Penangkapan advokat tanpa prosedur hukum

Masihkan Negeri ini Bertuan?

Pierre Suteki

Di negara hukum seharusnya HUKUM yang menundukkan POLITIK. Bukan sebaliknya POLITIK menundukkan HUKUM. Jika HUKUM ditundukkan oleh kemauan POLITIK maka tunggulah AMBYAR-nya negeri ini.

Terlepas dari persetujuan saya terhadap konten artikel di bawah ini, saya sebagai Guru Besar Hukum merasa TERTAMPAR WAJAH saya ketika menyimak muhasabah seorang LAWYER yang diposisikan sebagai PENEGAK HUKUM namun memperoleh perlakuan yang seolah terjadi bukan di negara yang menjunjung tinggi hukum. Agar keadaan ini tidak terulang dan berulang lagi di masa depan, sebaiknya PERADI atau AAI atau apa pun nama organisasi Advokat bersatu menyampaikan SOMASI atau PROTES kepada KAPOLRI yang tembusannya disampaikan kepada:

1. PRESIDEN
2. KOMPOLNAS
3. KOMNAS HAM

atas dugaan ketidakpatuhan Polri terhadap SOP penangkapan dan penetapan tersangka kepada seorang advokat yang sama-sama sebagai penegak hukum. Mungkin ada yang tidak benar dalam praktik penegakan hukum di negeri ini yang harus segera dibereskan. Jika tidak, negeri ini akan makin mendekati jurang kehancuran karena penegakan hukum makin menjauh dari pencapaian keadilan. Dan ingatlah hukum yang tidak adil sejatinya bukan hukum (lex injusta non est lex: Thomas Aquinas).

Kesamaptaan berbenah harus dilakukan di semua jenjang sistem peradilan dan dimulai dari jenjang garda terdepan, yaitu POLISI. Upaya itu kita lakukan agar kita tidak terus dihantui dengan pertanyaan:

Inikah negara Hukum Pancasila itu, dan masihkah negeri ini bertuan?

Tabik...!!!
===================================

REPRESIFME HUKUM DI ERA REZIM JOKOWI

[Muhasabah Imunitas dan Wibawa Advokat]

Oleh : Ahmad Khozinudin, SH
Ketua LBH Pelita Umat

Penulis teringat di medio era tahun 2012 ketika Kapolri dijabat oleh Jenderal Timur Pradopo. Saat itu, Kapolri menandatangani Nota Kesepahaman dengan organisasi advokat dalam konteks penyidikan perkara pidana terhadap advokat.

Berdasarkan nota kesepahaman itu, pemanggilan polisi terhadap advokat harus dilakukan melalui Dewan Pimpinan Nasional (DPN) atau Dewan Pimpinan Cabang organisasi Advokat terdekat. Polisi berkewajiban melampirkan surat panggilan resmi dan resume perkara.

Selanjutnya, Organisasi Advokat akan melakukan investigasi permasalahan. Dalam waktu paling lambat 14 hari, organisasi advokat menyampaikan hasilnya kepada penyidik, termasuk menghadirkan advokat yang dipanggil.

Namun diera now, diera Jokowi,  menjadi advokat yang juga berkedudukan sebagai penegak hukum bukan berarti aman dari tindakan represif penguasa. Penangkapan yang dilakukan penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Mabes Polri terhadap diri penulis menjadi bukti kongkritnya.

Penangkapan dilakukan tanpa melakukan koordinasi dengan organisasi advokat, dilakukan dengan langsung berstatus tersangka (padahal belum pernah dipanggil atau diperiksa), dilakukan pada dini hari dan bahkan keluar umpatan 'bajingan' dari oknum penyidik kepada penulis.

Padahal penulis adalah advokat yang menurut undang undang advokat juga berkedudukan sebagai penegak hukum. Didalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang no. 18 tahun 2003 tentang Advokat disebutkan: 

_“Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan Perundang-undangan”,_

Karenanya dapat dipahami bahwa kedudukan adavokat adalah setara atau sederajat dengan aparat penegak hukum lainnya (Polisi, Jaksa, Hakim). Disamping itu advokat juga memiliki hak imunitas, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

_"Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan"_.

Memang benar penangkapan terhadap diri penulis bukan karena perkara hukum klien yang  sedang penulis tangani. Namun penangkapan secara tidak manusiawi, dilakukan pada dini hari, langsung dengan status tersangka terus terang mengganggu kinerja profesi advokat yang penulis tekuni.

Ada kewajiban-kewajiban penulis terhadap klien menjadi terbengkalai. Terlebih lagi wibawa penulis dihadapan klien dan masyarakat umum menjadi jatuh.

Bagaimana mungkin seorang advokat diperlukan layaknya pencuri ? Perampok ? Apa yang penulis rugikan dari negara akibat aktifitas penulis ?

Pasal 207 KUHP dan pasal 14 ayat (2) dan pasal 15 UU no. 1 tahun 1946 adalah pasal karet. Pasal ini tidak pernah diaktifkan oleh rezim sebelumnya kecuali di era Jokowi.

Perlakuan penyidik terhadap advokat era Jokowi ini jauh berbeda dengan era tahun 2012 an. Misalnya saja, penulis ketika menjadi pengurus organisasi advokat tingkat cabang, pernah ikut mengadvokasi seorang advokat yang dipanggil polisi.

Polisi ketika itu meminta izin organisasi advokat sebelum melakukan pemanggilan terhadap advokat. Polisi sangat menghargai peran dan kedudukan advokat sebagai sesama penegak  hukum.

Jadi jika kita telaah lebih dalam, represifme aparat termasuk tidak dihormatinya profesi advokat bukan semata karena cidera wibawa polisi. Tetapi juga lebih terpengaruh oleh kebijakan politik hukum rezim Jokowi yang anti kritik, baik kritik oleh masyarakat umum maupun oleh advokat. [].

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2553131184962195&id=100007960152430

Comments

Popular posts from this blog

jenis-jenis Sistem Transmisi mobil

Kudeta Jokowi Mulai Tercium Oleh Prabowo Subianto

Jumlah rakaat shalat tarawih sesuai tuntunan