah… rasanya tidak ada keluarga yang mewajibkan.
Eittt… tunggu dulu. Kalau dalam satu pekan wajib keluar untuk kuliner. Atau ada anggota keluarga yang menuntut dan menganggapnya sebagai hak yang jika tidak terpenuhi merasa terdzalimi haknya. Atau merasa ada untaian kebahagiaan yang putus jika kuliner tidak dijalankan. Atau seorang ayah yang merasa bersalah hingga perlu minta maaf ketika minggu itu tidak keluar kuliner.
Bukankah saat seperti ini keadaannya, kuliner telah menjadi wajib?
Baiklah, apa masalahnya jika ia telah menjadi kebiasaan bahkan dirasa sebagai sebuah kewajiban. Bukankan manfaatnya begitu besar dan mahal bagi keluarga.
Mari kita simak pola makan Nabi teladan kita bersama keluarganya.
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَاتَ يَوْمٍ «يَا عَائِشَةُ، هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟» قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ قَالَ: «فَإِنِّي صَائِمٌ»
Dari Aisyah Ummul Mu’minin radhiallahu anha berkata: Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkata kepadaku suatu hari,
“Hai Aisyah, apakah kamu punya sesuatu?”
Aisyah menjawab: Ya Rasulullah, kami tidak punya apapun.
Rasul menjawab, “Kalau begitu, aku puasa.” (HR. Muslim)
Ini bukan masalah kemiskinan atau kekurangan....!!
Tapi ini masalah menyederhanakan urusan makan dan minum...!!.
Karena ini dilakukan juga oleh para sahabat lain. Sebagaimana yang disampaikan oleh Al Bukhari dalam salah satu judul babnya di dalam Kitabnya Shahih,
وَقَالَتْ أُمَّ الدَّرْدَاءِ: كَانَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُولُ: «عِنْدَكُمْ طَعَامٌ؟» فَإِنْ قُلْنَا: لاَ، قَالَ: «فَإِنِّي صَائِمٌ يَوْمِي هَذَا» وَفَعَلَهُ أَبُو طَلْحَةَ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَحُذَيْفَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
Dan Ummu Darda’ berkata: Abu Darda’ berkata: Apakah kamu mempunyai makanan?
Jika kami jawab: Tidak ada, dia berkata: Kalau begitu aku puasa hari ini.
Hal ini juga dilakukan oleh Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Hudzaifah radhiallahu anhum.
Nah, ternyata ini merupakan kebiasaan yang diajarkan Rasulullah kepada keluarga para sahabat. Dan diterapkan dengan baik di rumah para sahabat Nabi.
Apa hubungannya dengan budaya kuliner kita...??
Ada kekhawatiran. Kebiasaan kuliner yang nyaris dianggap kewajiban membuat pola makan dan minum kita menjadi rumit dan sulit.
Karena orang yang berkuliner biasanya cenderung mencari yang baru dari makanan dan minuman. Bahkan bukan hanya menunya. Tetapi cara makan dan cara minumnya.
Pun demikian juga bentuknya....
Nasi yang biasanya cukup dituang dalam piring, diubah menjadi bentuk dari yang lucu, sampai bentuk yang aneh , bahkan kadang menjadi menyeramkan...
Tak hanya itu, suasana pun termasuk yang dicari dan dikejar. Ketika makan di taman, pinggir kolam air sudah dianggap biasa, ada sebuah rumah makan menawarkan makan bersama singa...😳😳
Aku pernah melihat video sebuah rumah makan yang terletak di tebing yang tinggi.
Pun aku pernah melihat sebuah video tentang rumah makan di dasar laut,di negara Maldives....!!
Tentu rumah makan semacam ini tidak murah... karena mereka tidak hanya menjual makanan, tapi juga menjual tempat...!!
Urusan makan yang tadinya sederhana, menjadi ribet....
Tidak cuma soal rasa dan Bentuk penyajiannya...tapi juga soal tempat...
Maa syaa Allah laa quwwata illa billaah....
Hanya untuk mendapatkan kepuasan makan, orang harus melakukan yang aneh-aneh.
Akhirnya, makanan dengan menu dan suasana ‘biasa’ di rumah menjadi sulit dinikmati.
Bukankah orangtua sering kesulitan membangkitkan selera makan anak-anaknya?
Orangtua sering tidak sadar bahwa salah satu sebabnya adalah pola makan yang dibiasakan. Kalau kebiasaan itu tidak dilakukan, maka anak ngambek tak mau makan.
Atau justru sebaliknya, anak-anak jadi tidak selera makan, jika tidak makan di luar ?...
Teringat bagaimana aku sempat heran, ketika seseorang bercerita kepadaku, bahwa putri bungsunya ingin makan malam ayam goreng yang ada di kota Batu, sementara rumah mereka ada di kota malang.
Jarak rumah nya dengan kota Batu sekitar 23 km...
Hanya ingin makan malam dengan ayam goreng, harus menempuh jarak sejauh itu ? 😳
Suatu pagi menjelang siang, ustadz Budi Ashari Lc, melihat seorang anak yang usianya baru sekitar lima tahun. Dia terlihat marah. Duduk dengan wajah lesu dan kecewa.
Beliau mendekatinya dan bertanya ingin tahu apa yang tengah terjadi.
Sambil menunjuk-nunjuk makanan di meja, si anak tumpahkan kemarahannya, “Nggak begitu makanannya. Harusnya roti, susu, nugget….(dia terus menyebut daftar menu).”
Sang ustadz pun merengkuhnya dan berkata : “Nak, kalau kamu tidak mau makan makanan yang sudah tersedia, ya sudah tidak usah kamu makan. Ditinggal saja tapi tidak usah dihina makanannya. Sebab Rasul dulu kalau tidak suka sebuah makanan, tidak memakannya tapi tidak menghinanya.”
Begitulah dialog ringan sang ustadz dengan anak kecil itu.
Beliau khawatir, mengapa anak seusia itu terlihat begitu marahnya hanya karena masalah menu makanan. Jangan-jangan ini bukan hanya masalah selera. Tetapi masalah budaya makan yang rumit karena kuliner.
Silakan kita dan keluarga menikmati makanan dan minuman lezat. Tapi sudah waktunya kita membuat pola makan di keluarga kita sesederhana pola makan Rasulullah dan keluarganya.
Nikmati yang ada.
Jika tak suka, tidak usah dimakan tapi tanpa menghinanya.
Sebagaimana diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ إِنْ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan sekali pun. Apabila beliau berselera (suka), beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun meninggalkannya (tidak memakannya).”
(HR. Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064)
*Contoh Perbuatan Mencela Makanan*
Contoh mencela makanan misalnya perkataan seseorang :
“terlalu asin”;
“makanan ini kurang garam”;
“terlalu asam”;
“terlalu encer”;
“belum matang”;
dan kalimat-kalimat semacam itu. Sebagaimana hal ini dicontohkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini. (Syarh Shahih Muslim, 7: 135)
*Kenapa Dilarang Mencela Makanan ?*
Sebab larangan tersebut adalah karena makanan (pada hakikatnya) merupakan ciptaan Allah Ta’ala, sehingga tidak boleh dicela.
Ada sisi (penjelasan) yang lain terkait larangan ini, yaitu celaan terhadap makanan akan menyebabkan adanya rasa sedih dan menyesal di dalam hati orang yang telah membuat dan menyiapkan makanan tersebut.
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup pintu ini sehingga tidak ada jalan masuknya rasa sedih ke dalam hati seorang muslim. Dan syariat selalu memperhatikan hal ini. (Kitaabul Adab, hal. 164)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
والذي ينبغي للإنسان إذا قدم له الطعام أن يعرف قدر نعمة الله سبحانه وتعالى بتيسيره وأن يشكره على ذلك وألا يعيبه إن كان يشتهيه وطابت به نفسه فليأكله وإلا فلا يأكله ولا يتكلم فيه بقدح أو بعيب
“Yang hendaknya dilakukan oleh seseorang jika dihidangkan makanan adalah menyadari besarnya nikmat Allah Ta’ala kepadanya dengan memudahkannya (mendapatkan makanan) dan juga bersyukur atasnya. Dan seseorang hendaknya tidak mencela makanan tersebut. Jika dirinya berselera dan senang (suka) terhadap makanan tersebut, hendaklah dimakan. Jika tidak, maka tidak perlu dimakan, dan tidak mengomentari makanan tersebut dengan komentar yang berisi celaan dan hinaan.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1; 817)
Referensi :
https://www.arrahmah.id/hati-hati-budaya-kuliner/
https://muslim.or.id/54713-larangan-untuk-mencela-makanan.html
Comments
Post a Comment