SISI PANDANG LAIN MELIHAT SESUATU YANG KELIHATANYA BENAR PADAHAL...

SISI PANDANG LAIN MELIHAT SESUATU YANG KELIHATANYA BENAR PADAHAL....

Oleh : Mardigu Wowiek

Melihat daftar hutang BUMN jatuh tempo tahun 2020 merinding saya. Saya list yang besar besar dulu, Telkom 53 triliun, krakatau steel 15 triliun, kimia farma 7 triliun, wika, adhi karya, PP, waskita di jumlahkan 130 triliun, garuda indonesia 45 triliun sisanya saya malas menjumlahkan.

Lalu PLN punya hutang 600 triliun, dan disini kita punya perbedaan cara pandang dari sisi APBN. Entah bagaimana mungkin saya ini orang bodoh. Saya mengatakan bahwa hutang BUMN adalah hutang negara. Aset BUMN adalah aset negara.

Sementara dalam posture APBN hutang BUMN di masukan sebagai hutang koorporasi, atau hutang perusahaan. Sehingga secara ratio, hutang kita aman jika di sandingkan dengan PDB.

Bagi saya ini akal akalan.

Karena boleh lah menganggap hutang BUMN adalah hutang perusahaan, tetapi kalau DEFAULT atau gagal bayar, apakah NEGERA BAYARIN ngak?

Tidak? Ok saya ulangi kalau PLN gagal bayar apakah negara bayarin? atau tidak? Sekali lagi sang ibu mengatakan TIDAK AKAN MENAGGUNG default hutang BUMN.

Ok, lalu lender PLN nagih PLN dan PLN tidak bisa bayar, Negara tidak bayarin, APBN tidak bayarin, maka PLN akan di sita oleh lendernya, katakanlah oleh lembaga keuangan global, lalu Assetnya PLN diambil, BENER KAH NEGARA tetap tidak mau bayar?

Sekarang PLN di ambil oleh asing yang telah meminjamkan duitnya, karena negara gak mau bayar, RASANYA TIDAK MUNGKIN. Karena itu induknya BUMN adalah negara, maka pasti bayar dan pasti masuk APBN.

Makanya pasti. HARUSNYA hutang BUMN dimasukan kedalam APBN. Jujur , bagi saya pribadi, kalau bener pengelolaan keuangan negara mau jujur, BUMN adalah milik negara, masukan hutang BUMN kepada APBN, juga berikut asetnya.

Inilah yang membuat saya jauh- jauh hari menyatakan ketidak setujuan saya terhadap NEGARA BERBISNIS. BUMN sebaiknya BUKAN KEMENTRIAN!!!!

Yang kedua yang bikin saya mangkel lagi adalah urusan konawe dan morowali yaitu tambang nikel di sulawesi tengara.

Memang di WA akhir akhir ini ada tulisan beredar seakan dari mantan menteri dulu, senior yang memuji pertumbuhan ekonomi wilayah tambang nikel, ada 50.000 tenaga kerja indonesia di sana, dimana tenaga kerja asingnya dari tiongkok hanya pekerjaan konstruksi. Investasi tumbuh dan pendapatan daerah tumbuh. Begitulah dia menulis.

Tadi nya saya mau diam saja, tetapi kok sepertinya jadi kayak “bener” gitu. Ya terpaksa kita buka bukaan lagi.

Pertama saya minta izin dulu, urusan tambang jangan ragukan pengetahuan saya walaupun hanya sedikit namun dua perusahaan tambang saya CaOH2 (calsium hydroxide) dengan kapasitas 100 ton perhari adalah sebuah pengalaman panjang sejak tahun 1996.

Kemudian pabrik lithium kecil belum skala komersial, namun cukup buat memahami apa itu dunia pertambangan, smelter hingga proses pemurnian sampai finish produk.

Pertanyaan pertama, apakah smelter nikel konawe itu sampai pada tingkat finish produk ATAU hanya merupakan aktivitas untuk pembersihan IMPURITIES saja?

Maksudnya?

Menurut saya Smelter model seperti NPI (Nickel Pig Iron) itu AKAL AKALAN TIONG KOK, BANCI, bener, mesin banci! hanya membuang silikat dan unsur-unsur pengotor lainnya yang tidak memiliki nilai ekonomis.

Namun, Nikel, Ferro, Lithium dan mineral rare earth lainnya dalam fraksi yang sangat kecil tetap tidak terbuang.

Masih terkandung didalam Logam Raw Nickel ini. Saya katakan Raw (mentah) karena by all standards kadar Nikel di dalam NPI ini sangat rendah jika kita menggunakan bench mark produk ferro nickel sebagai standard.

Sementara yang di bayar dari produk NPI (nikel pig iron) ini hanya persentase kandungan unsur nikel saja. Yang notabene kecil kadungannya. Sementara itu Besi ( Ferro) yang menyertainya tidak dihargai walaupun persentase kadunganya sangat besar. Tentu saja mineral-mineral ikutan lainnya pasti tidak akan dihitung, termasuk juga mineral rare earth dijual dengan gratis.

Dan INILAH ASLINYA YANG TERJADI. Indonesia kehilangan SOVEREIGN ASSET nya kalau ini dilakukan.

Ok, begini melihatnya lagi. Dan ini boleh tanya dengan seluruh ahli pertambangan mineral. Dalam setiap pemeriksaan dan analisis terkait isi atau content mineral pada setiap laboratorium uji, katakan itu sucofindo, atau lembaga asing punya standar perhitungan atas ISI KANDUNGAN material tadi.

"Selalu di hitung berdasar PPM (part permiliion) atau persen berat, dimana yang dihitung hanya mineral yang memilik ukuran tertentu dalam range yang terbaca oleh alat atau metoda pengukuran".

Sedangkan ukuran mineral yang berada diluar range serta tidak terbaca oleh alat/metoda analisis ini akan dianggap NOL, artinya tidak komersial dan tidak menguntungkan. Biasanya pakai metoda yang disebut assaying dengan pendekatan reaksi kimia atau menggunakan alat-alat tertentu lainnya melalui pendekatan fisika dengan dasar UKURAN material

Berani ngak menghitung konten material pakai edax system yang menggunakan spectrum warna? Diseluruh dunia, ketahuilah wahai pejabat yang terhormat, metoda perhitungan isi kandungan meterial SELALU MENGUNTUNGKAN PEMBELI.

Karena itu mereka TIDAK PERNAH MAU pakai sistem lain, maunya hanya menggunakan ukuran material saja sebagai dasar pengujian di laboratorium

Kita pemilik SOVEREIGN ASSET selalu di kadalin. Karena itu kalau saya sekali lagi jadi dapat mandat, TAK STOP SEMUA EKSPLOITASI MINERAL INI. Hahaha..jangan takut, ngak mungkin sontoloyo ini dapat mandat, ora minat blas, ambil tuh jabatan. Ngak pantas orang kayak saya ini.

Jadi dalam hal ini, jangan bandingkan dengan 50.000 tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sana, lalu ada investasi 20 triliun sebagai sebuah kebanggaan. Yang namanya investor duit  20 triliun itu ya harus balik. beli pejabat kalo perlu, atau ajakpejabat masuk!~!!

Namun sebuah kepastian lain adalah aset kita, mineral kita SOVEREIGN ASSET kita hilang. Karena silau dengan uang cepat.

Kalau dari pendekatan income statement, kehadiran investasi asing merupakan subjek pajak dan royalti terkesan sangat menjanjikan. Namun coba lihat dari kacamata lain, untuk setiap material seperti bijih nikel laterit ini, Jangan hanya dilihat sebagai KOMODITI DAGANG (trade commodities) coba di lihat dari kacamata MINERAL STRATEGIS.

Mineral strageis pendekatannya bukan komoditi dagang yang dicatat sebagai REVENUE dalam income statement negara, tetapi dicatat sebagai SOVEREIGN ASSET yang ada di BALANCE SHEETS negaranya.

Kalau di catat sebagai sovereign asset, manfaat nikel di morowali dan konawe bukan untuk 50.000 orang tetapi untuk 5 juta manusia indonesia. Eh lupa, tetapi pejabatnya yang jadi pengusaha ngak dapat apa-apa. maaf lanjut deh loh!

kata dia, Ya mending buat 50.000 orang lalu di bungkus propaganda agar terlihat pahlawan walau aset hilang khan rakyat ngak tahu apa apa tentang sovereign asset ini.

Rakyatnya toh masih bodoh, bahkan di kasih duit 400.000 perhari untuk nge buzzer yang kesannya beda dengan apa yang dijalankan pemerintah SERANG,  banyak yang mau tuh.

Sahabat, semoga  informasi ini bisa di fahami ya, isedikit kontribusi pemahman pandang dari sisi lain, sedikit kritis yang ada solusinya.

Sungguh, Sovereign Asset itu adalah cikal bakal SOVEREIGN WEALTH FUNDS (SWF) yang harusnya negara mainkan di tengah pandemi ini. Bukan malah MENYETUJUI UU minerba yang baru yang kemudian membuat sovereign asset kita hilang selamanya. #peace

https://www.facebook.com/100038240195877/posts/237588297525842/

Comments

Popular posts from this blog

jenis-jenis Sistem Transmisi mobil

Kudeta Jokowi Mulai Tercium Oleh Prabowo Subianto

Jumlah rakaat shalat tarawih sesuai tuntunan