Potret Masjid Negeri
Saat Allah Disepelekan
Oleh : Irene Radjiman
Saat arus balik para pemudik sudah mulai sepi, kami sempatkan untuk bersilaturahmi pada keluarga saya yang muslim disebuah daerah di Wonosobo. Disana masih tinggal paman dan bibi saya (adik-adik dari almh. Ibu saya).
Bila berjalan-jalan di pelosok-pelosok desa wilayah kabupaten Wonosobo, akan banyak bertebaran masjid dan mushola, menandakan jumlah umat Islam yang banyak. Banyak juga bertebaran pondok pesantren.
Kabupaten Wonosobo diapit oleh gunung sindoro dan gunung sumbing. Udara yang sangat asri, sejuk dingin khas pegunungan langsung ramah menyapa saat kami melintasinya. Terlebih desa-desa yang kami kunjungi terletak di lereng gunung. Tidak heran bila jalan yang kami lintasi penuh dengan tanjakan curam, turunan curam, bahkan menanjak di tikungan yang curam dengan kanan kiri kita lihat jurang. WOW ! So excited !
Di rumah paman saya masih dibanjiri banyak tamu. Dari cerita-cerita para tamu saya jadi tahu bahwa santet, teluh dan sebagainya adalah hal yang sudah tidak asing lagi bagi mereka.
Bila dilihat daerah tersebut adalah daerah yang subur. Seharusnya masyarakat disana berkehidupan makmur. Namun ironisnya angka TKI / TKW sangatlah tinggi. Saya belum bisa menunjukkan angka pastinya, yang pasti dari cerita bibi saya di desa mereka saja sudah lebih dari 10 orang yang bekerja sebagai TKW. Mereka mengatakan sangat sulit mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang layak di desa mereka. Harga panen para petani sering kali tidak sepadan dengan biaya dan tenaga yang sudah mereka keluarkan. Saya hanya tertegun mendengar cerita itu. Bahkan info yang saya dapat dari penduduk setempat, untuk menjadi kuli panggul di pasar tradisional harus membayar 30 juta pada koordinatornya. Untuk menjadi tukang ojekpun ada uang iurannya. Subhanallah.... cukup kaget mendengar fenomena ini justru terjadi di daerah dengan tanah yang subur, air bersih berlimpah dan mayoritas Muslim. Ada apa ini ? Apa yang salah atau siapa yang salah ?
Saya bermalam disebuah dusun bernama dusun Sirebut, desa Adiwarno, kecamatan Selomerto, kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Hampir 1 minggu saya bermalam disana. Signal internet nyungsep 😄. Ada satu hal yang sangat menggelitik disini.
Pukul 11:35 WIB saya mendengar suara adzan dhuhur. Saat mendatangi masjid desa, tidak ada seorangpun disana. Tiba-tiba peternak itik lewat sambil menggiring itiknya berhenti tepat di masjid dimana aku dan suamiku menunggu jama'ah untuk melakukan sholat dhuhur. Peternak itik itu menghampiri kami.
"Madosi sinten den ?" (Nyari siapa den ? / Den adalah sapaan mereka bila melihat orang asing yang mereka pikir dari kalangan bangsawan)
"Niki ngentosi jama'ah sholat wa." (Ini nungguin jama'ah sholat paman)
"Sholate mangke den, niko wau adzane mesjid Muhamadiyah ! Mesjid mriki mengke den jam kaleh welas luwih, sakniki taseh teng sawah, dereng mantuk" (Sholatnya nanti den, itu tadi yg adzan masjidnya muhamadiyah ! Masjid sini nanti den jam 12an lebih, sekarang masih pada disawah, belum pulang)
"Ooohhh...!" Aku dan suami speechless melongo, hanya berpandangan, nggak ngerti mau ngomong apa. Hingga si paman penggiring itik itu pamit. Alhasil aku dan suami jama'ah berempat bersama anak-anak. 30 menit setelah itu kami dengar adzan di masjid desa berkumandang. Banyak hal berkecamuk dari dalam dadaku. Aku tidak tahu rasa apa ini !" Ampuni saudara-saudaraku ya Allah !" Jeritku dalam hati.
Kami pulang kerumah paman. Dirumah paman aku bercerita tentang kejadian di masjid tadi. Pamanku memberi penjelasan.
"Kalo disini memang begitu mbak Nina. Adzan duhur dan asharnya 2x. Yang pertama ya itu dari masjid muhamadiyah, itu adzannya sesuai waktu. Nah kalo masjid disini adzannya jam 12 atau lebih untuk menandakan orang-orang disawah kalo sudah jam 12. Kalo ashar juga begitu, masjid disini adzannya jam 4 sore atau jam setengah 5, buat tanda orang disawah kalo udah jam 4 sore, udah waktunya pulang. Jadi orang-orang disini baru pulang dari sawah kalo udah dengar adzan yang kedua."
Aku melongo. Tapi tetap bertanya : "Kenapa begitu Om ? Apa disini ga ada ulama ?"
"Ya ada, tapi ulamanya mengikuti kebiasaan orang disini." Tenggorokanku tercekat menatap omku.
Ternyata dusun Sirebut masih katagori lumayan. Suatu hari aku bersama suami dan adik sepupuku bersilaturahmi ke rumah omku yang lain di dusun Tembelang, desa Perboto, kecamatan Kalikajar, kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Kami berangkat ba'da duhur. Perjalanan yang kami tempuh kurang lebih 1 jam (dari Sirebut menuju Tembelang), melewati jalan setapak terjal yang masih berbatu menggunakan motor gunung. Kanan kiri kami lihat jurang masih menganga. Tikungan tajam yang menanjak ataupun tikungan tajam yang menurun adalah medan perjalanan yang harus kami lalui. Disana rata-rata mereka beternak ikan dan kambing, bertani cabai dan bertani kopi. Ketika sudah pukul 15:15 WIB aku belum juga mendengar adzan ashar.
"Om, disini adzan ashar jam berapa ?"
"Jam 5 sore." Jawab omku biasa saja.
"Kok jam 5 sore ? Padahal maghribnya jam setengah 6 ?" Aku sedikit protes.
"Disini memang begitu Nin. Kalo ada yang adzan jam 3 nanti diprotes sama orang yang mburuhin orang kerja disawah. Soalnya orang kerja disawah itu patokannya kalo udah denger adzan ashar berarti pulang. Lha kalo jam 3 sudah adzan, rugi yang bayar buruh, buruhnya jam 3 sore udah pulang. Kecepetan !" Penjelasan panjang lebar omku membuat hatiku lemas.
Itu baru 2 desa yang aku temui. Berapa banyak desa di Indonesia yang menyepelekan Allah seperti Sirebut dan Tembelang ? Kemana ulama ? Kemana da'i ? Astaghfirullah al adziim.
Sirebut dan Tembelang bukanlah desa tertinggal. Walau jaringan internet timbul tenggelam disana, namun masyarakat disana sudah mengenal teknologi. Setiap keluarga minimal punya kulkas, tv led, dan telepon genggam. Tapi apakabar akidah mereka ?
Saya buat tulisan ini, mohon untuk diviralkan. Ini adalah bagian dari ikhtiar saya "melakukan sesuatu" untuk saudara-saudara kita disana. Berharap para ulama berilmu, bukan hanya berseliweran di youtube, sosmed ataupun di kota-kota besar. Tengoklah desa-desa macam ini. Ada berapa banyakkah di negeri ini ?
Jelaslah santet dan teluh bisa merajai disana. Penyakit mereka bukan karena disantet atau diteluh, tapi karena penyakit akidah yang sudah sedemikian parah. *ALLAH DISEPELEKAN !* Ini masalah ! Sangat bermasalah ! Bahkan bisa dikatakan masalah besar !
Agama Islam bukan hanya agama yang disandang agar seseorang memiliki status umat beragama. Islam itu adalah peta yang memiliki lentera. Peta dan lentera harus diposisikan didepan, agar manusia tetap menapaki jalan yang lurus, tidak terkena kotoran, tidak terjerembab di dalam lumpur dan tidak terperosok ke dalam jurang. Manusia yang harus mengikuti lentera itu. Bagaimana tidak tersandung, menginjak kotoran bila saat berjalan lentera ada dibelakang kita.
Bukan aturan agama yang disesuaikan dengan adat kebiasaan, tapi adat kebiasaan yang harus menyesuaikan aturan agama. Bukan penggaris yang harus dipotong saat ukuran kayu terlalu pendek, tapi kayu yang harus ditambahkan atau dipotong saat ukurannya tidak sesuai dengan penggaris.
Saat Allah disepelekan, maka dirimupun akan disepelekan.
Berapa banyakkah daerah semacam Sirebut dan Tembelang di Indonesia ? Hingga negeri kaya raya ini terlihat miskin dan disepelekan negara lain ?
#MulaiBesokGantiPerilakuHidup
Bukan hanya jihad untuk Palestina, Rohingia, dsb. Kita semua juga bertanggungjawab dan akan dimintai pertanggungjawaban, apa yang sudah kita lakukan setelah tahu ada pesakitan akidah di beberapa desa di negeri ini.
Bagaimana akan berpolitik ? Saat dasar akidah belum dipahami ! 😭😭
#WonosoboMerinduUlama
Wonosobo, 02 Juli 2018
http://www.sudut-sudutsurga.com/2018/07/saat-allah-disepelekan.html?m=1
Comments
Post a Comment