Aparigraha (Nonpossession). Mengambil Secukupnya. Melepaskan diri dari kebergantungan
Aparigraha (Nonpossession). Mengambil Secukupnya. Melepaskan diri dari kebergantungan.
Sederhana Bukan Berarti Miskin dan Terbelakang.
Mohandas Karamchan Gandhi, dikenal dengan Mahatma (jiwa agung) Gandhi. Anak seorang gubernur Porbandar. Menempuh pendidikan hukum di Universitas London.
Lihatlah... Dia memintal sendiri benang untuk dijadikan pakaiannya. Ia seringkali terlihat mengenakan sehelai kain berwarna putih untuk menutupi tubuhnya.
Sosok sehebat Mahatma Gandhi memilih hidup dengan sangat sederhana.
Mahatma Gandhi adalah salah satu sosok yang menginspirasiku untuk menjahit sendiri pakaianku. Tanpa mesin aku sudah menjahit baju-bajuku sendiri sejak masih kuliah.
Gandhi memegang prinsip aparigraha. Filosofi hidup mengambil sesuai yang dibutuhkan dalam porsi yang pas. Tidak kurang dan tidak lebih. Prinsip ini juga melepaskan diri dari kebergantungan pada benda dan orang lain. Ini yang masih sulit kuterapkan.
Aku masih sering berbelanja lebih dari yang kubutuhkan. Meskipun sudah meminimalisir ukuran kulkas masih saja ada satu dua bahan makanan yang terlewat akhirnya busuk tidak bisa diolah.
Ketika mulai belajar skill bertahan hidup aku mulai mempelajari tanaman liar yang bisa dimakan. Saat orang lain lihat mungkin akan kasihan dikira aku gak bisa belanja. Pliss bagi siapapun yang ngelihat aku ngeramban jangan sesekali mengasihani ya...
Salah satu paradigma yang perlu diubah. Bahwa hidup sederhana bukan berarti miskin dan papa.
Memang ada orang yang karena miskin sehingga terpaksa hidup sederhana. Aku tidak mengingkari fakta ini. Tapi ada sisi lain yang aku coba soroti yaitu orang malu hidup sederhana karena gengsi.
Makan jagung, gaplek, tiwul diidentikkan dengan orang yang miskin. Dibuatlah standar baku bahwa semua orang harus makan nasi atau roti. Bukan makan kalau belum pakai nasi. Secara tidak langsung pikiran bawah sadar sudah diset sedemikian hingga wajib membeli beras untuk dijadikan nasi.
Sedangkan usaha untuk menghasilkan nasi atau roti hanya dimiliki oleh sebagian orang. Menanam padi butuh lahan yang luas. Bandingkan dengan lahan untuk menanam jagung atau umbi-umbian. Apalagi roti. Bahan baku tepung terigu dari gandum yang tidak bisa tumbuh di negeri sendiri. Akibatnya impor tak terhindari.
Sehingga untuk memenuhi kebutuhan makanan, mau tidak mau harus bergantung pada orang lain. Padahal jika saja tidak ada usaha peyorasi bagi mereka yang makan selain nasi tentu kita akan memiliki berbagai jenis sumber pangan untuk mencukupi kebutuhan karbohidrat. Yang bisa kita tanam dan olah sendiri.
Demikian juga dengan sayur-sayuran. Awalnya malu lama lama tidak mau memakan tumbuhan yang ada di alam sekitar. Ketika melihat orang lain mengambil tanaman liar untuk dimakan kesan pertama yang muncul adalah iba dan kasihan.
Iba dan kasihan pada orang yang membutuhkan memang harus. Tapi perasaan itu tidak bisa diumbar begitu saja.
Iba ketika melihat orang mengambil tanaman liar muncul karena menganggap tanaman liar derajatnya lebih rendah dari berbagai sayuran yang dijual di pasar.
Anggapan ini secara tidak langsung memaku kebutuhan kita pada suply yang disediakan pasar. Akibatnya ketika pasar tutup, uang gak ada, gak bisa kerja, tamatlah riwayat kita karena tidak bisa makan.
Semua lingkaran itu bermula karena kita salah membangun paradigma. Jika alam telah memenuhi semua kebutuhan kita secara cuma-cuma kenapa kita masih bergantung pada pasar dan swalayan? Ketika kita berjalan cukup dengan satu sepatu dan sehelai baju kenapa kita butuh puluhan cadangan untuk disimpan?
Kapitalisme mengajarkan bagaimana membuat orang lain selalu merasa kurang, selalu ingin menghabiskan uang.
Foto Pertama : Miniatur Mahatma Gandhi di Alive Museum Ancol.
Foto Kedua dst : Sayuran hasil meramban di sekitar rumah.
https://www.facebook.com/1428354522/posts/10222866409595286/
Comments
Post a Comment