Menelisik kebohongan

Menelisik Kebohongan. Bagaimana caranya?

Oleh: Muhamad Abdulkadir Martroprawiro

Dulu di tiap sesi kuliah Metodologi Penelitian,  mahasiswanya yang ceramah. Mana mahasiwanya cuma tiga biji pula 😁😁😁

Salah satu materi yang kebetulan jadi tugas saya adalah bagaimana cara mencari informasi di google. Mbah google bisa sangat berguna asal kita tahu gimana caranya. Asal gak tersesat dalam jutaan artikel yang ada...

Nah membaca tulisan dari Pak Dosen satu ini mengingatkan materi kuliah 8 tahun silam.. Saya kopi paste... Sesuai tulisan aslinya.

SOHN FOUNDATION: Menyelamatkan Kejujuran

1
SOHN Foundation dari Denmark, yang berpengalaman di banyak negara a.l. Zimbabwe, India, Kenya, Malaysia, dan Afrika Selatan, datang ke Indonesia pada 12 April 2019. Tim Denmark ini berjumlah 26 orang dipimpin oleh Gillana Paulsen, dan kerjanya dibantu 2600 akademisi di seluruh Indonesia.

Pada 15 April SOHN Foundation sudah siap di seluruh Indonesia, lalu melakukan survey, dan mulai 17 April melakukan quick count. Pada 18 April 2019 pukul 16:10, akhirnya SOHN Foundation mengumumkan hasil quick count dengan akurasi 99%. Hasilnya adalah, Jokowi-Amin memperoleh 42,3% suara, dan Prabowo-Sandi memperoleh 58,5% suara.

Itu berita yang tesebar di beberapa situs, a.l. InspiratorMedia, KabarToday, dan Law-Justice. Berita disampaikan oleh G N Soedibjo, seorang lulusan Matematika dan Sains di Rusia, yang berteman dengan Gillana Paulsen saat berkuliah.

2
Berita quick count oleh SOHN Foundation tidak ada di koran nasional seperti Kompas, Tempo, Republika, dll. Berita ini dimuat di InspiratorMedia, KabarToday, Semarak-co, dan beberapa situs lain yang selama ini selalu memuat berita-berita kecurangan Pemilu yang disampaikan oleh BPN 02.

Yang menarik, kalau suara Jokowi dan suara Prabowo dijumlahkan, akan diperoleh angka 100,8%. Bagaimana kita bisa mempercayai SOHN Foundation yang bahkan tidak bisa berhati-hati untuk memastikan agar jumlah suara adalah 100%?

Keanehan itu menyebabkan saya mencoba mencari informasi tentang nama-nama di atas.

3
Google bisa mencari secara efektif, dengan menggunakan tanda kutip. Misalnya, kalau kita mencari istilah “Sohn Foundation” tapi tanpa tanda kutip, maka selain Sohn Foundation, akan keluar juga “Sohn Conference Foundation” yang bekerja di dunia keuangan, dll. Dengan tanda kutip, kita memastikan tidak ada kata lain yang menyisip di antara kata “Sohn” dan “Foundation”.

Kalau saya mencari “Sohn Foundation” tanpa tanda kutip, saya peroleh 21.300.000 hasil pencarian, yang sebetulnya 102 hasil pencarian ketika kita mengklik “next” berkali-kali. Dalam hasil pencarian itu, selain Sohn Foundation, muncul juga, misalnya, penulis buku bernama H. Sohn, dengan judul buku yang mengandung kata “Foundation”.

Tapi kalau saya mencoba mencari dengan mengisi baris dengan kata-kata berikut di mesin pencarian Google:
• “Sohn Foundation” “quick count” survey Denmark •
saya hanya peroleh 46 hasil pencarian. Dan yang menarik, SEMUA hasil pencarian itu berbahasa Indonesia. Padahal kata-kata di atas adalah kata berbahasa Inggris.

Apa yang bisa disimpulkan? Artinya, seluruh berita tentang Sohn Foundation, hanya berkaitan dengan kegiatannya selama melakukan survey dan quick count antara 15-18 April 2019 di Indonesia. Di samping itu, TIDAK ADA JEJAK sama sekali di Internet tentang kerja Sohn Foundation di berbagai negara yang disebut di atas. Atau kesimpulan yang lebih kejam: tidak pernah ada Sohn Foundation, dan tidak pernah ada tim dari Denmark yang datang ke Indonesia.

4
Selanjutnya saya mencari kata-kata berikut di Google: “Gillana Paulsen” yaitu pimpinan Sohn Foundation, yang berasal dari Esbjerg Denmark, dan lulusan St. Petersburg Polytechnic University, Rusia. Dari pencarian itu, tidak muncul nama “St. Petersburg Polytechnic University”. Aneh, padahal beliau pernah kuliah di situ.

Lalu apa yang muncul dari pencarian Google tsb? Sama seperti di atas, muncul 16 hasil pencarian, cuma 16, yang SEMUANYA berbahasa Indonesia. Apa artinya? Silakan saja disimpulkan apa artinya.

Pencarian “G N Soedibjo”, yaitu teman kuliah Gillana Paulsen di Rusia, menghasilkan HANYA 4 hasil pencarian di Google. Saya sertakan halaman hasil pencarian di kolom komentar. Dan seperti pencarian sebelumnya, juga semuanya berbahasa Indonesia. Tak ada bahasa Rusia, tak ada bahasa Inggris.

Pencarian di Facebook, menghasilkan SATU HASIL, yang merupakan penulisan ulang dari berita di InspiratorMedia, KabarToday, dll. Kebetulan saat saya mencarinya pada Rabu malam, 24 April 2019, belum ada yang melakukan copas, atau memviralkan (share) tulisan tsb.

5
Inilah yang disebut “Firehose of Falsehood” (FoF) atau “semburan dusta”. Tapi baru tahap awal, karena belum menjadi semburan karena jumlah hasil pencarian masih sedikit. Menjelang pengumuman hasil penghitungan suara oleh KPU pada 22 Mei 2019, pastilah berita gembira dari quick count SOHN Foundation ini, sudah diviralkan oleh ratusan ribu orang.

Begitulah cara kerja FoF. Sebaran dusta yang masif akan memunculkan kesan, bahwa berita itu benar. Dusta ini diperkuat oleh komentar akun palsu. Misalnya, setelah fitnah kecurangan yang masif terhadap lembaga quick count yang credible, muncul komentar Kwik Kian Gie (KKG) lewat Twitter: "Jika kecurangan dibenarkan, saya hanya akan minta 1 hal kepada presiden terpilih: Minta kunci penjara, bebaskan semua napi, toh kita dipimpin oleh gerombolan penjahat". Untung saya menemukan konferensi pers KKG bulan lalu, yang menyatakan bahwa akun @KwikKianGie_ itu bukan miliknya.

Itulah pula yang disebut post-truth atau pasca-kebanaran. Kerja beberapa lembaga credible yang melakukan quick count, sebetulnya bagian dari “truth” atau kebenaran. Tapi secara masif disebut curang, sambil mempersiapkan “post-truth”. Setelah banyak orang percaya bahwa LSI, Median, dll, telah melakukan kebohongan, maka “post-truth” dari SOHN Foundation yang sebetulnya bohong besar, secara masif akan disebut sebagai kebenaran.

6
Situs yang digunakan untuk FoF, bukan situs yang credible. InspiratorMedia, dan banyak yang lain, baru dibeli domainnya pada tahun 2018, beberapa dibeli pada 2017, dan yang paling tua 2016. Amat berbeda dengan Tempo, Republika, dll yang sudah malang melintang lama. Situs-situs baru itupun tidak memiliki dewan redaksi seperti koran mainstream, sehingga tidak ada orang yang bisa diminta tanggung jawab.

Hal ini serupa dengan yang saya temukan pada 2014, yang akan saya sampaikan link-nya di bagian komentar. Pada saat itu, beberapa domain baru dibuat dalam setahun terakhir. Dan beberapa bulan hingga setahun setelah itu, domain itu tidak bisa lagi ditemukan, bagai ditelan bumi. Jadi, kalau pada 2014, banyak domain hanya dibeli khusus untuk pilpres saja, dan dihapus setelah pengumuman pemenang atau setelah pelantikan.

Saya tegaskan lagi kesimpulannya. SOHN Foundation yang katanya lembaga survey terkemuka dari Denmark yang telah menjalankan survey di Zimbabwe, India, Kenya, Malaysia, dan Afrika Selatan, ternyata BARU ADA JEJAKNYA SAAT BEKERJA DI INDONESIA. Tidak ada jejaknya sama sekali di Internet, sebelum tanggal 19 April 2019.

MAM
Muhamad Abdulkadir Martroprawiro
(dosen ITB)

Comments

Popular posts from this blog

jenis-jenis Sistem Transmisi mobil

Kudeta Jokowi Mulai Tercium Oleh Prabowo Subianto

Jumlah rakaat shalat tarawih sesuai tuntunan