Tentang REVISI UU KPK, versi Tirto
SOAL REVISI UU KPK, KITA PERLU BERADA BERSAMA MENDUKUNG JOKOWI, BUKAN MENINGGALKANNYA
=====================
Ditulis oleh : Ade Armando
Dalam kasus Revisi UU KPK, saya memilih untuk terus mendukung Presiden Jokowi. Saya memilih untuk memercayai komitmennya melawan korupsi. Saya berdoa agar kawan-kawan masyarakat sipil juga tetap percaya.
Jokowi tidak berada dalam posisi ideal. Walau dia mengatakan, dia sudah tidak punya beban dalam pemerintahan lima tahun mendatang, dia tetap harus berhadapan dengan lingkungan yang akan terus menggerogoti dia dan bersuaha mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari pemerintahannya.
Dalam kasus KPK, dia berhadapan dengan dua front yang tidak mudah.
Di satu sisi dia harus berhadapan dengan gerombolan partai politik dan para anggota parlemen yang selama ini sudah dirugikan olah langkah-langkah KPK memerangi korupsi, dengan segenap keterbatasannya.
Survei Transparency International 2017 menunjukkan lembaga yang dianggap publik paling korup di Indonesia adalah DPR. Dan KPK adalah motor utama pembongkaran korupsi di DPR dan DPRD yang levelnya bahkan sudah mencapai korupsi berjamaah, semisal korupsi E-Ktp.
Menurut catatan ICW, selama lima tahun terakhir KPK membongkar dugaan aksi korupsi 22 anggota DPR. Bahkan dua di antara mereka adalah Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan (Tiro.id, "Anggota DPR 2014-2019: Tersangka Korupsi, Minim Prestasi", https://tirto.id/dlRy)
ICW juga mencatat, 254 anggota dan mantan anggota DPR/DPRD menjadi tersangka korupsi dalam lima tahun terakhir
Pelakunya menyebar di hampir semua partai. Di Golkar ada 53 orang, diikuti oleh 34 orang dari PDIP; 34 orang dari Demokrat; 26 orang dari PAN; 22 orang dari Gerindra; 15 orang dari Hanura; 12 orang dari PKB; 12 orang dari PPP, 9 orang dari PKS; 5 orang dari NasDem; dan 2 orang dari PBB. Sisanya adalah wakil partai-partai kecil di tingkat DPRD.
Wajar kalau KPK menjadi musuh bersama partai-politik dan para anggota parlemen yang marah karena peluangnya menjarah uang rakyat dibatasi. Layak ditegaskan, yang dirugikan oleh ulah KPK bukan hanya politisi-politisi penjarah tapi juga, secara tidak langsung, partai-partai politik yang selama ini memperoleh aliran dana dari para penjarah itu.
Apalagi KPK juga punya rekaman-rekaman hasil penyadapan yang bukan saja terkait isu dugaan korupsi, tapi juga rekaman skandal seks sejumlah anggota parlemen yang memanfaatkan posisi untuk petualangan syahwat mereka.
Karena itu selama bertahun-tahun ada banyak orang DPR dan partai politik yang berusaha menghabisi KPK. Selama ini usaha mereka gagal. Banyak pihak menyangka bahwa isu Cicak vs Buaya adalah soal KPK vs Polisi. Tapi sekarang peperangannya bukan lagi soal pertarungan melawan polisi (saja) tapi terutama para anggota DPR yang korup.
Kini, mereka dengan cerdik berusaha memanfaatkan pekan-pekan terakhir sebelum masa jabatan parlemen berakhir dengan menyusupkan Revisi UU KPK, tanpa prosedur normal: tanpa tercatat dalam Program Legislasi Nasional, tanpa melalui Badan Legislatif, dan tanpa diskusi publik yang intensif. Dan kampanye pemandulan KPK ini dilakukan secara all-out, dengan kampanye intensif dari segala lini.
Posisi Jokowi sangat tidak mudah. Dia harus berhadapan dengan parpol-parpol yang selama ini menjadi koalisi pendukungnya. Yang berinisiatif menyelundupkan Revisi UU KPK ini justru adalah partai-partai besar dalam koalisi. Jokowi mungkin saja dengan nekad melawan. Tapi seberapa kuatkah dia? Saya tidak membayangkan bahwa semua orang terdekatnya di istana juga punya kepedulian yang tulus melawan korupsi. Saya tidak membayangkan dia punya kelompok sekutu yang akan secara gigih membelanya. Kadang saya berpikir, mungkin saja dia sebenarnya sendirian. Dan kalau dia memilih melawan, apa yang akan terjadi dengan pemerintahannya selama lima tahun ke depan?
Apalagi pada saat yang sama, KPK memang tidak bersih dari masalah. Isu kelompok Taliban dalam KPK memang riil. Isu bahwa ada pihak-pihak dalam KPK yang memperjualbelikan kasus juga riil. Naif untuk menganggap KPK itu hanya terdiri dari para pejuang kepentingan publik. Kondisi ini menjustifikasi gugatan bahwa KPK harus dirombak secara mendasar.
Jadi Jokowi mungkin tahu bahwa Revisi UU KPK ini sebenarnya akal-akalan para anggota parkemen dan parpol yang berusaha memandulkan perang melawan korupsi, tapi pada saat yang sama dia tahu juga bahwa KPK memang harus dibenahi. Kalau saja dia berada posisi di mana semua bisa dia tentukan sendiri dengan nasehat orang-orang yang bisa dia percaya, akan jauh lebih mudah bagi dia untuk bersikap. Tapi ini tidak begitu.
Karena itu, saya paham bahwa sikap Jokowi tentang KPK adalah kompromi maksimal yang bisa dia lakukan.
Dia setuju dengan usulan kehadiran Dewan Pengawas yang harus ditanyai dulu oleh KPK sebelum KPK melakukan penyadapan dan memiliki kewenangan untuk mengawasi kerja KPK. Tapi Dewas itu akan diisi oleh orang-orang independen (tokoh masyarakat, akademisi, pegian anti korupsi) yang akan diusulkan oleh tim independen bentukan Presiden dan akan ditetapkan oleh Keputusan Presiden.
Dia setuju KPK bisa mengeluarkan SP3 yang batasnya dua tahun setelah kasus dimulai. Dan itupun redaksinya adalah ‘bisa’, bukan wajib. Ini memang masuk di akal, mengingat KPK bisa saja menggantungkan kasus tersangka korupsi seseorang selama bertahun-tahun tanpa diajukan ke pengadilan.
Di sisi lain, Jokowi menolak usulan agar isi Dewan Pengawas adalah politisi, birokrat dan penegak hukum; usulan agar penyelidik KPK harus datang dari pihak kepolisian, usulan agar KPK berkoordinasi dengan kejaksaan dalam penuntutan; dan usulan agar SP3 sudah bisa dikeluarkan sesudah kasus berusia 1 tahun. Walau ternyata tidak ada dalam draft revisi UU, gagasan bahwa penyadapan dilakukan seiizin lembaga di luar KPK juga ditolaknya.
Adapun soal Taliban dalam KPK, tentu tidak terlalu terkait dengan Revisi UU. Namun paling tidak ada Dewan Pengawas yang bisa turut menegur KPK kalau kecenderungan Talibanisasi terus menguat. Di luar itu, keputusan Presiden tentang nama-nama yang akan menjadi komisioner KPK – yang juga kontroversial – nampaknya antara lain mengakomodasi kebutuhan untuk membersihkan KPK dari anasir-anasir garis keras tersebut.
Itu semua mungkin adalah kompromi terbaik. Pada akhirnya demokrasi memang mensyaratkan kompomi.
Karena itu, saya mengajak teman-teman masyarakat sipil yang selama ini secara gigih melawan korupsi untuk tidak kehilangan kepercayaan pada komitmen Presiden memerangi korupsi.
Korupsi harus kita lawan. Dan untuk itu kita harus berada bersama Presiden, bukan menjauh atau memilih meninggalkannya.
Kita yang berada di luar lingkar pemerintahan memang bisa dengan mudah menilai dengan kritis apa yang dilakukan Jokowi. Dan masyarakat sipil memang tidak boleh kehilangan itu. Masyarakat sipil harus terus menyuarakan gugatan-gugatannya agar perang melawan korupsi dan radikalisme terus berlangsung. Masyarakat sipil tidak boleh menjadi penjilat untuk sekedar menyenangkan hati pemerintah.
Tapi pada akhirnya, kita juga harus memiliki kepercayaan kepada apa yang dilakukan Presiden Jokowi. Saya melihat, Presiden berusaha semaksimal mungkin, dalam segenap keterbatasannya, mencari titik keseimbangan. Dia tidak dikelilingi hanya orang-orang baik. Dia dikelilingi juga oleh banyak orang jahat.
Lawan kita adalah para birokrat, politik, aparat hukum yang menjarah uang rakyat. Kita memerlukan Presiden semacam Jokowi untuk melawannya.
Sumber Foto :
https://tirto.id/anggota-dpr-2014-2019-tersangka-korupsi-minim-prestasi-dlRy
Comments
Post a Comment