Akhirnya kupilih yang kedua
*Akhirnya Kupilih yang Kedua*
Aku memindahkan pakaian yang telah kulipat dari koper ke lemari tua. Satu persatu hijab, kemeja, baju anak kuatur rapi disana. Anak-anakku sedang asyik menonton televisi di ruang tengah. Ya, setelah tak tahan perlakuan suami yang kelewatan, aku memutuskan untuk pindah ke rumah Ibu.
Wanita tua itu mengawasiku dengan was-was. Separuh badannya tersembunyi dibalik kain tirai berwarna merah muda.
"Sudah kamu putuskan betul Nak?" lirihnya.
Aku mengangguk. Gugatan cerai sudah aku ajukan. Tinggal menghitung hari sampai akta cerai itu ditangan.
"Nanti siapa yang mengasuh anak-anak? Memberi nafkah kamu?"
Aku menghela nafas, "Nanti aku cari kerja sendiri bu"
"Oalah harusnya kamu tetap sama Joko Nak, meskipun dia ngutang terus setidaknya bertanggung jawab. Rumahmu jadi kelihatan bagus, jalanan mulus, orang gampang kalau masuk"
Aku menoleh, "Bu aku sudah kenyang berenang dalam hutang. Kemarin aku dicekik renternir Bu. Yati hampir mati ngenes!" Kesal, aku membanting baju terlipat di pangkuan.
Wanita tua itu terkejut sesaat, "Hutang itu wajar, banyak keluarga yang berhutang, asalkan mampu dibayar" Ibu berusaha menenangkan.
Aku menggeleng, Ibuku memang lugu. Cuma tamatan SD. Belum sampai ilmunya. Aku menarik nafas lebih dalam lagi, kujelaskan lebih lanjut jika keuangan keluargaku sungguh memprihatinkan. Suamiku terjebak berhutang hanya untuk membayar bunga hutang lain. Selain itu banyak digunakan untuk kebutuhan konsumtif daripada modal usaha. Tidak ada masa depan cerah dengan pengelolaan seperti itu. Bisnis kami pun menurun omsetnya kalau tak mau disebut rugi, semua karena salah kelola. Celakanya semua dikuasai suami, aku cuma bisa pasrah menonton.
Wanita tua itu mengangguk mulai mengerti duduk persoalan. Aku ceritakan bahwa suamiku mulai main mata dengan Lin. Juragan material dari desa sebelah. Ia berhutang dalam jumlah besar untuk proyek memperbaiki rumah. Aku bertaruh pasti si Lin bakal menguasai aset bila hutang itu tak mampu dibayar. Seperti yang ia lakukan dengan keluarga lain. Dasar rubah betina! Umpatku dalam hati.
Ibu berkali-kali mengucap istighfar. "Padahal Joko sudah menjanjikan Ibu mobil mewah bikinan sendiri Oktober kemarin. Pasti percuma dinanti-nanti ya Nak?"
Aku tersenyum getir. Janji ini itu pernah kutagih padanya. Dia jawab itu bukan lagi urusannya.
"Ma, ada tamu didepan" suara anak bungsuku memutus pembicaraan kami.
Aku beranjak, sambil bertanya-tanya siapa yang kemari mencariku. Apakah Mas Joko? Untuk apa lagi dia kemari?
Ternyata aku salah, seorang lelaki tegap berkaus biru tengah menunggu di teras rumah. Matanya yang hitam tampak mengerjap di balik kacamata berbingkai sporty. Senyumnya khas selalu menghias si bibir tipis.
"Bang Sandi?"
Ia pun mengangguk sambil mengucap salam. Aku membalas dengan debaran yang tak karuan dalam dada.
Kami duduk berseberangan. Aku masih menebak maksud kedatangan pria yang kukenal beberapa waktu lalu di pasar, sebelum perceraianku dengan Mas Joko. Dia seorang pengusaha toko kelontong yang sukses. Pria inilah yang membantu mengantarkan ke rumah Ibu dan menolongku dari amukan mas Joko.
"Panggil aja Mas, Maaf, saya jadi tak enak sendiri mendengar pertengkaran kalian. Tidak bermaksud menjadi pihak ketiga." sahut Bang Sandi hati-hati.
Aku menunduk malu, "Seharusnya saya yang minta maaf karena melibatkan Bang Sandi. Waktu itu cuma kontak Abang yang teringat saat saya panik habis diancam lintah darat... "
Eits kenapa aku jujur gini ya? aduh dimana harga diriku, aku panik. Wajahku memerah sambil mencuri pandang ke wajahnya yang tampan. Lelaki itu tersenyum semakin manis dimataku. Kami balas menatap tanpa berbalas kata. Cuma suara jangkrik terdengar seperti mengejek mulut kami yang terkunci.
"Maah lapar" suara anak bungsuku kembali merajuk. Tangannya memegang ujung dasterku. Aku tergagap malu di depan Bang Sandi.
"Novel, di dapur sudah ada nasi sama lauk pauk. Minta sama nenek ya? Mama masih ada tamu.
Anak pintar itu mengangguk dan segera menghilang di balik tirai.
"Anakmu... , matanya kenapa?" tanya Bang Sandi penuh keheranan.
Dia pasti melihat anakku yang mata kirinya lebam menghitam. Itu akibat perlakuan teman-teman sekolahnya yang tidak suka atas tindakan Novel. Ia melaporkan kenakalan mereka ke guru sehingga mereka dendam.
"Mas Joko berjanji akan memintai pertanggungjawaban orang tua murid. Tapi selalu saja tak pernah dia tepati. Sampai kini mata kiri Novel selalu susah melihat" keluhku, masih teringat tangisan kesakitan anakku. Sementara ayahnya masih enak-enakan ngevlog.
Bang Sandi menghela nafas. Tangannya kemudian menepuk pahanya seakan telah memutuskan.
"Yati, ijinkan aku untuk melamarmu."
Ucapan pria itu seperti petir menyambar telingaku.
"Mas... , kok?"
"Kita sama-sama dewasa Yati, tidak perlu lagi basa-basi. Aku telah mengamati saat kamu berbelanja di pasar. Bagaimana kamu bingung berhutang kebutuhan pokok. Harga-harga yang tidak stabil tentu menyusahkanmu. Lalu anakmu yang kurang terurus. Biar semua kau limpahkan ke pundakku"
"Nggak Mas eh Bang, aku nggak mau dipinang karena rasa kasihan" spontan aku menolak tawaran lelaki itu. Walaupun dalam hati sudah berbunga-bunga membayangkan disanding pria keren nan macho.
Suara ibuku yang rupanya berdiri di belakang tanpa kusadari, menukas, "Lagipula Yati memiliki masa lalu kelam, Nak Sandi harus tahu dia dibesarkan wanita single parent"
Ya, jujur aku harus katakan pada setiap pria yang mau meminangku, kalau aku lahir di luar nikah. Karena keluguan ibuku, dia terperdaya lelaki tak bertanggung jawab. Sehingga lahirlah Aku yang bernasab ibuku.
Pria itu sekali lagi tersenyum, "Semua orang pasti memiliki masa lalu yang kelam. Yang penting adalah bagaimana di masa depan. Saya tidak gentar karena masalah lalu, ijinkan saya datang lagi bersama ayah saya Pak Bianto untuk melamar"
"Nak Sandi yakin?" ulang Ibuku menegaskan.
"InsyaAllah, tujuh belas April saya akan datang" lugas pria itu menjawab.
Aku cuma bisa berpandangan dengan ibuku. Kami saling menatap penuh arti.
***
Hari yang dinanti tiba. Aku terbengong menatap angka di kalender. Berkali-kali meyakinkan ini bukan mimpi, bahwa sekarang sudah tujuh belas April.
"Aduh, Yati kamu punya gaun lain? Ini gaunku tersiram air teh, siapa sih taruh gelas teh diatas lemari!"
"Lagian ibu kenapa belain pake baju putih sih, kan gampang kotor" protesku.
"Kan biar kelihatan bersih, suci, tanpa dosa!" Ibu merengut sambil membenahi letak kerudungnya.
"Ibuku sayang, buat apa suci kalau cuma kelihatannya. Tuh kalau sudah tidak korupsi boleh deh sebut diri ini bersih!" Aku tak mau kalah sambil mengancing kemeja bungsuku.
Deru motor di depan rumah membuatku mengakhiri sesi debat dengan Ibu. Aku segera menuju teras untuk menyongsong Bang Sandi. Senyumku sirna, ternyata bukan dia yang datang.
Mas Joko datang memakai motor baru berjenis chopper yang mahal. Dibelakangnya adalah pak Aman, mantan mertuaku.
"Assalamualaikum"
Aku menjawab salam dengan rasa gelisah. Kedua orang itu kupersilahkan duduk. Ibuku pun terkaget-kaget mengetahui mantan besannya yang datang.
Setelah berbasa-basi, aku baru tahu kedatangan mereka karena Mas Joko ingin kembali rujuk kepadaku. Aku berusaha menolak. Tapi bibir ini kembali membisu. Kami berdua betul-betul kebingungan. Hingga deru mobil memecah kebuntuan. Akhirnya dewa penolong datang, jeritku kegirangan dalam hati.
Nampak Bang Sandi datang dibalut jas hitam nan gagah bersama ayahnya Pak Bianto.
Kedua pasang lelaki itu sama terkejut mengetahui niat masing-masing ingin mempersuntingku.
"Baiknya Nak Yati memilih yang benar-benar bisa menjaga keluarga. Keamanan itu adalah kebutuhan nomer satu" Pak Bianto tegas mewanti-wanti.
Sontak Mas Joko tertawa terkikik, tangannya menutup mulut agar tidak terlalu keras.
Brakk
Pak Bianto menggebrak meja.
"Lucu ya, saat keamanan keluarga dianggap bercanda. Kamu tak tahu kapan saja nyawa keluargamu bisa celaka oleh preman suruhan renternir itu"
Mas Joko surut, senyuman itu sirna didamprat Pak Bianto. Ibu segera menarik lenganku ke balik tirai. Wajahnya sedikit pucat.
"Yati, Ibu takut berbesan dengan Pak Bianto, orangnya emosian"
Aku segera menenangkan beliau.
"Bu, Pak Bianto itu dasarnya baik, penuh tanggung jawab atas keselamatan keluarga. Kemarahannya karena kasih sayang persis seperti Bu Lurah Risma"
Ibuku tersenyum lega, memang Bu Lurah Risma terkenal dengan cara memimpin yang keras. Mudah marah bila ada ketidakberesan. Namun desa yang dipimpin sungguh damai tenteram loh jinawi. Semua orang sangat menyukai beliau dalam memimpin.
Kami kembali ke ruang depan. Pak Aman menyenggol pundak Mas Joko. Mantan suamiku itu segera mengambil suatu benda dari balik saku lalu meletakkannya di atas taplak berwarna putih.
Tiga kartu berjejer rapih.
"Dik Yati, ini aku siapkan tiga kartu jika kamu mau menerima rujuk. Kartu untuk belanja, Kartu untuk kuliah buat si buyung, Kartu kerja untuk menjamin setelah lulus sekolah nanti. Hidup denganku semua pasti terjamin, kamu boleh pakai sepuasnya"
Ibuku meleletkan lidah melihat tiga kartu tersebut. Ia menggoyang tanganku untuk segera mengambil keputusan. Aku melirik Bang Sandi.
Lelaki itu tersenyum, ia hanya mengeluarkan selembar KTPnya.
"Dik Yati, aku cuma bisa memberikan status kawin dalam KTP ini. Artinya semua kebutuhanmu dan anakmu, sandang, pangan, papan, pengobatan, pekerjaan, aku yang menjamin semua"
Aku dan ibuku tersenyum lebar. Kami sudah memutuskan.
"Sebelumnya, permintaan maaf kepada Mas Joko" aku mengarahkan pandangan ke dia yang menunduk dalam. "Saya sudah berpikir, setiap kartu yang mas keluarkan pasti ada biayanya. Dan lagi-lagi sumbernya pasti dari berhutang. Mohon maaf saya tidak bisa lagi menanggungnya mas, ini berat, biar mas saja."
Mas Joko hanya tersenyum kecut.
"Terpaksa saya pilih yang kedua" mantapku.
Aku melempar senyum ke pihak pelamar kedua. Bang Sandi mengangguk-angguk dan berdiri sambil membenahi jas. Dia berucap.
"Dengan ini, aku melamarmu Rakyati binti Indah Nesya Pertiwi."
(Beneran Tamat)
Bila ada kesamaan tokoh,waktu dan tempat cerita mohon jangan dikaitkan yang lain, cerita ini cuma fiktif. 😀🤣🤣😁😄
Comments
Post a Comment