Tren hijrah dan semangat untuk mengaji
Tren Hijrah, Kampanye tidak Laku, dan Aku yang Heran
😁😁😁
Bagi Anda yang hidup sejak tahun 80 atau 90an, sudah barang tentu merasakan pergantian orde, abad, maupun segala bentuk sistem dan pergerakan. Pun dengan Islam, hiruk pikuk serta kehebohan yang pernah muncul juga tidak ketinggalan. Gonjang-ganjing partai Islam dalam perpolitikan misalnya, hingga terwujudnya presiden yang berlatarbelakang dari ormas dan partai Islam, meskipun usia kepemimpinannya tidak begitu lama.
Masing-masing periode kekuasaan, selalu memiliki warna dan permasalahan yang sering bersinggungan langsung dengan Islam. Misalnya pada order baru, Anda tidak boleh sembarang berkhutbah, atau penjara menanti Anda. Atau pada masa kekuasaan SBY, yang menjadi awal kehebohan isu teroris yang lahir bersamaan dengannya tim khusus anti teror yang dikenal dengan densus 88.
Terlebih lagi sekarang ini, gonjang-ganjing itu seakan terkumpul di bawah satu rezim. Ya khutbah diawasi, ya isu teror pun digoreng hingga sekriuk popcorn. Lebih mencengangan lagi, ujaran para oposisi kerap menjadi delik meskipun itu tidak ada kaitannya dengan agama sama sekali. Apapun bentuk ucapannya, yang paling penting dilaporkan dulu. Masalah laporan itu diterima atau tidak, asal kehebohan negeri sudah tercipta. Hebat!
Tapi ada satu hal yang tidak pernah tertahan meskipun kehebohan itu terus mereka ciptakan di negeri ini, yaitu gelombang hijrah penduduknya. Setidaknya, kalau mereka belum mampu totalitas dalam hijrah itu, tetapi aura perubahan pada penampilan, atau loyalitas mereka terhadap kebenaran semakin membaik.
Sebagai bukti, saya pertama kali datang ke Jawa tahun 2008. Sebagaimana masyarakat umumnya, muslimah pada saat itu masih memegang prinsip 'yang penting Islam' meskipun ke pasar masih nyaman menggunakan jarik dan pakaian adat lainnya. Lambat laun, seiring berkembangnya informasi dan pengetahuan, perubahan pada pakaian itu semakin membaik.
Atau contoh yang lain, saat itu para pekerja pabrik begitu nyaman dengan pakaian tanpa penutup kepala. Masih ingat betul saat mereka menggunakan baju hem berwarna biru muda dan celana biru dongkernya. Tapi dengan bergulirnya waktu, orang-orang tadi berubah dan ada kesan 'pekewoh' kalau tidak berjilbab.
Bagaimana dengan contoh yang lainnya? Bisa Anda saksikan gelombang hijrah para artis yang cukup menginspirasi generasi milenial beserta fansnya dari kalangan emak-emak. Sungguh ajib. Setiap kota yang mereka datangi, selalu kebanjiran pendengar. Pun mereka datang bukan sekadar untuk menghargai undangan, tetapi memang karena ada panggilan hati yang cukup kuat.
Seiring dengan pesatnya tren itu, penjualan gamis plus jilbab syari dan pakaian cingkrang dan baju kurta ala ikhwan laris manis seperti awal munculnya es cincau cappucino dulu. Minimal hijrah berpakaian dulu walau hatinya belum dibawa serta merta bersamanya (semoga kita berproses lebih cepat). Hebatnya lagi, siswi sekolah atau pesantren yang dulunya menggunakan sembarang jilbab (yang kadang jilbabnya menerawang seperti saringan tahu, atau bahkan tidak berjilbab blas), sekarang berbondong-bondong mengupgrade model jilbab mereka ke bentuk dan bahan yang lebih baik. Salut.
Nah simpulannya apa kalau begitu? Ke mana efek kampanye mereka? Bertriliyunan uang digelontorkan tetapi kesadaran masyarakat tidak terbendung. Apa ini yang disebut dengan usaha yang sia-sia? Atau mereka tidak peduli dengan kesia-siaan itu asalkan rekening semakin gendut? Ah sudahlah!
Maka benar apa yang difirmankan Allah dalam surat Ash-Shoff, mereka hendak memadamkan cahaya agama, tetapi Allah lah yang selalu menjaganya. Ya, segetol apapun orang 'nonmuslim' (karena tidak boleh pakai kata kafir) dan munafik bahu membahu menenggelamkan cahaya Allah, pasti Allah yang akan menolongnya dengan cara menguatkan hati para pengusungnya, atau mendatangkan orang lain yang akan mengagungkannya. Kurang mantul apa lagi coba?
Tapi ada catatan yang membuat saya tergelitik. Maaf ya! Anda yang ikut serta dalam gelombang itu tetapi masih loyal kepada tindakan orang kafir, berpakaian yang syari tetapi ikut memusuhi sesama Islam dengan dalil yang dipaksakan, mengubah jilbab sarimu tetapi menertawakan orang yang hijrah secara total, mengagumi kesalihan suamimu tetapi menyebut pelaku poligami dengan pelakor dan buaya darat, memuji gurumu yang perokok dengan mencela orang yang meninggalkannya, atau membenci mereka yang menggaungkan syariat Allah dengan mencap mereka sebagai bagian dari kelompok radikal, di situ lah hatiku bertakon-takon, karepmu opo?
Nih, supaya tulisan saya tidak kepanjangan. Intinya, mari kita ngaji yang benar, kita pahami yang benar, kita bawa serta kecerdasan dalam belajar dan beramal. Itu baru top. Karena ngaji itu tidak sekadar bangga-banggaan mengenai siapa guruku, atau lulusan mana guruku. Karena ketahuilah, orang di luar Anda itu berguru pada syaik, ulama, serta kitab yang Anda pelajari juga.
Kalau kalimat yang ringan nan elegan ini tidak dipahami juga, fix, dengki itu yang Anda sembuhkan!
Salam hangat, IH
Boleh dishare tanpa harus izin.
Comments
Post a Comment