LOCKDOWN COVID-19 DALAM KONSEP THIBB NABAWI

LOCKDOWN COVID-19 DALAM KONSEP THIBB NABAWI
Kathur Suhardi, S.Pd.I, MA.
(Praktisi Thibb Nabawi – Penulis – Owner Assabil Holy Holistic – Ketua Masjlis Syura Perkumpulan Bekam Indonesia – Dewan Pendiri International Islamic Medicine Foundation)

Pandemi Covid-19 yang sejak Desember 2019 merebak di Wuhan Cina lalu menyebar tidak saja di daratan Cina tapi juga ke berbagai negara termasuk ke Indonesia, juga pernah terjadi sebelumnya, meski beda jenis virusnya, bobotnya dan radius sebarannya. Bahkan pandemi atau epidemi seperti ini juga pernah terjadi pada awal kelahiran Islam, tepatnya pada masa khalifah Umar bin Al-Khaththab. Mau tahu berapa banyak korban pada masa itu? Dalam beberapa literatur sejarah seperti kitab  Tarikh Ath-Thabary, Al-Bidayah wa An-Nihayah, Mu’jam Al-Buldan dan lain-lainnya, lebih kurang 25.000 orang yang meninggal karena epidemi tha’un. Dalam satu riwayat bahwa korban yang meninggal saat itu mencapai separoh dari jumlah penduduk. Kalau sampai tanggal 19 Maret 2020 ada 8.810 orang yang meninggal di seluruh dunia karena kasus Covid-19, maka itu hanya 35% dari korban pandemi tha’un pada masa khilafah Umar bin Al-Khaththab, yang kejadiannya hanya di Syam (Irak) saja, yang tentunya tidak sebanding dengan kasus Covid-19 saat itu yang korbannya seluruh dunia. Jika penduduk dunia jelang 2020 sebanyak 7.75 milyar, maka yang menjadi korban Corvid-19 saat ini hanya 0.0001 sekian persen.

Bagaimana kejadiannya? Apa solusi dan penanganannya?
Oya. Ada yang ingin saya tegaskan di sini, saya mencoba menukil dari beberapa sumber, lalu menarasikan ulang agar lebih mengalir ceritanya, meski memang ada beberapa perbedaan versi kisah dan penetapan tahunnya antara satu sumber dengan sumber lain. Dan terlebih lagi, kisah serupa disampaikan belakangan ini oleh beberapa orang, ada yang diplesetkan, atau bener-bener kepleset, kurang jelas, setidaknya agar kita tidak meleset dari sumber-sumber yang tepercaya. Karena itulah saya sertakan catatan kakinya, sebagiannya saja, agar kelihatan sedikit ngilmiyahlah. Dengan segala kerendahan hati, saya pun mengakui belum tentu perujukan tulisan ini benar atau setidaknya ada beberapa sumber yang tidak sempat dibaca. Apalagi tadi pagi, saat memulai tulisan ini, laptop sedikit manja dan kolokan.

Pada akhir tahun ke-18 Hijriyah, Umar bin Al-Khaththab selaku Amirul-Mukminin atau khalifah atau pemimpin negara saat itu, mengadakan perjalanan dari Madinah menuju Syam atau Irak pada masa sekarang bersama para shahabat lain termasuk para shahabat senior. Tujuannya untuk mengokohkan kedudukan pasukan Muslimin di sana dan membagi harta warisan para shahabat, karena para umara’ setempat tidak mampu menuntaskannya. Setiba di Sargh, sebuah perkampungan ke arah Syam di penghujung wilayah Hijaz atau Saudi, Umar berpapasan dengan rombongan Abu Ubaidah Al-Jarrah yang dibersamai beberapa shahabat lain para komandan pasukan. Abu Ubaidah menyampaikan berita bahwa di Syam sedang berjangkit ath-tha’un yang merebak secara dahsyat. Oya. Abu Ubaidah Al-Jarrah adalah komandan pasukan dan yang memimpin kaum Muslimin di Syam dan sekaligus amir, semacam gubernur Syam.

Makna ath-tha’un sendiri, berbeda-beda menurut perbedaan pendapat para ulama. Ibnu Al-Atsir berpendapat, maknanya al-maradhul-‘aam.1) Penyakit yang menyebar secara luas. Ibnu Qayyim lebih condong kepada penetapan makna wabah pes, sampar,2) atau disebut pula dengan plague atau pestis.3) Dalam riwayat lain disebutkan kata al-waba’, yang berarti epidemi atau pandemi. Tha’un saat itu juga disebut dengan istilah ‘amawas atau ‘imwas atau ‘imawas, nama sebuah desa di Palestina sebelah barat tak jauh dari Baitul-Maqdis.4)

Dengan mengacu kepada nama tha’un yang juga disebut ‘amawas, nama sebuah desa di Palestina yang berjarak 6 mil dari Ramallah atau 9 km, sementara Ramallah ke Yerussalam 10 km, maka jarak Amawas ke Yerussalem sekitar 19 km, maka di dalam kitab Mu’jamul-Buldan ditegaskan bahwa memang asal terjadinya epidemik di Syam bermula dari desa Amawas ini, karena terjadinya tha’un di Syam setelah penaklukan Baitul-Maqdis.5) Atau boleh jadi rentetan peristiwa ini juga diawali dari pengabaran yang disampaikan Rasulullah Shalllallahu Alaihi wa Sallam bahwa tha’un adalah penyakit menjijikkan yang pernah menimpa sebagian Bani Israel atau kaum sebelum kaum Muslimin,6) yang kemungkinan virusnya masih bertahan di sana, lalu menyebar kepada pasukan Muslimin yang menaklukkan Baitul-Maqdis, lalu bermigrasi ke Syam bersama pasukan yang berpindah ke Syam. Wa Allahu a’lam.

Seketika itu pula Umar memanggil para pemuka Muhajirin dan meminta pendapat mereka. Sebenarnya Umar sudah mempunyai pilihan keputusan. Tetapi dia menghormati dan sekaligus menampung pendapat para shahabat lain, tidak langsung menyampaikan keputusannya. Ternyata di antara mereka ada yang ngotot agar tetap melanjutkan perjalanan ke Syam. Tetapi ada pula yang mempertimbangkan tentang kehidupan sisa-sisa shahabat yang masih ada, sehingga mereka berpendapat agar membatalkan kepergian ke Syam dan kembali lagi ke Madinah. Umar berkata, “Beri aku kesempatan untuk mempertimbangkan dan memutuskannya.”
Berikutnya Umar mengumpulkan para pemuka Anshar, menyampaikan masalah pandemi ini dan meminta pendapat. Tak berbeda dengan para Muhajirin, mereka pun terbagi menjadi dua kelompok antara terus ke Syam dan kembali ke Madinah. Umar berkata, “Beri aku kesempatan untuk mempertimbangkan dan memutuskannya.”

Belum puas dengan pendapat pemuka Muhajirin dan Anshr, Umar mengumpulkan kelompok ketiga yang terdiri dari para sesepuh Quraisy yang mereka itu terlibat saat pembebasan kota Makkah. Berbeda dengan Muhajirin dan Anshar, ternyata kelompok ketiga itu sepakat semua agar Umar mengurungkan niat ke Syam dan agar kembali ke Madinah.

Umar bin Al-Khaththab dan semua shahabat dan bahkan semua orang pada zaman itu tidak pernah mengalami kejadian pandemi seperti itu, tidak punya pengalaman, tidak tahu apa solusinya, tidak tahu obatnya, tidak tahu penangannya. Memang ada ratusan dan bahkan ribuan hadits Rasulullah tentang pengobatan. Mengapa saya katakan ribuan hadits, karena satu kitab yang disusun Abu Nu’aim Al-Isfahany dalam kitabnya Ath-Thibb An-Nabawy, sudah memuat 904 hadits. Semua tentang pengobatan atau minimal temanya berkaitan dengan masalah pengobatan. Padahal dalam pandangan saya, belum semua hadits tentang pengobatan ada dalam kitab ini. kitabnya Ibnus-Sunny lebih banyak lagi. Meskipun memang tidak semua hadits shahih atau hasan. Umar dan semua shahabat tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Setidak-tidaknya hingga detik itu.

Umar menyadari harus mengambil keputusan yang tepat, apalagi para shahabat terbagi menjadi dua kelompok dalam menyikapi kejadian ini. Namun dengan mempertimbangkan terutama pendapat para pemuka Quraisy dalam kelompok ketiga yang dimintai pendapat oleh Umar, maka Umar berdiri di hadapan semua orang dan berseru, “Besok pagi aku akan kembali (ke Madinah). Maka harap dimaklumi keputusan ini.”
Mendengar hal itu, Abu Ubaidah yang menjadi pemimpin pasukan di Syam, menyampaikan keberatan atau mungkin lebih tepatnya protes keras, seraya berkata, “Apakah (dengan keputusanmu itu) engkau hendak lari dari taqdir Allah?”
Umar langsung menyahut, “Andaikan yang bicara seperti itu bukan engkau wahai Abu Ubaidah, tentu aku....” Umar tidak melanjutkan. Mungkin dengan nada marah atau menahan amarah atau setidaknya menunjukkan kekecewaan atas jalan pikiran Abu Ubaidah. Umar melanjutkan, 

نَعَمْ نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ إِلَى قَدَرِ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ لَكَ إِبِلٌ هَبَطَتْ وَادِيًا لَهُ عُدْوَتَانِ، إِحْدَاهُمَا خَصِبَةٌ، وَالأُخْرَى جَدْبَةٌ، أَلَيْسَ إِنْ رَعَيْتَ الخَصْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ، وَإِنْ رَعَيْتَ الجَدْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ؟
“Memang benar adanya. Kita lari darri taqdir Allah kepada taqdir Allah yang lain. Apa pendapatmu andaikan engkau mempunyai sekumpulan onta yang memasuki dua jenis lembah, yang satu subur dan satunya lagi tandus, bukankah andaikan engkau menggembalakannya di lembah yang subur, maka sebenarnya itu atas taqdir Allah, dan andaikan engkau menggembalakannya di lembah yang tandus, maka sebenarnya itu atas taqdir Allah pula?”

Pada saat terjadi dialog antara Umar dan Abu Ubaidah itulah tiba-tiba muncul Abdurrahman bin Auf, yang sejak terjadinya perdebatan dalam mensikapi pandemi ini, dia tidak hadir karena ada urusan. Dia berkata menengahi, “Aku mempunyai ilmu yang bisa dijadikan solusi. Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
Jika kamu sekalian mendengar ada pandemi berjangkit di suatu daerah, maka janganlah kalian mendatanginya, dan jika pandemi berjangkit di suatu daerah dan kalian berada di sana, maka janganlah kalian keluar dari sana karena melarikan diri darinya.

Mendengar penuturan Abdurrahman bin Auf tentang sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ini, Umar seketika mengucapkan hamdalah, dan pada hari itu pula Umar bersama rombongannya kembali ke Madinah tanpa menunggu keesokan harinya.7) 

Sementara Abu Ubaidah dan rombongannya kembali pula ke Syam, sebagai rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diembannya.

Lalu apa yang terjadi sekembali Umar ke Madinah dan sekembali Abu Ubaidah ke Syam?

Ternyata, pandemi makin menjadi-jadi. Sebaran pes tak terbendung. Korban terus berjatuhan. Waktu demi waktu. Hari demi hari. Setelah mendapatkan kabar ini, Umar menulis surat kepada Abu Ubaidah:
Salamun ‘alaik
“Ada hal penting yang harus segera aku sampaikan kepadamu dan bersifat mendesak, bahwa jika suratku ini sudah engkau terima, maka janganlah engkau meletakkannya sehingga melainkan engkau langsung pergi menemuiku.”

Abu Ubaidah tahu bahwa sebenarnya Umar bermaksud hendak menyelamatkan dirinya dari marabahaya. Ingin menyelamatkan hidupnya. Ingin menyelamatkannya dari wabah pes. Maka dia berucap, “Semoga Allah mengampuni dosa-dosa Amirul-Mukminin.”

Lalu dia menulis surat kepada Umar yang isinya:
“Wahai Amirul-Mukminin, aku sudah tahu apa maksud yang engkau inginkan terhadap diriku. Aku selama ini sudah menyatu dengan pasukan perang kaum Muslimin. Aku sudah kepalang kencintai mereka. Sedikit pun aku tidak berniat meninggalkan mereka hingga Allah membuat keputusan terhadap diriku dan mereka. Karena itu perkenankan aku kali ini untuk tidak mengikuti perintahmu wahai Amirul-Mukminin dan biarkan aku bersama pasukanku.”

فَقَالَ: يَغْفِرُ اللَّهُ لِأَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ. ثُمَّ كَتَبَ إِلَيْهِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنِّي قَدْ عَرَفْتُ حَاجَتَكَ إِلَيَّ، وَإِنِّي فِي جُنْدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ لَا أَجِدُ بِنَفْسَيْ رَغْبَةً عَنْهُمْ، فَلَسْتُ أُرِيدُ فِرَاقَهُمْ حَتَّى يَقْضِيَ اللَّهُ فِيَّ وَفِيهِمْ أَمْرَهُ وَقَضَاءَهُ، فَخَلِّنِي من عزمتك يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، وَدَعْنِي فِي جُنْدِي.
Keruan saja. Surat Abu Ubaidah itu membuat mata Umar sembab basah oleh air mata kesedihan dan keharuan. Orang-orang di sekitarnya bertanya, “Apakah Abu Ubaidah sudah meninggal?”
Umar menjawab, “Tidak. Dia tidak meninggal. Tapi sepertinya tak lama lagi.”

Ketika kemudian kondisi makin parah, penyebaran virus tidak terbendung dan tidak terkontrol, begitu pun kondisi Abu Ubaidah juga makin lemah karena wabah ini, maka dia berdiri di hadapan kaum Muslimin dan berpidato, “Wahai semua manusia, penyakit ini merupakan rahmat bagi kalian, ini adalah doa Nabi kalian, ini adalah kematian orang-orang shalih sebelum kalian. Sesungguhnya Abu Ubaidah memohon kepada Allah agar diberikan bagian yang seperti itu.”

Tak lama kemudian Abu Ubaidah meninggal. Kedudukannya digantikan oleh Mu’adz bin Jabal. Tak lama kemudian, dia meninggal. Anaknya, Abdurrahman menggantikan kedudukannya. Juga meninggal dunia. Giliran Amru bin Al-‘Ash menggantikan kedudukannya, dia membuat terobosan baru yang tidak dilakukan para pemimpin sebelumnya. Dia langsung naik ke atas mimbar dan berpidato, menyuruh semua penduduk mengungsi ke bukit-bukit dan gunung-gunung, saling berpencar karena areanya yang luas. Kebijakannya yang dapat dibilang baru pada saat itu, antimainstream, tidak biasanya, bukannya tidak ada yang memprotes, terutama Abu Wa’il Al-Hudzaly. Tapi Amru tetap bersikukuh dengan pendapatnya.

Pada saat itu pula Amru bin Al-‘Ash melaksanakan keputusannya, naik ke bukit, meninggalkan kota Syam yang sudah terpapar virus, dan diikuti oleh semua orang, yang dalam istilah Amru disebut dengan kata “tahashshanu”, atau membentuk benteng pertahanan atau bertahan hidup untuk beberapa lama. Setiap keluarga atau bahkan setiap orang memilih tempat yang saling terpisah di gunung dan bukit-bukit.
Langkah Amru ini benar-benar efektif memotong penyebaran virus dari satu orang ke lain orang. Maka ketika berita ini sampai ke Umar bin Al-Khaththab di Madinah, dan ternyata memang mampu menuntaskan kasus tha’un saat itu, maka kemudian Umar pergi ke Syam dan melaksanakan tugasnya membagi harta warisan para shahabat yang tersebar di Syam, Damascus, Yordania dan lain-lainnya serta mengangkat para gubernur di setiap wilayah.8)

Faidah yang dapat diambil dari kasus tha’un ini:
1. Sistem lockdown atau isolasi atau karantina atau al-hajarush-shihhy karena pandemi virus, sudah disampaikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sabda beliau dengan bahasa yang sangat jelas. 
2. Perkataan, perbuatan dan semua pensifatan beliau dalam masalah pengobatan disebut dengan istilah Thibb Nabawi. Setiap orang Islam harus mengimani perkataan dan perbuatan Nabi, termasuk dalam masalah pengobatan atau kedokteran. Pengingkaran terhadap Thibb Nabawi ini merupakan tanda kufur dan ingkat. Jangan deh. Berat resikonya di hadapan Mahkamah Ilahiyah. Seperti hadits-hadits tentang hijamah, bekam, cupping therapy, ada ratusan hadits. Boleh tidak mengamalkannya, tapi jangan sampai orang Islam tidak mempercayai bekam dan manfaatanya sebagai bagian dari Thibb Nabawi.
3. Sebelum Umar bin Al-Khaththab mengetahui adanya hadits di atas, dia sudah berpikir melakukkan hal yang sama, meskipun ada sebagian shahabat menolak pendapatnya. Dan setelah tahu keberadaan hadits tersebut, maka hal itu menguatkan pendapatnya. Maka di antara perkataannya, “Kami lari dari taqdir Allah menuju taqdir Allah yang lain.” Terjadinya pandemi tidak lepas dari taqdir Allah. Namun usaha manusia menghentikan sebaran virus juga tidak lepas dari taqdir Allah
4. Semua benda alam ada dalam kekuasaan dan kendali Allah, termasuk sebiji dzarrah pun. Termasuk virus sekecil apa pun tak lepas dari campur tangan Allah. Termasuk Covid-19. Dia yang menciptakan penyakit Dia pula yang menurunkan obat penawarnya. Sebuah sinyal bagi yang terpapar agar tetap tawakkal kepada-Nya dan semangat mencari kesembuhan, sinyal bagi para dokter dan ahli agar mencari obatnya.
5. Pandemi virus tidak membedakan antara orang shalih atau thalih (pendosa). Semua sama-sama akan menerima resikonya jika tidak melakukan tindakan pencegahan, termasuk sistem lockdown. Nyatanya, Abu Ubaidah, Yazid bin Abu Sofyan, Mu’adz bin Jabal dan para pemuka shahabat yang lain toh meninggal dunia karena tha’un. Kurang iman macam mana mereka itu?
6. Para pemangku kebijaksaan dan kekuasaan harus bersikap tegas dalam mengambil langkah lockdown sebelum semakin banyak korban yang berjatuhan, jikalau perlu ambil langkah yang lain dari yang lain seperti yang dilakukan Amru bin Al-‘Ash, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya sebagian orang yang menolaknya.
7. Langkah isolasi yang diambil Amru bin Al-‘Ash dengan memerintahkan semua orang pergi ke gunung, yang pasti untuk meninggalkan kondisi sosial yang sudah terpapar parah, mengisolasi, lockdown, dan boleh jadi karena udara gunung masih bersih. Jika melihat rentetan peristiwa pada saat itu yang disusul dengan kedatangan Umar kedua kalinya ke Syam pasca serangan tha’un, maka boleh jadi keberhasilan strategi Amru ini berjalan hanya beberapa bulan.
8. Inti dari langkah Amru yang memindahkan semua penduduk ke gunung adalah gambaran sistem isolasi, karantina dan lockdown, pembatasan interaksi sosial. Kalaulah pada saat sekarang sistem serupa hendak diberlakukan untuk menghindarkan sebaran Covid-19, maka pergerakan manusia di luar rumah harus dibatasi sangat ketat, jika perlu diberlakukan hukuman bagi mereka yang melanggarnya.

Silahkan disebarkan agar menjadi pahala dakwah Sunnah Nabawiyyah Thibbiyyah

Jakarta, 19 Maret 2020

Catatan Kaki:
1) Fathul-Bary, Ibnu Hajar Al-Asqalany, 10/133.
2) Ath-Thibb An-Nabawy, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Pasal Fi Hadiyihi fi Ath-Tha’un.
3) The Unified Medical Dictionary, Dr. M.H. Khayat, hlm. 69.
4) Mu’jamul-Buldan, Syihabuddin Abu Abdullah Yaqut bi Abdullah Ar-Rumy Al-Hamawy, Bab Imawas, 4/157.
5) Ibid. 
6) Al-Bukhary, 3473.
7) Dinarasi ulang dari kitab Shahih Al-Bukhary, 5729; Shahih Muslim, 98/2219 dan lain-lainnya.
8) Disarikan dari kitab Tarikh Ath-Thabary, Abu Ja’far Ath-Thabary; Al-Bidayah wa An-Nihayah, Ibnu Katsir, Mu’jamul-Buldan, Syihabuddin Abu Abdullah Yaqut bi Abdullah Ar-Rumy Al-Hamawy dan lain-lainnya.

#copasWA

Comments

Popular posts from this blog

Tingkatkan Pengetahuan Anda! TAHUKAH ANDA?

Menyambut Ramadhan

Mencampuradukkan ajaran agama lain ke dalam Islam