Pemindahan ibukota dan hitungan teknisnya

PEMINDAHAN IBUKOTA KE KALIMANTAN

Sungguh menggelikan bila baru sekarang para politisi atau elite tertentu ribut membahas keberatan dengan rencana pemindahan ibukota. Pertama mereka membahas dengan argumen yang asal atau tidak ilmiah, karena umumnya mereka bukanlah para ahli tata kota atau ahli ekonomi makro, bahkan cenderung hanya ahli nyinyir semata. Sungguhlah konyol, seharusnya mereka berebut memberikan masukan bagaimana menata ibukota baru agar benar-benar tepat guna.

Kedua, pimindahan ibukota yang telah dibahas sejak era Bung Karno itu bukan lagi isu atau wacana, tapi sudah rencana, dan sekarang sudah diputuskan bahwa Kalimantan Timur (Kaltim) menjadi ibukota dari 4 lokasi alternatif. Berarti Presiden Joko Widodo (Jokowi) tinggal menugaskan timnya untuk fokus mendalami perencanaan pembangunan di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Itu sebabnya sungguhlah lucu bila ada yang brisiknya baru sekarang. Mengapa bukan sejak dulu, dan mengapa selalu saja ketinggalan kereta?

Ketiga. Pindah ibukota itu bukan sekedar pindah pusat pemerintahan yang seperti pindah rumah, tapi melalui studi kelayakan yang dilihat dari berbagai aspek, dari biaya, infrastruktur, disain, kultural, kebencanaan, sistem transportasi, lingkungan hidup, dan lain sebagainya. Jadi tentu tidaklah sembrono.

Keempat. Presiden memiliki hak prerogatif dalam menentukan kebijakan, termasuk soal pindah ibukota. Hal inipun sesuai dengan Undang-undang (UU) Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan Indonesia. Terlebih presiden telah meminta izin kepada legislator dalam pidato Nota Keuangan pada 16 Agustus 2019. Hal ini dinilai sebagai penyampaian pesan secara formal kepada legislator.

Lalu mengapa harus sekarang? Ya bila dimundurkan lagi waktunya, pastilah akan semakin sulit dan biayanya akan semakin besar. Sementara selama ini memang tidak ada yang melanjutkan program Bung Karno ini. Padahal kondisi Jakarta sudah lama timpang, dan beban kota sudah jenuh serta sulit lagi dikembangkan dan direstorasi ulang.

Ketimpangan antara populasi dengan luas wilayah mengakibatkan tekanan penduduk begitu besar. Setiap tahun migrasi ke Jakarta mencapai puluhan ribu dari berbagai daerah. Kondisi tersebut memicu munculnya berbagai masalah seperti alih fungsi lahan, kemacetan, polusi, pemanfaatan air tanah berlebihan, dan berbagai persoalan sosial yang komplek. Bayangkan bahwa beban Pulau Jawa yang semakin berat dengan penduduk sebanyak 150 juta jiwa atau 54 persen dari total penduduk Indonesia. Selain itu, 58 persen PDB ekonomi Indonesia ada di Pulau Jawa.

Para pengritik pun tidak memahami atau pura-pura tidak paham, agar terkesan kritis atau memang ada pihak yang terganggu kepentingannya bila ibu kota pindah. Mungkin kegalauan mereka harus disumpel dulu dengan kursi jabatan, atau jatah proyek barulah mulutnya bisa pada mingkem.

Jangan lupa bahwa ada 10 negara yang sukses memindahkan ibukotanya. Misalkan Malaysia membangun kawasan Putra Jaya sebagai pusat kegiatan pemerintahan, sedangkan Kuala Lumpur menjadi pusat ekonomi. Lalu Brasil telah memindahkan kegiatan pusat pemerintahannya ke Brasilia dari Rio De Janiero. Begitu pun Amerika Serikat memusatkan pemerintahannya di Washington DC, sedangkan pusat ekonomi di New York, Miami, atau Los Angeles. Juga Australia, dari Melbourne pindah ke Canberra.

Indonesia sendiri selama ini fungsi pusat negara masih berada di Jakarta, baik pusat pemerintahan, maupun perdagangan atau ekonomi. Hal itu menyebabkan konsentrasi dan mobilitas penduduk serta barang menjadi terpusat. Kepadatan penduduk di Jakarta mencapai 15.663 jiwa/km2 (BPS, 2018), sedangkan luas wilayahnya menjadi provinsi yang paling kecil se-Indonesia.

Lalu bila mereka menyoal biaya pemindahan yang sangat besar, padahal utang negara masih besar, dan lain sebagainya. Itu karena  pada sok tau. Sekali lagi mereka yang besar mulut itu tak ada satu pun yang paham ekonomi makro, jadi jelas mereka pun sama sekali tidak memahami kebijakan fiskal, serta tak berfikir futuristik. Tentulah pemerintahan Jokowi tidak akan hambur, karena biaya pemindahan ibukota tidak seluruhnya dari APBN, tapi 19% dari APBN, dan sisanya akan berasal dari Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) serta investasi langsung swasta dan BUMN.

Keuntungan dari pemindahan ibukota tentulah berdampak positif terhadap terciptanya interaksi saling menguntungkan antara ibukota baru dengan pusat pertumbuhan lainnya. Kondisi tersebut akan memicu perkembangan pembangunan di luar Jawa. Konsentrasi penduduk di Jawa akan berkurang dengan munculnya pusat-pusat ekonomi baru.

Pengurangan konsentrasi penduduk juga akan berdampak positif terhadap kelestarian lingkungan. Pulau-pulau di luar Jawa memiliki kawasan strategis untuk pelestarian alam. Pengurangan tersebut akan menurunkan tekanan pembangunan pada lingkungan hidup. Kondisi daya dukung dan daya tampung lokasi ibu kota dapat terjaga dalam kurun waktu jangka panjang. Sisi lain, tekanan terhadap lahan pertanian di Pulau Jawa akan menurun karena beban sebagian ibukota telah dipindah.

Selain itu perkembangan ibukota baru akan pesat karena mendapat besarnya dukungan dari pusat pertumbuhan lainnya. Dukungan bisa berupa suplai bahan produksi, hasil industri, atau tenaga kerja. Pusat pertumbuhan juga mendapatkan keuntungan karena kegiatan ekonomi berjalan untuk memenuhi kebutuhan dari ibukota baru.

Ibukota baru akan menerapkan konsep forest and smart city yang nantinya bisa menjadi kota yang nyaman untuk ditinggali. Contoh, untuk persoalan air, nantinya masyarakat diharapkan tidak perlu lagi membayar untuk mendapatkannya. Lalu semua transportasi yang terintegrasi, pelayanan publik yang mudah dan cepat. Yang tak kalah pentingnya bahwa pengembangan ibukota akan berbasis ramah lingkungan. Artinya kawasan hijau akan tetap lestari, namun sangat modern.

"Karenanya, lebih baik mulut kalian digunakan untuk hal-hal yang lebih produktif, daripada hanya nyinyir dan mempermalukan diri sendiri. Itupun kalau masih punya rasa malu. Contoh yang mudah, nengapa kalian tidak tanya saja tentang 571 triliun yang diajukan Pemprov DKI Jakarta, itu untuk membangun apa?"

Oleh: Wahyu Sutono

🇲🇨 Salam NKRI Gemilang 🇮🇩

Comments

Popular posts from this blog

jenis-jenis Sistem Transmisi mobil

Kudeta Jokowi Mulai Tercium Oleh Prabowo Subianto

Jumlah rakaat shalat tarawih sesuai tuntunan