Perang dengan mafia lahan hingga kebakaran

Jokowi Perang Dengan Mafia Lahan.
(Hukum dan Politik)

By Babo EJB

Setelah Pemilu dimenangkan Jokowi, kasus datang bertubi tubi. Dari kasus Papua, KPK dan terakhir masalah asap di Riau yang sudah mengganggu kesehatan warga dan mencemari udara negara tetangga. 

Saya akan mencoba mendudukan masalah ini secara hukum dan politik. Tahun lalu, Majelis hakim pada Pengadilan Tinggi (PT) Palangkaraya, Kalimantan Tengah, memvonis Presiden Joko Widodo dan kawan-kawan melakukan perbuatan melawan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Jokowi dan kawan-kawan pun diminta untuk mengeluarkan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Putusan majelis hakim PT Palangkaraya itu menguatkan putusan tingkat pertama pada Pengadilan Negeri Palangkaraya. Putusan banding dibacakan oleh Setyaningsih Wijaya selaku ketua majelis hakim dengan anggota Bambang Kustopo dan Pudji Tri Rahadi.

Saya ingin membahas sikap Hakim PT Palangkaraya itu sudah benar atau tidak. Apakah ada muatan politik ataukah murni delik hukum. Kesalahan Jokowi adalah tidak mengeluarkan peraturan pelaksana atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Benarkah? Mari kita liat sejarah UU ini. UU No.32/2009 itu dibuat atas inisiatif DPR, bukan pemerintah. Di syahkan tahun 2009. Sampai berakhir masa jabatan SBY, belum juga dikeluarkan Peraturan pelaksana. Mengapa? Pemerintah ( KLH) diberikan kewenangan yang sangat luas dalam UU PPLH ini.

Namun, KLH juga diberikan tanggung jawab besar untuk mengatur pelaksanaan ketigabelas instrumen dalam UU PPLH yang digunakan untuk mencegah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup melalui penyusunan Peraturan Pemerintah.

Ini engga mudah. Apa pasal? Karena UU PPLH ini disusun atas inisiatif DPR, bukan atas inisiatif KLH (pemerintah) sendiri, sehingga penafsiran pasal-pasalnya membutuhkan diskusi dengan berbagai pihak yang cukup memakan waktu. Kemudian Era Jokowi, keadaan itu semakin rumit. Karena penuangan pasal-pasalnya dalam Peraturan

Pemerintah (PP) juga terbentur oleh tujuan besar pemerintah yang menginginkan terciptanya iklim investasi yang ramah, termasuk juga di dalamnya PP mengenai lingkungan yang “ramah” terhadap investasi. Disamping itu beberapa “anomali” dalam UU tersebut akan mempersulit penyusunan PP yang diharapkan “galak” terhadap para perusak lingkungan hidup.

Sebagai contoh, dari ketigabelas instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang termuat dalam pasal 14 UU no. 32 Tahun 2009 tersebut, diperkenalkan instrumen baru yang tidak terdapat dalam UU PLH sebelumnya, yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang wajib dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah untuk memastikan terintegrasinya prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program (pasal 15 ayat 1 UU no. 32 tahun 2009).

Ini beda dengan analisa dampak lingkungan (AMDAL) yang disertai sanksi berat pelanggarannya, UU PPLH ini tidak mencantumkan sanksi apapun bagi pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak melakukannya. Jadi kalau Pemerintah membuat Peraturan pelaksana berdasarkan UU itu maka yang pesta pora adalah penjarah hutan dan lingkungan.

Kebakaran hutan sekarang terjadi karena lemahnya UU PPLH itu. Pasal 15 ayat 2 menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS dalam penyusunan atau evaluasi rencana tata ruang wilayah (RTRW). PP No. 15 tahun 2010 mengenai Penataan Ruang telah disahkan pada bulan Januari 2010.

Sementara Peraturan Pemerintah tentang KLHS belum ada. Apa yang terjadi? Kepala daerah berlomba lomba menyusun atau merevisi dan mengesahkan RTRW-nya. Ijin usaha baik pertambangan maupun agribisnis dalam skala luas dikeluarkan kepada pengusaha sebagai financial resource untuk kampanye Pilkada.

Nah kalau Jokowi sampai mengeluarkan PP mengenai KLHS maka itu sama saja memperkuat legitimasi ijin pertambangan dan agribisnis yang terbukti merusak lingkungan.

Dan sampai sekarang DPR belum mau merevisi UU itu. Sementara Pengadilan menghukum Jokowi mengeluarkan Peraturan Pelaksana atas UU PPLH Itu. Itu sama saja melegitimasi perampokan hutan dan lingkungan yang sedang terjadi.

Masalah pengurasan SDA tambang dan Hutan lebih parah dari MIGAS. Mafia nya sangat sistematis dan terstruktur dari semua level kekuasaan. Eksekutif, yudikatif dan Legislatif berada dalam satu orkes simponi yang saling melengkapi untuk mendapakan uang lendir dari perampok SDA dengan dampak kerusakan linngkungan yang massive.

Apa yang dilakukan Jokowi selama ini hanya tindakan moratorium dan buying time untuk menanti momentum yang tepat mengubah UU tersebut. Saya yakin di periode kedua kekuasaan Jokowi, UU ini akan di revisi.

Namun kini, serangan mafia sudah kearah ranah hukum. Targetnya adalah menjatuhkan Jokowi secara Hukum atau memeras Jokowi untuk memperkuat legitimasi atas izin tambang dan Agribisnis yang sudah dikeluarkan sesuai UU PPLH no 32/2009.

Tapi Jokowi tidak menyerah. Walau kalah di pengadilan Tinggi, dia  melakukan perlawanan hukum lewat kasasi di Mahkamah Agung. Kalaulah Jokowi lebih mengutamakan citra dan accebtabilitas dari kalangan pengusaha, maka dia akan keluarkan PP atas UU PPLH Itu tapi Jokowi tidak mengutamakan citra politik demi kekuasaan. 

Tahun 2019 bulan Juli Jokowi kalah di tingkat kasasi MA. Mafia lahan menang. Kini Asap di Riau mengepung...orang salahkan Jokowi.

Semoga Mahasiswa yang demo di Riau bisa memahami ini.

Comments

Popular posts from this blog

Tingkatkan Pengetahuan Anda! TAHUKAH ANDA?

Menyambut Ramadhan

Mencampuradukkan ajaran agama lain ke dalam Islam