Berusaha untuk berubah, sesi parenting
Allah Akbar Allah Akbar Allah Akbar… Laa ilaa ha illallah Allahu Akbar
Allah Akbar walillahil hamd.
Buat teman teman di grup ini yang muslim, izinkan kami mengucapkan
Selamat merayakan Idul Adha 10 Dhulhijjah 1437 H.
Mohon maafkan kami sekeluarga besar, lahir batin.
Semoga Allah menerima bukan saja qurban dan puasa Arafah kita semua, tetapi juga semua yang telah teman teman korbankan untuk mengasuh si buah hati dengan sebaik mungkin. Semoga Allah menghadiahkan akhir yang baik dan menyenangkan dari semua usaha tersebut di dunia dan akhirat. Semoga Allah kumpulkan kita di syurga firdausNya bukan saja dengan pasangan, orang tua, kakek nenek , anak dan cucu cicit kita tapi juga hamba hambaNya yang shalih – Amin.
Tega ..
Tega saya pilih menjadi topik yang ingin kita bahas kali ini, karena semakin banyak saya menemukan orang tua yang tega dalam dua bentuk.
1. Ortu yang Tega atau abai benar sama anak anaknya.
2. Ortu yang justru tidak mampu Tega sama sekali terhadap anak anaknya .
Kelompok yang pertama adalah mereka yang benar benar membiarkan diri mereka tidak sempat baik secara fisik, emosional dan spiritual memenuhi kebutuhan anak anak mereka. Biasanya berbagai rationalisasi digunakan untuk membuat apa yang mereka lakukan jadi sesuatu yang logis dan pantas untuk diterima.
Teganya mereka terhadap anak anak mereka sendiri sehingga membuat anak anaknya tidak mendapatkan kelengketan, kasih sayang dan perhatian yang sepatutnya mereka terima. Setiap hari Allah, sejak bayi lahir, hidup sudah tergesa gesa, bukan hanya ortu yang tergesa gesa tapi mereka juga menggesa gesakan hidup anaknya. Mulai dari bangun pagi, tergesa2 sekolah, tergesa gesa pakai baju, makan, berangkat sekolah,beribadah, pergi les, mengerjakan tugas2 dirumah termasuk Pe Er dan sejublek hal lainnya.
Umumnya juga tugas tugas pengasuhan, penyediaan kebutuhan, pendampingan dan bimbingan terhadap anak di “subkontrakkan “ ketangan orang orang lain, yang sudah tidak perlu dirinci siapa saja.
Mudah sekali pengasuhan anak berganti ganti tangan dan berganti ganti jiwa. Bisa dimaklumi bila anak tidak mendapatkan konsistensi dalam berbagai hal yang disebutkan diatas.
Dalam keadaan seperti ini, yang biasa terjadi adalah peran ayah dan ibu juga tidak tersepakati dengan baik. Ortu mudah terjebak dalam pemahaman lama bahwa: Ayah mencari nafkah, ibu mengasuh anak. Lupa bahwa ibunya juga tidak sempat dan mampu melakukannya. Ayah tak sengaja “habis” dengan ikhtiar mencari nafkah dan upaya memenuhi hajat hidup keluarga….
Apalagi kalau ayah dulunya juga memiliki model ayah yang juga pekerja keras, sehingga tidak sempat terlibat dan bicara dengan anaknya, dingin dan berjarak.. abis deh.
Jadilah anak anak ini anak anak yang : “berayah dia ada berayah tiada” dan “beribu dia ada beri bu tiada”
Ayah terutama lupa, bahwa nanti di hari akhir, setelah masalah keimanan dan ibadahnya, beliau akan ditanya Allah tentang kepemimpinan dan tanggung jawabnya terhadap keluarganya khususnya istri dan anak anak nya. Mau jawab apa kira 2?.
Lanjutan dari keadaan ini adalah anak anak yang dibesarkan tanpa Tujuan Pengasuhan yang jelas. Main sepak bola saja jelas ada Gawangnya, kemana semua usaha di fokuskan untuk mencetak goal, masak mengasuh anak manusia tidak ada Goalnya?. Tak heranlah kalau pengasuhan tak punya prinsip, mudah hanyut dalam arus bagaimana orang banyak sekitar kita mengasuh anak mereka. Ber ‘Hape’ anak orang ber Hape anak kita, main Games keren anak orang main games itu pula anak kita…dst nya
Komunikasi jadi se’ada’nya, ‘sepenting’nya, ‘sedapat’nya dan kadang kadang menerapkan prinsip ekonomi : Pendek, efektif , efisien dan cepat dapat hasil..
Ada dua hal penting yang hilang dari kebiasaan komunikasi dengan anak seperti ini :
1.Ortu tak sempat membaca bahasa tubuh anak yang mungkin sudah dikirimnya lebih banyak dari jumah sms yang diterima ayah dan ibu setiap hari. Dan karena itu ortu abai dan tak punya waktu untuk mendengarkan PERASAAN ANAK.Ini yang kita sering lupa bahwa perasaan itu untuk seseorang sangat penting. Bila perasaannya diterima dia merasa seluruh dirinya diterima. Kalau perasaannya ditolak, seseorang akan segera merasa seluruh dirinya ditolak. Jadi bayangkanlah kalau sudah pra remaja saja bagaimana jauhnya jarak terentang anatar ortu dengan anaknya yang rasanya sudah tak bisa diukur dengan kilometer.
2.Karena umunya tidak ada waktu untuk dialog, anak tak memiliki kemampuan untuk Berfikir mengenai dirinya sendiri, apa yang benar dan salah, baik dan buruk, hala dan haram dll , sehingga tak memliki kemampuan mertimbangan dalam Memecahkan Masalah apalgi Mengambil Keputusan. Ini yang di YKBH kami sebut kemampuan BMM = Berfikir, Memilih dan Mengambil Keputusan.
Dalam pengasuhan dengan bentuk Tega no 1 ini, umumnya pendidikan agama juga “gak kepegang” oleh orang tuanya. Makanya orang tua bekerja keras untuk bisa membayar uang pangkal dan uang sekolah sehingga harapan bisa digantungkan sepenuhnya ke sekolah sekolah yang “beragama”. Kalau dirasa kurang, maka seperti mata pelajaran lainnya, panggillah guru les kerumah dan kalau kurang juga lagi, dari pada anak jadi mudah terpengaruh dengan lingkungan luar yang semakin “ganas”, anak masukkan ke sekolah boarding atau pesantren.
Tidak ada yang salah dengan pilihan itu, hanya saja pertanyaan yang mendasar adalah : Bukankah anak itu amanah dari Sang Maha Pencipta pada kedua ortunya ? Jadi pertanggungan jawab ortu pada pemberi amanah bagaimana kalau semuanya di sub kontrakkan?. Bagaimana dan kapan mewujudkan tanggung jawabnya dan bagaimana pula menjawab pertanyaan sang Pemberi amanah nantinya ?.Emang bisa terhidar dari situ dan bisakah yang memberikan jawaban adalah orang orang pada siapa anak kita, kita subkontrakkan ?...
Bila agama saja tidak kepegang, apalagi persiapan anak memasuki usia baligh atau pubertasnya. Ortu selalu punya alas an bahwa mereka pikir belum waktunya hal itu dibahas dengan anaknya. “Masih kecil!” . Lupa hari berganti minggu , minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun dan tahun cepat sekali. Secepat perubahan dan tantangan yang ayah dan ibu hadapi di pekerjaannya . Ayah beli baju dan sepatu yang cepat sekali sudah sempit tapi ayah dan ibu terlupa bahwa bertambahnya tinggi dan besarnya tubuh anak menunjukkan juga bahwa mereka akan jadi pribadi dewasa secara tiba tiba. Dengan gizi yang baik dan rangsangan yang “dahsyat” disekitarnya, terutama di hape dalam genggamannya, rumah wifi/ atau warnet dekat rumah, games tersedia, program TIVI yang luar biasa buruknya apalagi ketersediaan program tak layak bagi anak dari TV berlangganan, serta games yag disediakan ortu, membuat anak baligh dalam usia lebih muda. Anak perempuan usia 9 tahun dan lelaki 10- 11 tahun. Mereka ? : SEXUALLY ACTIVE !, tanpa bekal sama sekali dengan semua kondisi diatas yang membuat jarak antara ayah ibu dan anak tak dapat diukur dengan kilometer.
Sudah pasti ayah dan ibu tak sempat memberikan penjelasan, bimbingan , pengarahan, pendampingan dan menyampaikan ketentuan agama dalam hal penggunaan gadget dan fasilitas lainnya yang disediakan atas dasar cinta dan kepedulian.… Anak dengan mudah mengakses dan tenggelam dalam kegiatannya di dunia maya. Bersentuhan dengan pornografi, mungkin sudah pada tahapan kecanduan, berbagai bentuk kekerasan, judi online dan berjuta hal buruk dari sosmednya yang tak mungkin bisa terpantau lagi oleh ayah dan ibu.
Wajar kan? kalau ayah dan ibu tiba tiba shock, speechless dan sudah tidak tahu harus berbuat apa bila anaknya tiba tiba diketahui atau ditemukan melakukan hal hal yang tidak masuk akal? Bahkan mengerikan?.. Bisakan mereka menjadi pelaku dan sangat bisa jadi korban? Naudhubillah
Ayah ibu lupamereka mengasuh anak di Era Digital. Sama sekali berbeda ketika mereka dibesarkan dahulu oleh kedua orang tuanya!.
“Sesal dahulu pendapatan sesal kemudian apa gunanya?”, kata pepatah lama yang sudah jarang sekali dipakai dewasa ini. “Ambil abu!” kata pepaah lain pula.
Semua karena TEGA dan ternyata ayah ibu : Se TEGA TEGAnya…!
Kelompok Tega yang kedua, berdasarkan pengamatan dan kajian kami di YKBH banyak sekali berkaitan dengan masa lalu kedua orang tuanya, dan juga karena kekurangan ilmu dan kebijaksanaan.
Kami sering menyebut kelompok ini dengan istilah sebagai kelompok ortu yang memiliki :DENDAM POSITIF”
Dulu hidup susah atau “keras” benar, Getir !. Beli buku saja susah, seragam cuma dua: cuci satu pakai satu. Buku tulis saja pake bekas orang, kalau ada halaman yang belum terisi. Ganti sepatu harus berjuang untuk kerja dulu.apalagi uang jajan dan beli atau punya mesin tik dan sepeda sepeda motor!.
Orang tua seperti inilah yang jadi gak bisa dan mampu TEGA sama anaknya. Apalagi kalau melihat sepupu atau teman anaknya sudah punya sesuatu yang anaknya belum punya .
“Suami saya sih bu, yang selalu belikan hape baru dan games yang paling mutakhir utk anak kami”, keluh seorang ibu yang sadar benar apa yg dilakukan suaminya keliru.
“Hmm ..sejauh apa ibu sudah memperingatkan beliau?’ Tanya saya dengan nada datar.
“Heeeuh .. sudah capek bu. Malah suami saya bilang sama saya:’ Biarin saja sih, mah sudahlah dulu aku susah banget hidupnya, sekarang aku bekerja keras terutama agar anak anak kita tidak mengalami apa yang aku rasakan dulu. Bagian mananya sih yang mama nggak ngerti, kenapa jadi menentang terus sih ?”.
Ayah dan ibu yang gak Tegaan ini lupa bahwa dari ketiadaan dan kekerasan hidupnya dimasa lalu itulah banyak sekali dasar dasar keberhasilan dan kesuksesan yang sekarang diraihnya itu, mereka peroleh dari kesulitan dan perjuangan hidup yang dulu mereka hadapi dan jalani.
Kalau sekarang mereka memenuhi Dendam positifnya terhadap anaknya , apa yang mereka dapatkan?. Mereka menghadapi anak yang bermasalah dan karenanya perlu membawa anaknya ke psikolog!
Wajarlah anak menjadi kurang sensitif, maunya maunya dan harus dapat, “demanding!” suka menuntut!, tak perduli keadaan orang tuanya sedang ‘ada’ atau ‘tiada’, keras kepala, susah diajak ngomong apalagi berunding, dan umumnya berkaitan dengan dampak buruk teknologi yang sudah tak bisa dikendalikan dari adiksi gadget sampai adiksi masturbasi dan hal buruk lain yang tak pantas ditulis disini.
Selain orang tua lupa bahwa dia berhasil sekarang karena dia struggle dulu, mereka juga lupa bahwa seseorang tidak akan menghargai keberhasilan kalau tak pernah merasa gagal, tak menikmati kesenangan kalau tak pernah susah, tak menghargai sehat kalau tak pernah merasakan gak enaknya sakit dsbnya..
Hal lain yang orang tua suka gak kepikiran adalah bahwa hidup ini tidak seperti yang dia harapkan atau bayangkan terus.
Kita mengasuh anak kita kan untuk dia mampu hidup terpisah, mandiri dan sukses tanpa kita? Dan mungkin mereka akan menuntut ilmu bukan dikota bahkan di negeri yang kita tinggal? Ada kemungkinan besar bukan? anak kita akan keluar negeri, apakah itu dengan dana orang tua ataupun meraih bea siswa?. Apakah semua fasilitas itu akan kita adakan juga disana?
Selain itu emangnya kita sebagai orang tua hidup terus? Kaya terus ?.
Bukankah Allah telah memperingatkan kita berkali kali , a.l : Wa tilkal ayyamuuna nuda wiluha bainan Nas? “Dan akan aku gilir gilirkan hari itu diantara kamu”. Iya kalau lagi diatas, bagaimana kalau kita lagi digilir Allah untuk berada dibawah? Dan itu bisa sangat tiba tiba? Bagaimana dengan anak kita ?.
Huh.. banyak sekali saya menghadapi kasus kasus seperti ini, yang tidak disangka sangka dan tidak diantisipasi oleh orang tua akan terjadi perubahan mendadak. Akibatnya ? naudhubillah berdampak sampai ke cucu2nya!.
Jadi teman teman, kalaulah saya lihat kebelakang sepanjang 38 th hidup kami membesarkan anak anak kami baik didalam dan diluar negeri, kami bersiteguh untuk sering kali TEGA , bahkan kadang kadang SETEGA TEGANYA pada anak anak kami. Semua tentunya didasarkan pada ketakutan pada Allah meninggalkan dibelakang kami anak anak yang lemah dan tidak sejahtera .Walaupun sesaat setelah melakukannya terutama saya, sering sekali menangis ditikar sembahyang saya atau di pinggir tempat tidur kami.. Berdoa….
Saya tidak pernah lupa, pertama sekali saya melihat pak Risman menangis setelah 10 menit meninggalkan sulung kami diasrama yang jaraknya hanya 30 menit dr rumah yang kami tinggali di Tallahassee, Florida. Keputusan sudah dibuat bersama, persiapan mental spiritual disiapkan berminggu minggu sebelumnya, positif negative sudah dibahas untuk sulung kami mengikuti sebuah program yg mengharuskannya tinggal diasrama bersama anak anak Amerika semuanya, dimana dia satu satunya orang asing. Program ini harus diikuti sebagai satu satunya alternatif yang bisa menambah kredit yang dibutuhkan anak kami untuk lulus lebih cepat dari teman sekelasnya, karena kami mau pulang ke Indonesia. Ketakutan pada Allah akan sesuatu terjadi pada anak kami yg remaja itu dengan bebasnya anak remaja disana bergaul itulah yang membuat ayahnya menangis.
Apa yang ingin saya sampaikan adalah, kita selain berusaha sekuat mungkin memenuhi kebutuhan fisik jiwa dan spiritual anak anak kita, kita juga harus berani TEGA, karena Allah. Kitalah yang diberi bibit yang kemudian tumbuh menjadi anak, maka kitalah babysitternya Allah.
Bukankah Rasul kita Muhammad saw telah mencontohkan bagaimana ketika beliau sedang sujud dalam salah satu sholatnya beliau membiarkan cucunya bermain dipundaknya sampai puas?. Sehingga sahabat sahabat beliau mengira ada Jibril datang membawa wahyu, saking lamanya?.
Apa yang bisa kita petik dari tauladan kita tersebut ? Didalam sholatnya saja ketika beliau menyembah Allahnya, Rasul kita berusaha memenuhi kebutuhan cucu beliau, pada saat mereka butuhkan dalam jumlah yang cukup!. Bagaimana dengan kita?
Sudahkah kita penuhi kebutuhan kebutuhan dasar jiwa dan spiritual anak kita, bukan hal yang bersifat fisik dan kemanjaan saja, pada saat yang tepat dan jumlah yang cukup?.
Kita tidak tahu bagaimana hidup kedepan, apalagi dengan persaingan yang sangat keras seperti sekarang ini dan dahsyatnya dampak negative dari teknologi. Kalau tak berani membiarkan atau Tega pada anak, memberikan mereka kesempatan “deal” dengan masalah, memecahkan dan mengambil keputusan untuk dan atas nama mereka sendiri dengan cara yang benar dan diridhai Allah, bagaimana mereka akan mampu menghadapi dan menjalani hidup mereka dimasa depan? Mana modalnya?!.
Saya teringat benar, bagaimana kami belajar tega membiarkan anak anak travel sendiri mula mula antar kota sebelum antar negeri. Itupun dimulai dari kereta api biasa dan bis antar kota. Naik ke kelas: pake travel atau kereta bisnis. Lalu kalau sudah berhasil dan tidak mengeluh baru naik kereta kelas argo. Terakhir baru naik pesawat!. Dan gak turun lagi kekelas kereta yang bareng ayam dan kecoa…
Kalaulah kami dulu tidak berusaha memenuhi kebutuhan anak anak kami sebaik yang kami bisa dan tidak berani tega pada mereka dalam banyak, bagaimanalah kini mereka menjalani kehidupan berkeluarga?. Satu di KL, adiknya berjarak 3 jam tempuh untuk bersua dengan kami, yang bungsu menjadi penduduk Madinah?.
Tinggallah kami, berbuka puasa dan sholat Idul Adha berdua saja. Dihari tua ini kami yakin,dan merasa aman,Insha Allah mereka mampu menjalani hidup mereka apa adanya, karena sudah mereka ngalamin hidup yang bersusah susah…
Dalam rangka Idul Adha ini, marilah kita belajar dari nabi Ibrahim. Karena Allah, beliau tega meninggalkan istri dan anak beliau di sahara, jangankan ada pohon, rumput saja tak tumbuh dan air setetes tiada. Sesekali beliau tengok, dan tinggal bersama. Ketika anaknya remaja, Nabi Ibrahim diperintah Allah untuk menyembelih pula anaknya. Ke Tegaan pada tingkat yang tak ada kata kata bisa melukiskannya.
Bukankah ketaqwaan kepada Allah dan keridhaan menjalani hidup yang sulit yang antara lain menghantar Ismail menjadi nabi?.
Selamat berjuang teman teman, selamat meraih kemenangan dan kebahagiaan di hari tua..
Yakinlah kita bisa, kalau kita mau berubah dan berusaha!
Insha Allah!
Bekasi, dini hari Iduo adha 10 Dzulhijjah 1437 H
#Parenting di Era digital
#Elly Risman.
Silahkan share bila dianggap bermanfaat.
Comments
Post a Comment