mengapa bisa lahir orang-orang dengan kualitas keilmuan dan karakter ulung?
Waktu remaja dulu, saya kagum dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti: Tiga Serangkai, Dr. Sutomo, Muhammad Hatta, atau Soekarno. Pertanyaan yang senantiasa muncul dalam benak saya adalah: Dalam situasi yang penuh dengan keterbatasan, mengapa bisa lahir orang-orang dengan kualitas keilmuan dan karakter ulung seperti itu? Apa yang membuat mereka bisa menjadi orang-orang besar?
Tanpa sadar saya membandingkannya dengan kondisi di mana saya hidup. Apa yang kurang dari zaman ini? Teknologi jelas lebih maju. Sekolah ada di mana-mana. Informasi nyaris bisa diperoleh dari mana saja. Tapi mengapa seolah ada 'penurunan kualitas' manusia, baik secara keilmuan maupun karakternya?
Pikiran-pikiran semacam ini menggelisahkan saya. Jelas ada sesuatu yang salah. Tapi di mana?
Baru beberapa tahun kemudian, ketika merenungkan pemikiran-pemikiran Charlotte Mason, saya menemukan jawabannya!
Pada bagian awal Vol. 6, CM pun mengungkapkan keprihatinan serupa. Pada saat Perang Dunia 1 terjadi, ada beberapa orang yang lebih memilih tinggal di rumah alih-alih melayani negara dan sesama. Hal itu memunculkan pertanyaan: mengapa ada orang-orang yang tak memiliki kemampuan untuk melihat melampaui kepentingan-kepentingan sempit mereka sendiri? Mengapa tidak muncul patriotisme berbasis nalar? Mengapa tidak ada dorongan untuk bermurah hati?
Tidak bisa tidak, ada yang salah dalam pendidikan kita!
Kita meminta anak-anak membaca penggalan-penggalan fakta dalam buku LKS mereka. Kita meminta mereka mengerjakan soal-soal pilihan ganda. Kita menyuruh anak belajar rajin supaya mendapat nilai yang bagus atau lulus tes. Kita mengajari mereka hal-hal teknis untuk membuat mereka terampil dalam bidang tertentu. Lalu kita menyebut itu semua sebagai 'pendidikan'.
CM dengan tegas mengatakan: itu bukan pendidikan!
Manusia itu bukan hanya terdiri dari daging. Ada aspek spiritual dalam dirinya. Namun sisi ini sering diabaikan. Akalbudi seseorang membutuhkan nutrisi dari pemikiran-pemikiran dan ide. Hanya ide-ide berhargalah yang membuat budi tergugah. Hanya pemikiran-pemikiranlah yang membuat benak seseorang menjadi lebih berpikir.
Andai kita menyadari bahwa akalbudi anak butuh diberi asupan untuk membuatnya sehat dan bertumbuh, masihkah kita tega memberi mereka kepingan demi kepingan fakta-fakta garing dalam buku-buku teks untuk dicerna?
Andai kita mengetahui bahwa akalbudi setiap anak itu mampu mencerna pengetahuan secara swadaya, sebagaimana lambung secara alami mencerna makanan, masihkah kita sampai hati menyodorkan selembar kertas ujian berisi soal-soal pilihan ganda? Tidakkah itu sama dengan meminta anak memuntahkan apa yang mereka makan, untuk melihat sejauh mana makanan sudah berhasil mereka cerna?
Kalau kita melihat rendahnya minat baca, etos kerja, kreativitas, sampai akhlak lulusan sekolah, itu karena kita mengalami apa yang dinamakan CM dengan istilah 'malnutrisi spiritual'. Dan hal itu terjadi karena kebanyakan sekolah mengabaikan aspek hakiki manusia. Anak-anak dipersiapkan menjadi pekerja dan pencari nafkah, tapi karakternya tak pernah digarap secara serius.
Jadi pendidikan yang sebenarnya kita butuhkan adalah pendidikan yang mempersiapkan anak untuk kehidupan, bukan sekedar untuk mencari nafkah; pendidikan yang bisa membuat anak tumbuh menjadi pribadi utuh dan berkembang secara holistik, mampu memenuhi potensi diri, menjalani hidupnya dengan baik, sekaligus tahu bagaimana mengabdikan hidupnya untuk kepentingan di luar dirinya.
"Belajar supaya lulus tes" adalah kultus yang mendatangkan bencana. Berapa banyak anak yang akhirnya mencontek sekedar demi mendapat nilai memuaskan? Barangkali kita menganggap hal itu sebagai sesuatu yang lucu atau biasa, tapi bukankah itu menunjukkan bahwa anak belajar bukan karena ia memang mencintai ilmu pengetahuan? Lalu setelah dewasa, mereka menjadi manusia-manusia berpikiran dangkal, yang hanya mampu membuat keputusan dengan sudut pandang sempit.
CM berkata mengubah sistem dari luar sistem itu percuma. Kalau mau pendidikan berubah, sekolah-sekolah musti berbenah. Manfaatkan jam sekolah dengan baik, perkaya bacaan-bacaan yang ada di sekolah. Biarkan anak mencerap buku-buku bermutu, yang penuh dengan ide-ide berharga untuk direnungkan: di bidang sastra, sejarah, ekonomi, sains, dsb. Minta mereka membaca dengan konsentrasi penuh sehingga sekali baca saja cukup. Narasikan apa yang sudah dibaca. Narasi adalah sarana menjalin relasi dengan pengetahuan sekaligus mengikat pengetahuan. Jadi tidak perlu lagi ujian-ujian pilihan ganda atau mengisi titik-titik. Cara seperti ini akan mencegah sekolah sekedar menjadi tempat drilling persiapan ujian, para siswa pun akan dipenuhi rasa cinta dan takzim pada ilmu pengetahuan.
Saya tidak tahu, apakah ide yang disampaikan oleh CM ini mendapat tempat dalam pendidikan kita yang cenderung utilitarian. Tapi seandainya tidak pun, dengan mengetahui ide besar gagasan CM, kita tetap bisa melengkapi sendiri, apa-apa yang kurang didapat oleh anak-anak kita di sekolah.
Ilustrasi: google
#refleksikecil
#charlottemasoneducation
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10158417881007258&id=817702257
Comments
Post a Comment