BAHAYA INDONESIA MENGHAMBA PADA CINA

*BAHAYA INDONESIA MENGHAMBA PADA CINA* 

Penulis: Smith Alhadar 
Editor: Abdurrahman Syebubakar

Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan terang-terangan mengatakan Indonesia tak bisa lepas dari Cina. Negara tirai bambu itu merupakan kekuatan dunia. Tak kurang dari 18 persen ekonomi global disumbang oleh Cina. "Jadi, suka tidak suka, senang tidak senang, mau bilang apa pun, Tiongkok adalah kekuatan dunia yang tak bisa diabaikan," katanya dalam diskusi virtual (cnbcindonesiacom, 5 Juni 2020).

Pernyataan Luhut itu nampaknya bertujuan menjawab keresahan masyarakat tentang fenomena pengaruh Cina di negeri ini yang terus membesar. Besarnya pengaruh Cina terhadap dunia di lihat Luhut sebagai gambaran kepada masyarakat bahwa kerja sama dengan Cina penting dilakukan. Apalagi politik luar negeri Indonesia bebas aktif  sehingga boleh menjalin kerja sama dengan negara mana pun. Jadi, kita tidak boleh bermusuhan dengan Cina. Lagi pula tidak ada alasan untuk bermusuhan.

Semua yang dikatakan Luhut itu benar. Kini Cina merupakan negara dengan besaran ekonomi terbesar kedua di dunia. Teknologinya pun sangat maju. Negara ini juga merupakan satu di antara lima anggota DK PBB yang punya hak veto. Yang tak bisa dilupakan juga adalah kenyataan bahwa jarak geografis kita dengan Cina sangat dekat. Bahkan, di Laut Natuna Utara kita bersinggungan dengan klaim Cina atas sembilan garis putus-putus di Laut Cina Selatan.

Indonesia juga perlu menjalin kerja sama dengan Cina untuk memperkuat diplomasi dan ekonomi nasional. Tidak masuk akal kita bermusuhan dengan kekuatan global ini. Apalagi tidak ada alasan untuk bermusuhan dengannya. Dengan menjalin hubungan erat dengan Cina malah akan memperkuat diplomasi kita di tingkat global. Bahkan kita harus bisa memanfaatkan kemajuan Cina di bidang iptek dan ekonomi untuk kepentingan nasional.

Semua itu tidak menjadi keberatan rakyat Indonesia. Yang ditakutkan hubungan Indonesia-Cina berat sebelah sebagaimana yang terjadi sekarang. Terkesan Indonesia telah menjadi antek Cina. Memang sulit untuk tidak mengatakan Indonesia telah jatuh di bawah pengaruh Cina. Itu dapat dilihat dari ketidakmampuan rezim Jokowi menolak keinginan dan harapan Cina pada negeri ini.

Di tengah wabah covid-19 yang menciptakan pengangguran masif, rezim Jokowi tak mampu menolak masuknya ratusan pekerja kasar Cina kendati mendapat kritik keras dari masyarakat. Rezim Jokowi juga membisu atas perlakuan zalim rezim komunis Cina atas jutaan kaum Muslim Uighur. Tak kurang penting, rezim Jokowi menjadikan Cina sebagai saudara tua. Setiap kali muncul masalah besar di tanah air, rezim Jokowi hampir selalu mencari penyelesaiannya ke Cina. Semua ini bisa terjadi karena rezim Jokowi terlalu mengandalkan utang dan investasi Cina untuk memacu pertumbuhan ekonomi dalam negeri tanpa sikap hati-hati.

Selain AS, Perdana Menteri Malaysia pernah mengeluarkan peringatan keras kepada negara-negara yang berutang pada Cina. Baginya, utang pemberian Cina adalah jebakan. Hal itu sudah dialami Sri Langka dan beberapa negara Afrika, seperti Djibouti. Akibat gagal bayar, Cina mengambil alih proyek infrastruktur yang dibangunnya atau meminta kompensasi teritori  untuk dibangun pangkalan militer Cina.

Seiring dengan investasi raksasa Cina, mulai dari Asia hingga Eropa melalui proyek OBOR, Cina perlu basis-basis militer di luar negeri untuk melindungi investasinya. Untuk mendapatkan  teritori demi membangun pangkalan militer di mancanegara, Cina menggunakan utang sebagai jebakan. Karena itu, begitu terpilih jadi perdana menteri, Mahathir langsung membatalkan proyek infrastruktur Cina di Malaysia senilai 20 miliar dollar AS. Mahathir juga meminta negosiasi ulang sejumlah proyek Cina yang dinilai berat sebelah. Untuk membayar utang Malaysia terhadap Cina, Mahathir meminjam dari Jepang. Baginya, berutang pada Jepang jauh lebih aman ketimbang pada Cina yang taruhannya adalah penyerahan kedaulatan negara. Hal yang ditakuti Mahathir inilah yang kini dilakukan rezim Jokowi.

Seharusnya kita mengikuti jalan yang ditempuh Malaysia. Mengakui Cina sebagai negara berpengaruh di dunia tak berarti kita harus tunduk padanya. Posisi geopolitik, geostrategis, dan geoekonomi Indonesia yang sangat strategis bagi Cina seharusnya membuat kita mendapat keuntungan lebih besar dalam kerja sama dengan Cina. Faktanya, Cinalah yang paling diuntungkan.

Padahal, menurut analisis pakar ekonomi internasional, Indonesia dapat menjadi kekuatan ekonomi keempat di bawah India, Meksiko, dan Vietnam dalam sepuluh tahun ke depan kalau kita bisa mereorientasikan kebijakan politik dan ekonomi kita ke dalam. Ini juga sesuai dengan amanat Konstitusi kita. Tentu berutang pada Cina boleh -- kalau bisa tidak berutang sama sekali -- tetapi, sebagaimana dikatakan Mahathir, kalau  tak mampu melunasinya, kita akan berada di bawah kontrol Cina.

Mahathir mengatakan itu sebagai respons atas penggelontoran sejumlah besar dana Cina kepada Filipina. Ia memperingatkan Filipina agar berhati-hati atas potensi jebakan kalau tak mampu melunasinya sebagaimana dialami Malaysia di bawah PM Najib Razak. Dalam konteks Indonesia, jebakan utang Cina memang relevan untuk mendapat perhatian. Cina mengincar Indonesia sebagai jalan menuju kontrol atas seluruh Asean dan akses ke Australia dan Pasifik Selatan. Ini karena Indonesia merupakan  negara terbesar di Asean dan tetangga Australia.

Apa yang dikatakan Luhut tersebut tak lain merupakan justifikasi atas penghambaan Indonesia kepada Cina. Di masa wabah covid-19 yang menghantam ekonomi Indonesia yang membuat rezim Jokowi limbung, bisa jadi Luhut, sebagai komprador Cina, akan mencari piutang baru di Cina untuk menyelamatkan rezim. Ingat, pandemi covid-19 masih akan berlangsung relatif lama, antara 2-3 tahun. Dus, berpotensi mendorong rezim mencari utang baru. Dan Cina merupakan sumber keuangan yang mudah didapat saat banyak negara kaya sedang dibelit masalah ekonomi yang parah, termasuk AS. Kalau pada akhirnya rezim Jokowi meminjam lagi dari Cina, maka kedaulatan Indonesia benar-benar dalam taruhan. []

*CATATAN KRITIS IDe#68*
*Institute for Democracy Education*
Jakarta, 7 Juni 2020

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=261612235178269&id=100039884825644

Comments

Popular posts from this blog

jenis-jenis Sistem Transmisi mobil

Kudeta Jokowi Mulai Tercium Oleh Prabowo Subianto

Jumlah rakaat shalat tarawih sesuai tuntunan