Abu Jahal, Bapak Kebodohan

ABU JAHAL (BAPAK KEBODOHAN)
.
.
Meski sering mendengar nama Abu Jahal, tapi tak banyak yang tahu  tentang latar belakang Abu Jahal. Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia digelari Abu Jahal (si bapak kebodohan)?  Seberapa bodohkah dia? Pada kesempatan ini, kita akan membahas tentang siapa sebenarnya Abu Jahal.

Nama asli Abu Jahal adalah ‘Amr bin Hisyâm. Hidup dari 570 – 624 M. Sebelum Islam datang ia adalah orang yang dikenal kebijaksanaan dan kecerdasannya. Dalam usia yang masih muda, para tetua Quraisy sudah sering meminta bantuannya dalam menghadapi masalah, oleh karena itu ia dikenal dengan sebutan Abul Hakam (Bapak Kebijaksanaan). Di era sekarang, Abu Jahal bisa disejajarkan dengan sosok seorang tokoh, guru besar atau professor.

Hanya saja, semua itu berubah ketika Islam datang, kecerdasan otaknya tidak digunakan untuk membela Islam, bahkan sebaliknya, digunakan untuk memutarbalikkan fakta dalam rangka menentang kebenaran Islam. Kedudukan dan reputasinya yang sudah tinggi menghalangi dia untuk menerima Islam, ajaran yang bakalan memposisikan manusia sederajat, hanya dibedakan oleh ketaqwaannya.

Al Mughirah bin Syu’bah r.a menceritakan: “Sesungguhnya hari pertama aku mengenal Rasulullah saw. ialah ketika aku dan Abu Jahal bin Hisyam tengah berjalan kaki di sebagian gang kota Makkah. Ketika itu kami bertemu dengan Rasulullah saw.. Beliau bersabda kepada Abu Jahal, “Hai Abu Hakam, marilah menuju Allah dan Rasul-Nya. Aku menyeru kamu kepada Allah.”
Abu Jahal berkata, “Hai Muhammad, apakah kamu mau berhenti mencaci tuhan-tuhan kami? Adakah yang kamu inginkan selain supaya kami bersaksi bahwa kamu telah menyampajkan seruanmu? Maka kami bersaksi bahwa kamu telah menyampaikan (dakwah kepada kami)?. Demi Allah, seandainya aku mengetahui bahwa ucapanmu itu benar, pasti aku akan mengikutimu”
Rasulullah saw. pun pergi, lalu Abu Jahal berkata kepadaku: “Demi Tuhan, sesungguhnya aku mengetahui bahwa yang dikatakannya adalah benar, akan tetapi ada sesuatu yang menghalangiku untuk membenarkan ucapannya.”

Abu Jahal lalu menjelaskan alasannya:
Sesungguhnya Bani Qushay (kakek keempat Rasulullah) telah berkata, “al Hijâbah (mengganti penutup ka’bah) adalah milik (hak) kami.” Maka kami pun berkata, “Ya.” Lalu mereka berkata, “as Siqâyah (memberi minum jama’ah haji) adalah hak kami.”Kami pun berkata, “Ya.” Lalu mereka berkata, “An Nadwah (kepemimpinan dalam musyawarah) adalah hak kami” Kami berkata, “Ya.” Lalu mereka berkata, “Al Liwa’(panji) adalah hak kami (kami yang memegang).” Kami berkata, “Ya.” Kemudian mereka memberi makan dan kami juga memberi makan. Kemudian ketika lutut-lutut sudah saling bersentuhan (sama kedudukannya dalam kemuliaan) mereka berkata, “Kenabian ada pada kami. Demi Allah, aku tak mau mengakuinya.” [lihat al Bidâyah wan Nihayah, 3/83. Maktabah Syamilah].

Ketika nenek moyang Abu Jahal dulu berada dalam posisi dibawah nenek moyang nabi, lalu pada saat ini (masanya Abu Jahal) posisi mereka sudah hampir setara. Maka jika kenabian ada pada Nabi, maka jelas kemuliaan pada Nabi tidak bisa lagi tersaingi. Inilah yang menjadikan Abu Jahal bersumpah tidak akan mau mengikuti kebenaran yang sudah jelas baginya.

Kecerdasan, kemuliaan, bahkan gelar sebagai ‘bapak kebijaksanaan’ (Abul Hakam), dan reputasi cemerlang sebelumnya, tidaklah selalu berakibat baik. Justru hal-hal tersebut bisa ‘menghalangi’ untuk tunduk kepada kebenaran, terutama jika berhadapan dengan pembawa kebenaran yang levelnya sejajar dengannya apalagi jauh dibawah levelnya.

Begitu juga dengan gelar-gelar sekarang, tidak usah heran. Jika dulu sebelum mendapatkan jabatan, seseorang bisa mendukung dakwah, sangat bijak, track recordnya baik. Namun setelah mendapatkan posisi dan jabatan tertentu lalu berbalik menyerang dakwah.

Lalu kenapa nabi mengganti gelar ‘bapak kebijaksanaan’ (Abul Hakam) menjadi ‘bapak kebodohan’ (Abu Jahal)?  Tidak lain karena penentangannya yang sangat keji terhadap dakwah, dialah yang sering membubarkan ‘pengajian’ yang dilakukan Nabi, memprovokasi orang yang sudah cenderung menerima dakwah nabi hingga orang-orang tersebut berbalik menentang nabi, paling bernafsu dalam memboikot total Nabi, Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib.

Abdullah bin Mas’ud menceritakan bahwa ketika Nabi sedang sujud di Baitullah, kaum kafir Quraisy meletakkan kotoran unta di punggung beliau di antara kedua pundaknya, lalu mereka, diantaranya adalah Amr bin Hisyam, tertawa-tawa dan mengolok-olok.

Dalam keadaan sujud, beliau tidak mengangkat kepalanya hingga datang Fatimah. Fatimah lalu membersihkan kotoran itu dari punggung beliau, setelah itu baru Rasulullah mengangkat kepalanya seraya berdo’a, diantara yang beliau ucapkan:
اللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِأَبِي جَهْلٍ …

“Ya Allah, aku serahkan (urusan) Abu Jahal kepada-Mu (HR. al Bukhary).

Adakah orang yang digelari ‘bapak kebijaksanaan’ sanggup melakukan hal sekeji itu?. Jika seseorang tidak mau menerima sesuatu karena tidak tahu, mungkin dia hanya disebut ‘bodoh’ saja. Jika dia tidak tahu, lalu tidak mau diberi tahu karena merasa dirinya lebih tahu, lalu menghalangi orang lain agar orang lain juga tidak tahu mungkin dia hanya disebut jahil murokkab (bodoh berlipat-lipat).

Namun seseorang yang sebenarnya dia tahu akan kebenaran, tahu resikonya ketika menolak kebenaran, tetapi dia tetap menolak kebenaran tersebut, menentang, menghalang-halangi, memprovokasi, bahkan memerangi orang yang menyampaikan kebenaran tersebut, maka dia bukan sekedar bodoh, namun sudah menjadi ‘bapak kebodohan’ itu sendiri.

Demikianlah Abu Jahal, penentangannya kepada Nabi akhirnya menghilangkan sikap bijaknya, bahkan menghilangkan kecerdasannya. Syaithan telah menghiasi kejelekannya sehingga dia melihat perbuatannya tersebut sebagai perbuatan terpuji, hingga dirinya merasa sebagai pembela kebenaran, pembela nilai-nilai luhur nenek moyang dan layak mendapatkan ridha Allah SWT! **

*Diolah dari tulisan Ust M.TaufikNT

Comments

Popular posts from this blog

jenis-jenis Sistem Transmisi mobil

Kudeta Jokowi Mulai Tercium Oleh Prabowo Subianto

Jumlah rakaat shalat tarawih sesuai tuntunan