Quick Count Gontor

Melihat hasil quick count, tiba-tba saya teringat pengalaman pribadi hampir setahun lalu. Tepatnya ketika mengantar putri pertama mendaftar di Gontor.

Ujian Gontor itu unik. Banyak 'keanehan'. Banyak anak yang nilai di sekolah sebelumnya tinggi, juara kelas, bahkan juara sekolah tapi malah tidak lulus Gontor. Tapi murid yang biasa-biasa saja bisa lulus.

Sebagai ikhtiar, saya masukkan anak saya di  bimbingan Primago. Khusus belajar untuk ujian masuk Gontor. Padahal anak saya kelas 6, saya tidak masukkan ke bimbingan belajar untuk UN.  Gontor saja.

Di situ saya yakin, anak saya akan lulus. Gontor tak minta nilai UN tinggi. Cukup ijazah SD saja.

Ketika ujian lisan, anak saya bilang, gampang, Ma. Bisa deh.

Saya semakin yakin anak saya lulus masuk Gontor.

Jangan tanya soal doa. Bahkan di kamar mandi pun saya berdoa.

Ketika ujian tulis. Materinya bahasa Indonesia, dua jenis matematika, dan imla. Semua isian. Tak ada pilihan ganda. Eng ing eng... Matematika dari lima soal anak saya salah dua. Padahal dua soal itu justru soal termudah.

Di situ keyakinan saya terkikis. Menunggu nyaris seminggu saya habiskan dengan berdoa. Tidak ada doa khusus dan waktu khusus. Setiap tarikan napas saya adalah doa untuknya.

Pengumuman di Gontor hanya menyebut nomor pendaftaran. Tanpa nama. Dimulai dari santri yang diterima di Gontor Putri 1 (GP1). Kalau nomor tidak disebutkan, berharaplah nanti nomor itu terdengar di Gontor Putri 2. Lalu 3, lalu 5. Tidak ada 4 karena GP4 di luar Jawa. Beda sistem penerimaan.

Saat hari H, calon santri duduk rapi menunggu pengumuman. Saat menghitung menit, kyai mengatakan bahwa, ketika nomor di sebutkan, tidak boleh ada gerakan dari santriwati. Harus tetap duduk tenang, tanpa suara, cukup ucapkan hamdalah dalam hati, dan tetap duduk tenang sampai  GP5 selesai diumumkan. Tak ada selebrasi lain. Untuk mengajarkan tawadhu dan untuk menghargai teman yang tidak lulus.  Calon santri terpisah dengan orangtua.  Orangtua bertebaran di tempat mana pun.

Tegang.

HP stand by untuk merekam suara ketika nomor disebut. In case telinga saya alpa. Sepuluh nomor menjelang nomor anak saya, saya sentuh  icon record..

Tegang.

Pasrah.

Saya sudah berusaha. Anak saya pun. Doa kami tak putus.

Pasrah.

Apa pun itu, itulah yang terbaik.

Tapi ternyata yang terbaik adalah anak saya menjadi santriwati di Gontor Putri 1.

Alhamdulillah.

Berjingkat, saya kembali ke tenda. Oh iya, selama mendampingi anak, saya tinggal di dome tent.

Tetangga tenda saa bertanya, "Gimana, Bu? Dapet GP berapa?"

"Alhamdulillah, Pak. GP1," jawab saya benar-benar lega.

"Alhamdulillah. Ya terang aja dapet GP1, lah wong sampeyan berdoanya serius tenanE," si bapak terkekeh.

Ya Allah, ternyata selama ini ada yang memperhatikan gerak-gerik saya. Ketika saya berusaha terlihat abai, ternyata saya gagal memasang muka flat tanpa ekspresi.

***

Apa yang terjadi kalau anak saya bisa menjawab sempurna semua soal?

Saya akan over PD. Lupa berdoa. Dan yang paling mengerikan, saya akan sombong. Naudzubillahimindzaliq. Sombong itu hak prerogatif Allah.

Karena  keyakinan saya sempat terkikis, maka saya terus berdoa. Saya merasakan berada dalam mode pasrah seutuhnya. Benar-benar hanya berharap Allah turun tangan. Dan pasrah menerima hasil apa pun sebagai takdir terindahNya.

***

Saat ini, hasil quick count mengecewakan kita. Menurut kita, tidak sama dengan real di lapangan.

Jangan misuh-misuh, Kawan.

Rasakan saat keyakinan saya terkikis. Rasanya seperti saat ini.  Rasakan saat berada dalam mode pasrah seutuhnya. Hanya terus berdoa dalam setiap tarikan napas.

Apa yang terjadi kalau hasil quick count seperti apa yang kita mau?

Mungkin kita akan jumawa. Autoeuforia pra-real count. Kita mungkin akan meremehkan saudara projo kita. Dengan kata-kata menyakitkan penuh hinaan.

Astagfirullah al adziem...

Jauhkan hamba dari rasa sombong itu, Ya Allah. Sungguh, aku hanya sebutir debu, tak berarti, lalu mati. Aku hanya ingin menjadi semut Nabi Ibrahim. Maka kembalikanlah  aku ke titik itu.

***

Saat ini, saya kembali hanya bisa berdoa. Beristigfar, memohon ampun atas segala kerak dan karat di hati.

Saya kembali berada di mode pasrah sepenuhnya.

***

Semoga Allah mengabulkan mau ini.

Dan saat Allah mengabulkannya, ingatkan saya untuk tetap duduk di tempat. Menunduk dalam, hanya berucap hamdalah lirih dalam hati. Tak ada selebrasi lain, karena saya tahu, mau itu menjadi nyata karena Allah ridha. Tak ada selebrasi lain, untuk menghargai teman projo saya.

Ingatkan saya...

--Sandra Setiawan--

Comments

Popular posts from this blog

jenis-jenis Sistem Transmisi mobil

Kudeta Jokowi Mulai Tercium Oleh Prabowo Subianto

Jumlah rakaat shalat tarawih sesuai tuntunan