Hijab dan industri garmen
MASIH MUSLIMKAH JIKA IKUT BErPARTISIPASI MERUSAK ALAM? ---- Mengenakan hijab sehari-hari dengan mengikuti tren fesyen busana syar'i hari ini dapat berpotensi ikut merusak lingkungan hidup. Apalagi mengenakan niqab dan burqa sehari-hari. ---
Cara kita berbusana telah banyak berubah dan hal tersebut telah mendorong meningkatnya pencemaran alam. Seperti banyak perempuan dan banyak hijaber saya dulu juga telah ikut mencemari alam dengan kebiasaan membeli pakaian baru. Di lain pihak, industri tekstil, garmen dan segala bentuk perdagangan yang terkait dengannya telah menjadi sumber pendapatan penting bagi milyaran orang di bumi. Inilah yang di dalam agama-agama Mesopotomianisme disebut sebagai “Me”, dimana setiap pencapaian peradaban dan hal-hal yang kita anggap baik dan maju, telah memberikan efek samping merusak kehidupan dan alam sendiri.
Islam merupakan salah satu agama Israil dan agama Israil merupakan salah satu agama Mesopotamian. Kekhasan dari segala macam agama Israil adalah pada bagaimana memulihkan efek samping Me dengan selalu mengambil Jalan Tengah, atau moderasi, atau tidak melampaui batas dalam segala hal. Itu ada dasarnya dalam rukun ke-4 dan ke-10 Dekalog (Alfurqan, Albaqarah 53), yang dimaksudkan sebagai pembatasan bagi eksploitasi dan keserakahan.
Namun, busana yang disebut busana Muslim (meskipun busana itu tak pernah mengucapkan syahadat – hehehe) merupakan salah satu jenis busana yang ikut andil dalam merusak lingkungan, dibandingkan busana tradisional yang dikenakan komunitas-komunitas adat yang dibuat dari bahan-bahan alami, dicelup dan diwarnai serta digambar pula dengan tanaman-tanaman di sekitar mereka. Mereka pun memiliki kebiasaan merawat kain-kain dan pakaian mereka sedemikian rupa, tidak memboroskan penggunaannya bahkan kadang-kadang mengkeramatkan pakaian-pakaian tertentu sehingga diawetkan sedemikian rupa.
Industri busana abad ke-21 M ini telah menghasilkan emisi karbon yang totalnya lebih banyak daripada emisi karbon yang dihasilkan total emisi dari bisnis penerbangan internasional dan bisnis pengiriman maritim.
Industri busana menghasilkan 10 persen dari seluruh karbon emisi yang dihasilkan kemanusiaan, dan pengguna sumber air kedua terbanyak di dunia serta mencemari perairan dengan mikroplastik mereka. Hal-hal ini turut menguras sumber air di seluruh dunia. Pada 2014 saja, di seluruh dunia, jumlah pembelian garmen meningkat 60% daripada tahun 2000 padahal lama pemakaiannya tidak sampai separuh dari usia pembelinya. Di banyak negara, hampir 85% busana berakhir di pembuangan akhir sampah setiap tahunnya.
Bahan-bahan favorit untuk busana Muslim antara lain ialah spandeks, sutra satin, supernova dan woolpeach yang kesemuanya merupakan bahan-bahan sintesis atau bahan-bahan yang mengandung bahan-bahan sintetis. Dengan demikian, bahan-bahan tersebut mengandung serat-serat mikro. Sebanyak 500.000 ton serat mikro dilepaskan di samudra setiap tahun yang jumlahnya sama dengan 50 milyar botol plastik minuman. Itu sebabnya saya sering tertawa miris jika melihat iklan suatu produk deterjen mengenai menyelamatkan perairan dengan jargon “jangan takut kotor.” Bukan hanya deterjen itu bermasalah, tetapi malah bahan serat pakaian itulah yang lebih bermasalah lagi.
Menurut laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada 2017 diperkirakan 35% dari mikroplastik yang terlepas ke lautan tersebut tidak dapat terbiodegradasi dan berasal dari pencucian busana dari bahan-bahan sintetik seperti polyester. Mikroplastik menyumbangkan 31% polusi plastik di lautan. Jikalau industri busana tidak menggunakan teknologi dan bahan yang lebih selaras dengan alam serta para penggunanya tidak memulihkan cara pemakaian yang lebih manusiawi, maka emisi karbon yang dilepaskan akibat busana yang kita manusia kenakan akan menyumbang sekitar 26% emisi karbon pada 2050.
Pikirkan saat Anda mengenakan gamis-gamis atau abaya-abaya Anda yang panjang menjuntai, jilbab-jilbab labuh dan niqab-niqab Anda, dan Anda hidup di negeri tropis di mana pasti Anda harus selalu menggantikan pakaian tersebut minimal sekali sehari karena keringat atau kotor atau terkena najis.
Bahkan, itu termasuk bahan-bahan busana dari katun yang merupakan bahan alami. Pikirkan musim kemarau seperti sekarang dimana terjadi kekeringan di mana-mana.
Sebagai pengguna sumber air terbesar kedua di dunia, industri busana telah ikut mengeringkan sumber air kita. Diperlukan 700 galon air untuk memproduksi sehelai kaos katun saja. Jumlah yang sama cukup untuk menyediakan air minum seseorang sebanyak 8 gelas sehari selama 3,5 tahun. Diperlukan 2000 galon air untuk menghasilkan celana jeans kita, dan itu sama dengan untuk minum kita selama 10 tahun dengan 8 gelas air perhari.
Itu karena jins dan kaos kita dibuat dari katun. Industri katun di Uzbekistan telah mengeringkan sumber air dari Laut Aral selama 50 tahun terakhir. Foto-foto dari NASA pada 2014 telah menunjukkan perubahan hal tersebut di Laut Aral sejak 1960 dan bahkan selama 600 tahun terakhir.
Ini belum lagi jika kita bicara mengenai pencelupan atau pewarnaaan dari pakaian kita. Penggunaan air dalam industri busana untuk mewarnai kain kita memerlukan air yang dapat memenuhi 2 juta kolam renang ukuran standar Olimpiade. Secara keseluruhan, industri busana ikut bertanggungjawab 20% pada pencemaran perairan di seluruh dunia.
Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan tekstil dan garmen yang telah memiliki kesadaran hari ini mulai mengubah arah industri mereka demi turut memulihkan alam dan semacamnya.
Adapun dari aspek konsumen, kita dapat turut berpartisipasi dengan memelihara koleksi pakaian kita sehingga tidak memboroskannya atau menyumbangkannya ke mereka yang memerlukan, mencuci seperlunya pakaian kita, mengurangi pemakaian busana dari bahan sintetis jikalau belum mampu mengharamkan diri kita darinya, memerhatikan label busana saat membelinya: apakah dari industri katun yang bersahabat dengan alam, dan seterusnya.
Di sini kita belum berbicara mengenai perbudakan bentuk baru dan buruh anak-anak dalam industri busana mulai dari hilir sampai hulu. Baik industri maupun konsumen harus sama-sama punya kesadaran, karena tanpa tekanan dari konsumen maka industri mungkin enggan berubah, begitu juga sebaliknya tanpa kesadaran konsumen, industri akan terus-menerus serakah dalam beraktivitas.
Jika orang-orang Islam hari ini mengira bahwa pakaian yang dikenakan Muslim dan Mukmin pada generasi Salaf (generasi Muhammad dan tiga generasi kemudian) sudah sesuai sunnah atau apa yang dipraktekkan mereka, sudah pasti mereka telah mengalami delusi, kalau tidak ahistoris dan anakronistik. Sutra adalah produk mahal yang harus diimpor oleh-orang Nabatea dari China. Bahan-bahan sintetis yang dikenakan ukhti-ukhti itu ditemukan oleh orang-orang yang bukan beragama Islam yang mendunia sejak Era Revolusi Industri dan juga karena kolonialisme. Katun ditemukan di India. Katun masih paling banyak diproduksi di India dan Asia Tengah, yang sebelum sebagian dari mereka memeluk Islam adalah orang-orang Hindu dan Buddhis. Dan, hemp, adalah penemuan orang China sejak ribuan tahun lalu.
Untuk mengenakan kain dengan serat-serat kain yang sama dikenakan Rasulullah dan generasi Salaf tentu bukanlah dari tanaman yang ada di Nusantara. Dan, ukhti-ukhti sekalian tak akan mungkin tahan mengenakan pakaian berbahan bulu domba (wol) di wilayah tropis ini, kecuali dengan menggunakan AC atau di puncak pegunungan yang jauh dari perkotaan. Jika kita tak peduli dan melakukan hal-hal yang sama dalam penggunaan pakaian kita, sedemikian melampaui batas itu karena tak selaras dengan habitat dan alam kita, masih layakkah kita mengklaim sebagai Muslim dan mukmin?
Jika kita memang meyakini tauhid, yaitu hanya ada satu Tuhan, dan hanya ada satu kemanusiaan pula, maka tidak melampaui batas dalam hal berbusana, seperti kampanye hijabisasi dan niqabisasi dan segala tetek bengek mengenai konsep menutup aurat. Yang pasti semua hal melampaui batas tersebut tidak akan didukung sama sekali oleh Rasulullah jika hidup saat ini. Bunda Khadijah, Fatimah, dan Zaynab pasti mengenakan pakaian sesuai habitat, termasuk berkemben seperti leluhur Jawa saya jika mereka hidup di Jawa, dan tidak mengenakan niqab dengan mengada-ada mengatakan itu perintah Allah tetapi ternyata malah merusak alam. Bunda Sukaynah telah mencontohkan kepada kita, bahwa Islam bukanlah agama tekstil, dan Allah bukanlah Tuhan pengusaha garmen dan perancang busana.
Rahayu,
RA Gayatri WM
\#Dekalogisme
#PeduliVitaminD
#kembenitumenutupaurat
#dehijabisasi #dejilbabisasi #deniqabisasi
#TauhidIalahSatuKemanusiaan
Lukisan dari Nyai Titi Razak
sumber data statistik:
https://www.businessinsider.sg/fast-fashion-environmental-impact-pollution-emissions-waste-water-2019-10/?utm_content=buffer144a4&utm_medium=social&utm_source=facebook.com&utm_campaign=buffer-ti&fbclid=IwAR1cTfaAfUsHjE61dEYioF9ebOhxJU88vj5A_sAWv1oWLdJkKROl4CCPMIU&r=US&IR=T
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2410791485828826&id=1508774436030540
Comments
Post a Comment