Refleksi bom bali, dan bali pulau maksiat

Foto ini bukan Suriah
Bukan pula Afganistan

Foto ini diambil sehari setelah peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002.

Bali
Tempat aku dilahirkan
Tempat aku tumbuh dan dibesarkan
Tempat aku menuntut ilmu dan belajar tentang cinta dan kasih sayang

Dan aku tak sendiri
Ada jutaan warga yang lahir, hidup dan bekerja mengais rejeki di pulau ini.

Bali adalah rumah kami.
Kami hidup damai berdampingan.

Dan malam itu rumah itu porak-poranda bersama lonceng kematian dan tangis mereka yang kesakitan.

Sekitar pukul 22.00 11 Oktober 2002, bersama 3 sepupuku kami mengantarkan sahabatku yang baru saja tiba dari Jakarta.

Usai makan malam kamipun menyusuri Seminyak hingga tiba di Legian, aku menjadi supir mereka.

Dalam kemacetan ditemani dentum musik dari restaurant dan klub disepanjang jalan sahabatku nyeletuk,”Kita ke bar itu yuk,” sambil menunjuk ke Sari Club sebuah Restaurant sekaligus klub malam yang penuh dengan wisatawan.

Kujawab,”Tempat itu untuk turis saja, kita cewek lokal gak enak masuk kesana dan sepertinya juga gak boleh.” Dan kamipun memutuskan melanjutkan perjalanan hingga ke Jalan ByPass sebelum kembali pulang. 

24 Jam kemudian, wajah Legian yang ceria berubah menjadi lubang mengerikan.

Bangunan hancur. Dentuman ledakan itu terdengar hingga radius belasan kilometer. 202 tewas mengenaskan, ratusan terluka bahkan cacat seumur hidupnya.

Keesokan hari jam 6 pagi, kami berlima memutuskan untuk datang. Garis polisi dari jarak ratusan meter terpasang. Potongan tubuh berserakan diantara kendaraan yang hangus terbakar. Bau gosong dan jasad berwarna hitam bertumpuk disudut toko yang biasa kukunjungi.

Pertahananku runtuh
Aku terduduk lemas di trotoar jalan.
Hatiku hancur lebur.

Terngiang satu pertanyaan di pikiranku,” Bagaimana Bali setelah tragedi ini ?”

Salah satu korban selamat adalah teman baikku yang berada disana saat menjemput keponakannya.

Wajahnya hancur, sekujur tubuhnya meleleh terbakar. Masih terngiang pagi itu saat aku menengoknya dirumah sakit dan dia berkata,”Amy, ambilkan aku kaca, panas sekali Amy apa yang terjadi Amy mana kaca Amy apa salah kita Amy ?”

Air mata kami bercucuran dan sambil mengipasi wajahnya dan menahan isak tangis aku berkata,”Sabar ya sayang, nanti kita jalan-jalan lagi, kamu pasti segera sembuh.”

Puluhan operasi dijalaninya. Wajah manisnya telah kembali namun trauma itu tak juga kunjung pergi.

Hingga hari ini.
Setiap kami berjumpa, tak banyak yang kami ucapkan. Hanya pelukan begitu erat dan air mata kembali bercucuran.

Bagaimana dengan Bali ?
Perekonomian Bali porak poranda, pariwisata yang selama ini menjadi salah satu sumber utama pemasukan Bali menurun tajam begitu juga sektor-sektor yang berkaitan didalamnya.

Namun Bali kuat.
Masyarakatnya yang memegang teguh ajaran Dharma dan keikhlasan berserah pada Yang Kuasa. Mereka bangkit dari keterpurukan dan menata kembali tanah kelahiran mereka yang porak poranda.

Disaat mulai pulih, 1 Oktober 2005 Bali kembali diguncang ledakan bom.

Bali yang dikenal sebagai pulau yang menghormati toleransi dan keberagaman kembali runtuh berkeping

Apakah kami marah ?
Tentu saja.
Apakah kami berduka ?
Luka yang belum pulih itu kembali terbuka menganga
Tapi kami berserah.
Kami percaya cobaan yang kami terima adalah untuk menguatkan dan mendewasakan kami.

Dan kami melanjutkan hidup kami.

Bencana alam, tragedi kemanusiaan dan kerakusan segelintir manusia tak meluluhkan kami. Dharma dan kasih sayang adalah dasar dari setiap pikiran perkataan dan pernyataan kami.

Bali mendunia.
Bali dijuluki Morning of The World oleh Jawaharlal Nehru saat kunjungannya di tahun 1954.
Bali menjadi rumah bagi anak bangsa dari seluruh nusantara.

Dan jika bukan kita yang menjaganya, siapa lagi ?

Bali pernah berduka
Stigma bahwa Bali adalah pulau maksiat membuat segelintir manusia tak bertanggung jawab merasa berhak memutuskan bahwa kami harus “dibersihkan”. 

Dan stigma itu kembali menguak ke permukaan, diucapkan oleh anak sebangsa yang kemungkinan besar tak mengenal kami namun mencap seisi pulau kami sebagai sarang pelacuran.

Aku tak akan membiarkan tanah kelahiranku kembali menjadi sasaran kekejian kalian, menjadi olok-olok dengan cemoohan dengan pemikiran picik kalian yang akhirnya mengundang mereka yang tak paham kemudian membenarkan.

Aku akan terus bersuara walau langit runtuh.

Karena caraku bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan yang telah menempelkan nyawa itu ke ragaku adalah dengan jalan menjaga martabat tanah kelahiranku dan seisinya.

Ketjup Sayang, Niluh Djelantik

Comments

Popular posts from this blog

jenis-jenis Sistem Transmisi mobil

Kudeta Jokowi Mulai Tercium Oleh Prabowo Subianto

Jumlah rakaat shalat tarawih sesuai tuntunan