Sikap Reaktif Terhadap Virus Corona Covid 19 yang Justru Berbahaya
"Sikap Reaktif Terhadap Virus Corona Covid 19 yang Justru Berbahaya"
Oleh: Dr. Tri Pitara M.S.Si.,M.Kes. (Departemen Fisiologi Kedokteran, Program Studi Pendidian Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UMY)
Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
Saudaraku yang saya cintai...pandemi corona virus covid 19 yang sudah melewati lebih dari 3 bulan sejak Indonesia mengakui bahwa virus ini telah menjangkiti penduduk di Indonesia. Berbagai reaksi mulai marak di masyarakat baik yang bereaksi positif maupun bereaksi negatif. Reaksi positif dan negatif itu sebenarnya hanya disebabkan oleh akibat dari sikap seseorang dalam merespon peristiwa corona virus didasarkan atas 2 hal yaitu 1. Menyikapi adanya virus didasari dengan ilmu yang tepat dan benar sehingga melahirkan respon positif serta menghasilkan tindakan perilaku yang tepat untuk solusi mengatasi virus ini.
2. Menyikapi adanya virus tanpa dasar ilmu yang benar dan tepat, sehingga melahirkan sikap negatif sehingga mengakibatkan tindakan reaktif berupa perilaku ketakutan berlebih (paranoid/ phobia) serta tindakan yang justru membahayakan dirinya maupun lingkungan sekitar.
Beberapa persoalan yang salah dalam sikap seseorang terhadap virus corona covid 19 ini apa saja ?
1. Menyikapi virus corona covid 19 dikatakan sebagai makhluk hidup. Selama ini beberapa kalangan salah memahami virus corona ini (baik pejabat atau masyarakat umumnya). Hal ini terbukti dengan seringnya muncul pernyataan bahwa " virus ini dapat dibunuh dengan...virus ini akan mati dengan...virus dapat mati jika ...dst." Sebagian masyarakat salah kaprah bahwa virus ini dianggapnya mikrobia (mikro = kecil, Bia/bio =makhluk hidup) sehingga virus dianggap sama dengan bakteri, kuman, baksil atau amoeba. Padahal virus itu sesungguhnya bukanlah makhluk hidup (bukan benda hidup) sehingga otomatis tidak pernah bisa menjadi makhluk mati (benda mati). Dia hanya bisa dirusak/dihancurkan molekul proteinnya dengan bahan glicerol dari sabun. Jadi istilah virus itu mati adalah salah. Semua makhluk hidup bisa menjadi makhluk mati (contoh : manusia, hewan, tumbuhan, lumut, bakteri, jika mati namanya menjadi jenazah, bangkai, benda mati berupa kayu, fosil, batubara, dll). Virus itu sesungguhnya makhluk tak hidup (benda tak hidup) selamanya tetap tak hidup dan tidak akan pernah mati (contoh : tanah, bumi, matahari, udara, air, gas, besi, mineral, karbohidrat, lemak, protein, dll). Nah virus itu adalah makhluk tak hidup jenis bahannya berupa protein (deoxiribo nucleat acid/ DNA (gen) atau Ribo Nukleat Acid/ RNA. Bahan inilah yang menyebabkan virus
apapun jenisnya (virus influensa, virus HIV AIDS, virus flue burung, virus Ebola, virus DHF, virus corona), dapat berkembang karena terjadi duplikasi akibat adanya gugus rantai asam nukleat yg mampu membentuk template utk menduplikasi. Semua benda yang terjadi duplikasi (memperbanyak diri) tidak bisa serta merta disebut hidup, contoh jika kunci rumah atau kunci sepeda motor yang semula hanya satu, selanjutnya dibuatkan duplikat sehingga bisa menjadi 100 kunci, apakah kemudian kunci tersebut dikatakan sebagai makhuk hidup karena dari satu kunci berkembang menjadi 100 kunci ?
Pemahaman yang salah mengenai virus dianggap sebagai makhluk hidup ini maka memunculkan pernyataan yang salah kaprah pula yaitu " Mari Lawan Virus Corona...Perangi Virus Corona...dll.
Pernyataan tersebut menjadikan pertanyataan : Apakah virus Corona itu sebagai makhluk hidup yang mampu aktif bergerak punya senjata lengkap (layaknya serdadu/ tentara) yang bisa mematikan lawannya seenak virus sendiri dibawah komandan jendralnya virus ?
Virus ini hanyalah protein yang tidak bisa bergerak/ berpindah kecuali digerakkan oleh manusia atau benda laiinnya yg sedang bergerak atau berpindah.
Penggunaan istilah "Lawan virus ini... merupakan pernyataan yang secara psikologis telah merangsang otak bagian limbik system kita menjadi masuk ke bagian amygdala (pusat pengaturan emosi dan kesiapsiagaan) sehingga membuat seseorang bereaksi secara emosional, mensekresi hormon adrenalin dan menonaktifkan otak (neokorteks) yang memiliki kemampuan berpikir logis, rasional, sistematis, menjadi tidak berfungsi maka hal inilah yang membuat sikap perilaku menjadi ketakutan berlebihan (paranoid/ phobia) yang tidak lagi bisa berpikir rasional/nalar. Sikap masyarakat yang tidak rasional ini bisa ditunjukkan dengan berbagai tindakan salah satunya berupa pembuatan spanduk bertuliskan Lawan virus coran, tindakan menutup jalan/ gang di kampung-kampung atau dusun (disebut-sebut sebagai lockdown). Pandemi virus covid 19 secara langsung telah berdampak pada semua sektor kehidupan, sosial, politik, pendidikan, transportasi (tidak terkecuali) termasuk ekonomi, dll. Banyak orang kehilangan penghasilan sehingga munculnya sulitnya untuk mendapatkan biaya hidup untuk makan, bayar hutang, kecukupan kebutuhan pokok, hal ini menyebabkan secara umum banyak orang susah dan ketakutan kelangsungan hidup ke depan. Rasa ketakutan akan dampak virus ini tanpa disadari justru memperburuk kondisi imunitas tubuhnya sehingga rentan terinfeķsi virus. Ketakutan secara psikis ditambah dengan adanya pembetlakuan penutupan gang-gang/ jalan di kampungnya (maksudnya baik yaitu mencegah supaya kampungnya tidak tersebar virus tapi cara salah karena tidak punya ilmu yang tepat dan benar). Kondisi ini justru secara harian mata masyarakat disuguhi pemandangan yang membuat situasi yang sudah sulit ekonomi ditambahi suasana mencekam (penutupan jalan = suasana darurat) sehingga merangsang orang yang sudah sulit ekonomi tidak ada penghasilan, tambah takut, khawatir, stres, paranoid, menjadi semakin resah hal ini justru menjadikan imunitas (antibodi) tubuhnya menjadi lemah dan mempermudah terinfeksinya seseorang terkena virus ini.
2. Corona covid 19 dianggapnya sebagai makhluk hidup aktif berkeliaran di jalan-jalan bertebaran di udara.
Pemahaman ini yang memunculkan sikap reaktif melahirkan tindakan salah dan membahayakan berupa penyemprotan secara membabibuta (termasuk polisi menggunakan mobil alat penyemprot) berupa penyemprotan desinfektan ke udara di sepanjang jalan, tepi jalan, rumah-rumah penduduk, bahkan tanaman maupun kendaraan (sepeda, motor, mobil) ikut disemprot desinfektan, pembuatan semprotan desinfektan otomatis dipasang di pintu-pintu masuk gang/ jalan, bahkan saat seseorang mau masuk masjid.
Apakah desinfektan ini mampu efektif untuk mencegah terjadinya penyebaran virus ini ?
Jawabnya : penggunaan desinfektan ini dapat bermanfaat jika penggunaannya secara benar pada tempat yang tepat. Sebaliknya sangat berbahaya jika tidak tepat caranya).
Cobalah diperhatikan sebaik-baiknya pertanyaan di bawah ini :
Apakah kita pernah menjumpai Rumah Sakit-rumah sakit (RS Ssrdjito, RS Akademik, RSUD, RS PKU, RS Bethesda, RS Panti Rapih dll) baik itu rumah sakit rujukan covid 19 maupun rumah sakit non rujukan memberlakukan penyemprotan desinfektan (secara aerosol dengan nosel) bagi kendaraan (mobil, motor, sepeda, orang) yang mau masuk di kawasan halaman rumah sakit atau mau masuk gedung rumah sakit ? Padahal kita tahu bahwa rumah sakit itu harus steril dan dicegah agar tetap steril dari kuman dan virus. Sementara itu yang tidak habis dimengerti yaitu masyarakat melakukan tindakan penyemprotan desinfektan secara aerosol (nosel) kepada orang, kendaraan, jalan maupun rumah. Apakah semua manajemen rumah sakit itu tidak tahu ilmu kesehatan ya sehingga membiarkan pengunjung/ kendaraan tidak disemprot desinfektan atau justru sebaliknya ?
Desinfektan sebenarnya dapat menghancurkan virus dan membunuh kuman/ bakteri jika digunakan secara benar dan tepat yaitu virus yang menempel di benda keras seperti lantai, tembok, handel pintu atau jendela rumah bukan untuk tubuh manusia. Cara penggunaannya dengan dibuat larutan yang dicampurkan di air yang untuk mengepel lantai atau membersihkan tembok, jendela dll yang memang berpotensi terkena virus, akibat bersin (droplet).
Mengapa desinfektan tidak disemprotkan dengan nosel bertekanan ? hal ini untuk mencegah jangan sampai virus, atau kuman, bakteri justru terpental kena tekanan udara dari hembusan nosel sehingga bisa berada di udara dan bisa terhirup pernapasan atau terkena masuk ke mata sehingga menjadi infeksius. Artinya tindakan penyemprotan ini justru beresiko tinggi dan tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Resiko yang juga berbahaya adalah jika desinfektan terkena mata atau kulit yang bisa menimbulkan iritasi, jika terhirup napas juga mengganggu mukosa saluran napas dan paru-paru. Apakah kita masih ingin tetap ngotot melakukan penyemprotan desinfektan di berbagai tempat ? Marilah jangan melakukan tindakan sia-sia, pemborosan, kurang kerjaan, menyakiti orang lain, merugikan orang lain (kena bodi mobil atau motor merusak lapisan cat) dan malah berdosa bagi si pembuat kebijakan tsb.
Desinfektan sebenarnya lebih tepat digunakan secara heigine personal yaitu untuk membersihkan peralatan pribadi seperti handphone, beberapa peralatan yang sering disentuh tangan, dll.
3. Lockdown itu levelnya negara atau kawasan (paling kecil) Kota/ Kabupaten. Tidak ada lockdown itu untuk kampung.
Lockdown merupakan istilah yang sangat familiar saat pandemi ini. Apa itu lockdown ?
Lockdown adalah upaya yang dilakukan oleh negara pemerintah pusat utk mengatasi pandemi virus yaitu
Bagi negara atau wilayah yang diberlakukan lockdown maka masyarakatnya tidak boleh lagi keluar rumah dan berkumpul, sementara semua transportasi dan kegiatan perkantoran, sekolah, maupun ibadah akan dinonaktifkan (contoh : jerman, Arab Saudi dan Cina menerapkan ini). Bagaimana dengan kebutuhan hidup masyarakatnya ? Jika Indonesia melaksanaksn lockdown, maka semua difasilitasi dan dibiayai oleh negara sesuai yang diatur dalam Pasal 55 Ayat (1) Undang-undang tentang Kekarantinaan Kesehatan.
"Di dalam aturan Undang-undang Karantina Kesehatan Nomor 6 Tahun 2018 memang dikatakan seluruh pangan dan bahkan makanan ternak, dengan asumsi orang yang berternak, harus dipenuhi oleh pemerintah,
Termasuk Hak perlindungan terhadap kelompok rentan yaitu bayi, balita dan anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau menyusui, disabilitas dan orang lanjut usia yaitu Pasal 48e Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007,"
Apakah saat ini pemerintah Indonesia melakukan lockdown ? Jawabnya tidak sama sekali karena pemerintah tidak mampu memenuhi UU karantina wilayah yang telah dibuatnya sendiri. Saat ini yang dilakukan berupa hanyalah berupa Pembatasan Social Bersekala Besar (PSBB). Jadi masyarakat yang di wilayahnya diberlakukan PSBB hanya dipaksa dibatasi secara sosial (sosial distancing dan psysical distancing) tetapi untuk biaya hidup masyarakatnya dibiayai oleh masyarakat itu sendiri dan hanya mendapatkan bantuan sekedarnya untuk masyarakat tertentu saja, tidak semua penduduk memperoleh bantuan tsb.
Untuk apa dipaksa sosial distancing atau physical distancing ? Hal ini untuk meminimalkan kontak langsung orang per-orang agar tidak mudah menularkan virus, jadi intinya kumpul-kumpul banyak orang dengan jarak dekat (kurang dari satu meter) dilarang karena ini sumber penyebab mudahnya penularan. Bagaimana dengan tindakan yang dilakukan masyarakat menutup akses jalan kampung dan membuat satu pintu dengan penjagaan portal disertai penyemprotan desinfektan, protektif dengan melarang kurir pengiriman paket barang. masuk ke kampungnya ? Apakah ini efektif untuk mencegah warga kampungnya terjadi terinfeksi virus corona ?
Jawabnya : inilah tindakan yang salah arah dan tujuan, cenderung emosional serta sangat reaktif, yang tidak disadari malah justru membahayakan warganya sendiri (punya maksud baik tetapi caranya salah) karena tanpa ilmu yang benar dan tepat.
Perilaku penutupan akses jalan/gang ini menunjukkan bahwa virus itu diperlakukan seperti makhluk yang tampak oleh mata bisa dicegat atau dihalang-halangi dengan menutup akses jalan agar tidak masuk ke kampungnya. Mereka tidak mengetahui serta tidak menyadari bahwa virus itu ketika menempel atau masuk menginfeksi seseorang tidak dapat mudah diidentifikasi dan diskrining melalui penjagaan oleh masyarakat. Cobalah kita bisa melihat kasus puluhan orang yang dinyatakan positif corona (karyawan di Indogrosir jl Magelang), bukankah orang-orang (karyawan) tersebut juga punya riwayat tinggalnya di kampung-kampung yang juga ditutup akses jalan/ gang nya dan setelah dia dinyatakan positif corona oleh pemeriksaan RS dan dinkes, selanjutnya oleh rumah sakit diminta untuk isolasi mandiri di rumah karena dia termasuk Orang yang Tidak ada Gejala (OTG), apakah kemudian penjaga jalan/gang tidak mengizinkan masuk ke kampung agar bisa kembali ke rumahnya karena status OTG ? Apakah jika diijinkan masuk ke kampung tersebut dengan melintasi portal penyemprotan desinfektan lalu status OTG bisa berubah penjadi orang dalam pemantauan (ODP) atau langsung menjadi normal ?
Jika orang OTG tsb diperbolehkannya masuk ke kampung itu artinya kampung tersebut sudah kemasukan virus corona covid 19, bukan ? Lalu apa manfaatnya melakukan penutupan jalan tersebut dalam rangka protektif mencegah virus tsb ? Itulah tindakan kesia2an yang justru menimbulkan kekisruhan psikologis dan sosial di masyarakat.
Bsgaimsna Jika petugas penjaga gang/ jalan ini melarang orang OTG pulang ke rumahnya untuk isolasi mandiri ?
Nah...ini justru para penjaga dan penanggung jawab kebijakan (RT/ RW atau dukuh) bisa terjerat dalam tindakan melawan hukum UU karantina wilayah, sebagaimana kasus warga di Kabupaten Ungaran menolak pemakaman seorang perawat dari RS Kariadi Semarang yang meninggal akibat covid 19 di kampungnya, yang justru akhirnya ketua RT, RW dan anggota masyarakat nya yang terlibat akhirnya masuk penjara dan diproses hukum. Coba cermati jika pihak penjaga menolak orang OTG masuk ke rumahnya (kampung) tsb untuk menjalani isolasi mandiri perintah dari RS dan dinas kesehatan maka para penjaga yang melarang jelas terjerat Pasal 14 UU 4/1984 yaitu mengancam bahwa:
Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pelanggaran.
Saudaraku yang saya cintai, penutupan jalan kampung dengan penjagaan ini sesungguhnya sangat tidak tepat dan justru bisa menjadi sumber penyebaran virus corona sebab, tempat penjagaan ini justru banyak menjadi ajang berkumpulnya warga untuk ngumpul-ngumpul ngombyongi ikut2an berada di pos penjagaan dengan posisi saling berdekatan sambil bermain kartu, nyanyi nyanyi gitaran, sambil merokok, tanpa mengindahkan pemakaian masker, kita tidak akan pernah tahu latar belakang aktivitas mereka yang bisa jadi membawa virus dari luar sebelum kumpul-kumpul di pos penjagaan portal, .kondisi semacam ini sebenarnya jika Kabupaten/ atau Kota tersebut diberlakukan PSBB maka kondisi ini sudah masuk kategori tindakan melawan hukum pasal 14 UU no 4 tahun 1984 karena kealpaan tidak melakukan social distancing atau physical distancing sebagai upaya penanggulangan wabah.
Saudaraku...marilah kita bersikap dan bertindak dengan ilmu yang benar dan tepat, jangan sampai merugikan diri kita sendiri atau orang lain.
Melihat uraian di atas prinsip apa yang harus dilakukan agar pandemi covid 19 ini cepat berakhir ?
1. Jaga kebersihan diri dan lingkungan untuk selalu sering cuci tangan pakai sabun.
2. Pakai masker saat keluar rumah.
3. Physical distancing dan social distancing saat di area publik.
4. Lebih baik di rumah jika tidak ada keperluan yang mendesak.
5. Jangan menambah keresahan dan kesan mencekam di masyarakat dengan menutup akses gang/ jalan agar tidak menambah beban masyarakat yang justru berakibat menurunya imunitas mereka. Waspada baik, paranoid jangan.
Demikian, semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
Sleman, 26 Mei 2020.
Comments
Post a Comment