Wanita yang Kebetulan Diurus Suamiku

Aku Wanita yang Kebetulan Diurus Suamiku

Bagaimana rasanya saat suami mengaku kalau aku hanyalah orang lain yang kebetulan dia urus?

Tak seperti emak-emak KBM yang beraninya main keroyokan, aku mah santuy aja.

Begitu komentar suamiku itu viral, aku pun mengajaknya mengobrol.

"Mas, jadi bener aku hanyalah orang lain yang kebetulan kamu urus?"

Ia menghela napas kemudian menjawab, "Kan memang kenyataan kalau kamu itu orang lain bagiku. Tak ada ikatan darah di antara kita. Kita saling mengenal dan menikah pun saat sudah sama-sama dewasa. Beda dengan anak. Banyak yang bilang kan? Nggak ada yang namanya mantan ibu, mantan adik, mantan kakak atau mantan anak. Tapi mantan istri? Ada kan? Itu artinya kamu orang lain."

Aku manggut-manggut. "Jadi ... aku ini orang lain yang kebetulan kamu urus? Yang kebetulan jadi ibu dari anak-anak kamu?"

"Iya dong! Kalau dulu kamu nggak mau, ya aku cari wanita lain," pungkasnya.

"Jadi ... aku ini sama saja dengan pegawai-pegawai di kantor tempatmu bekerja itu? Aku ini kamu anggap sebagai pekerja yang membantumu, begitu?"

"Yaah ... kalau kamu menganggap begitu, ya ... memang seperti itulah keadaannya," jawabnya tanpa beban.

"Baiklah, Mas. Aku menerima semua pendapatmu itu. Dan ini ... tolong kamu lunasi semuanya!" Aku menyerahkan selembar kertas berisi deretan angka-angka.

Ia terbelalak saat menatap deretan angka itu. "I-ini a-apa?" tanyanya tergagap.

"Kamu nggak bisa baca dan berhitung, Mas? Ya udah, sini aku bacain!" Aku meraih kertas putih itu dari tangannya dan membacanya keras-keras. "Aku masih perawan saat menikah, susah lho, Mas, cari perawan. Jadi kegadisanku itu kutawarkan 3 miliar saja. Padahal kemarin ada gadis yang lelang keperawanan, nembus angka 30 miliar. Kamu masih beruntung aku kasih diskon 90 persen.

Kita sudah menikah selama 20 tahun, dalam setahun ada 52 minggu. Kamu itu minta jatah malam 2 kali seminggu bahkan lebih. Nggak usah hitung kelebihannya, anggap aja aku kasih bonus. Dua dikali 52 minggu dikali 20 tahun, 2080 kali. Kukasih murah, 500 ribu. Jadi untuk naena kamu berutang padaku, 1 miliar 40 juta.

Aku mengandung anak-anakmu, kuminta sewa rahim 10 juta perbulan. Karena anakmu ada 3, sewanya 270 juta. Harga air susuku kusamakan dengan sufor yang bagus ya, sebulan 1 juta. Padahal sufor paling bagus pun kalah lho sama ASI-ku. Semuanya kususui 2 tahun, jadi kamu harus membayar 72 juta.

Gajiku sebagai baby sitter dari anak bayi sampai umur 5 tahun dan masuk PAUD, 3 juta sebulan. Tiga anak dikali 5 tahun dikali 12 bulan dikali 3 juta, hasilnya 540 juta. Selama ini, aku yang mengajarkan anak-anak mengaji dan belajar di rumah. Si sulung sudah bersekolah 14 tahun, yang tengah 12 tahun dan si bungsu 10 tahun. Aku ngajar semua mata pelajaran dari mereka pulang sekolah sampai mereka tidur dan bimbelku privat lho, face to face, bukan online. Gaji guru privat satu juta per bulan, tiga anak itu semuanya 432 juta.

Selama ini aku melakukan semua pekerjaan rumah. Kuminta upah sebagai asisten rumah tangga, 4 juta saja karena sudah kupotong uang makanku sejuta sebulan, jadi kamu membayar 48 juta dikali 20 tahun atau 960 juta. Uang bonus yang kamu berikan setiap hari raya kuanggap THR ya, Mas. Uang nafkah seadanya tiap bulan jangan dihitung, karena hanya cukup untuk makan kamu dan anak-anakmu. Itu pun susah payah aku cukup-cukupkan.

Oh iya, aku juga minta kompensasi atas trauma dan kerugian morilku saat melahirkan sebanyak 5 miliar tiap bersalin. Itu sudah murah lho, mengingat aku sudah bertaruh nyawa. Jadi total utangmu, 21 miliar 314 juta." Aku berbicara tanpa jeda dengan kecepatan cahaya.

Suamiku mendelik dengan tangan memegang dada kiri. Sepertinya dia mendadak kena serangan jantung. Apa uang sebanyak itu sangat mengguncang jiwa kepelitannya? Atau aku yang salah hitung? Rasanya sudah benar.

Cepat-cepat aku kembali berkata, "Aku tau kamu nggak punya uang sebanyak itu. Jadi sebagai pembayarannya, aku ambil rumah, mobil dan semua tabunganmu. Sisanya bisa kamu cicil setiap bulan. Oh iya, sebagai jaminan utang, anak-anakmu kusita dulu. Tentu saja semua kebutuhan anak-anakmu dan jasaku melayani mereka harus kamu tanggung di samping mencicil utang. Ingat! Utang bisa memberatkanmu di akhirat, Mas!"

Suamiku mulai kejang-kejang.

"Menurutku lebih baik kita berpisah, karena kalau masih bersamaku, utangmu padaku pasti terus semakin banyak bertambah. Oh iya, ditambah pesangonku yang sudah penuh loyalitas menjalani semua profesi selama 20 tahun, genapkan saja uang yang harus kuterima 25 miliar. Nah, sekarang silakan pergi dari rumahku, Mas. Jangan sampai kamu mati di sini," tambahku lagi.

Terlambat! Suamiku sudah tersungkur lemas di lantai. Apa aku harus menolongnya? Tapi ... dia kan cuma laki-laki yang kebetulan jadi suami yang harus aku layani. Ck, menyusahkan saja!

🌷🌷🌷

https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=3660197927375405

Comments

Popular posts from this blog

jenis-jenis Sistem Transmisi mobil

Kudeta Jokowi Mulai Tercium Oleh Prabowo Subianto

Jumlah rakaat shalat tarawih sesuai tuntunan