Anggaran Pembangunan Ibukota Baru
Anggaran Pembangunan Ibukota Baru.
(Bisnis dan Politik)
By Babo EJB
Banyak pihak tidak setuju pemindahan ibukota ke Kaltim karena beberapa alasan; pertama, anggaran yang besar dikawatirkan membebani APBN. Kedua, mengganggu focus pemerintah terhadap issue utama dibidang ekonomi dan sosial, Ketiga, masalah lingkungan hidup di ibukota Baru karena maklum menggunakan lahan 180.000 hektar atau tiga kali DKI.
Kalaulah semua pihak bisa mempelajari informasi dengan jernih sekitar rencana pemindahan ibukota itu, tidak mungkin ada silang pendapat. Yang ada justru saling memberikan masukan agar pemindahan ibukota itu berjalan mulus dan hasilnya optimal sesuai agenda. Mengapa? baiklah saya jelaskan secara singkat.
Apakah pembiayaan ibukota itu bersumber dari APBN? Karena kalau benar akan mengganggu program utama negara yang sudah ada dalam RJPM, seperti soal pendidikan, kesehatan , pertanian, dan lain sebagainya. Kekawatiran itu masuk akal. Makanya sumber pembiayaan tidak diambil dari APBN.
Loh bukankah pemerintah bilang 19% dari total anggaran sebesar Rp 500 triliun atau Rp 93 triliun dari APBN. Ya benar. Tetapi bukan bersumber APBN murni dari pajak dan PNBP dimana peruntukannya sudah ditentukan dalam UU APBN. Rp. 93 triliun itu menggunakan skema kerja sama pemanfaatan aset baik di Ibu Kota baru maupun sekitar Jabodetabek.
Contoh, bangunan milik pemerintah di Jalan Gatot Subroto, kantor Menteri Perdagangan. Bangunan itu ditenderkan kepada pihak swasta untuk dimanfaatkan dalam kurun waktu tertentu, dan setelah itu kembai ke negara. Jadi tidak ada asset negara yang dilepas. Kompensasinya yang diterima pemerintah adalah pihak swasta membangun gedung yang sama di ibukota yang baru atau membangun infrastruktur sesuai dengan jumlah konpensasi yang ditentukan. Ini pasti menarik bagi swasta. Karena harga tanah di kawasan Gatot Subrota itu Rp. 90 juta per M2. Sementara harga tanah di Kalimantan masih dibawah Rp 1 juta.
Nah hitunglah berapa gedung dan lahan emas di jakarta yang milik negara yang bisa digunakan dalam skema kerja sama pemanfaatan aset. Contoh aja. Gedung DPR itu akan pindah. Hitunglah luas kawasan senayan itu. Tentu nilainya sangat besar.
Jadi kalaulah anggaran sebesar Rp. 93 triliiun yang harus dikeluarkan negara, itu bukanlah masalah besar. Dengan skema pemanfaatan asset negara di kawasan Jakarta dan Jabotabek lebih dari cukup untuk mencover cost yang ditanggung negara dalam membangun ibukota baru.
Jelas ya. Tidak ada uang pajak rakyat dipakai dan tidak pula ada hutang yang dijamin negara.
Bagaimana dengan sisanya sebesar Rp. 407 triliun?. Dana itu berasal dari BUMN dan Swasta lewat skema KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha). Apakah secara bisnis menarik? jelas menarik. Karena proyek IBukota Baru itu menyediakan captive market. Pasti banyak yang berminat berpartisipasi.
Dalam skema ini pemerintah bukan hanya dapat infrastruktur gratis juga dapat PNBP dari infrastruktur seperti PDAM, Telekomunikasi, IT, Pembangkit listrik, Kawasan komersial dan lain sebagainya. Karena pemerintah tidak menjual tanah kepada swasta tetapi kerjasama manfaat. Model ini sudah diterapkan di Mesir dan negara lain. Sukses semua. Negara untung, infrastruktur terbangun tanpa keluar uang, dan pasti dapat pula pajak.
Apakah pembangunan ibukota baru ini akan mengurangi focus pemerintah terhadap program lain? Tidak akan terpengaruh. Mengapa? karena anggaran yang digelontorkan bukan berasal dari APBN murni dan tidak masuk dalam RJPM.
Jadi proyek IBukota Baru ini hanya cukup Jokowi eksekusi dan sediakan payung hukumnya maka secara kelembagaan (Badan Otoritas Ibukota ) akan bekerja dengan sendirinya secara otomatis mengikuti bisnis model. Engga mungkin mangkrak. Karena kalau mangkrak yang rugi investor. Mana ada investor mau rugi. Kecuali dana dari APBN.
Gimana dengan lingkungan? Lahan yang dimiliki pemerintah seluas 180.000 hektar tidak semua digunakan untuk pemukiman. 50% luas lahan digunakan sebagai ruang terbuka hijau itu, seperti taman kota, kebun binatang, taman botani, dan kompleks olahraga. Ini tidak termasuk ruang hijau dikawasan perumahan/perkantoran/komersial yang mencapai 40% dari luas lahan.
Jadi praktis yang digunakan lahan untuk bangunan hanya 10% saja. Sangat friendly dengan lingkungan. Penyediaan ruang terbuka hijau merupakan salah satu visi yang dicanangkan dalam pembangunan ibu kota baru. Semoga dipahami.
Comments
Post a Comment