PENCIPTA ROBOT YANG JANGGAL
PENCIPTA ROBOT YANG JANGGAL
"Saatnya semua dagelan ini disudahi melalui proses hukum yang berkeadilan"
Sejak kemarin ada beberapa netizen yang meminta penulis untuk mengulas sosok idola baru bagi pendukung 02 ini, tapi nyaris saja lupa. Mungkin karena penulis bingung melihat sosok muda yang tampan, terkesan cerdas, inovatif, percaya diri, dan sangat mengejutkan.
Tapi ternyata tidak juga, karena memang aslinya penulis tidak tahu rekam jejaknya seperti apa. Baru tahu ketika melihat rekaman video saat doi presentasi tentang 'Robot Tidak Iklas' yang bisa memantau pergerakan Situng KPU setiap menitnya. Mungkin yang doi maksud bukan robot, tapi semacam aplikasi.
Keahlian IT bagi sebagian warga negara Indonesia bukan hal yang mengagetkan, terbukti setiap tahun selalu melahirkan juara dunia IT dari tingkat remaja hingga dewasa, begitupun untuk inovasi robotik berkelas dunia.
Karenanya apa yang dikatakan sebagai robot itu bukan karya yang luar biasa. Bahkan untuk mahasiswa semester pertama jurusan IT sudah bisa membuatnya. Sebab Situng KPU adalah sistem terbuka. Jadi mau diunduh perhari, perjam, permenit, atau perdetik sekalipun memang mudah, karena oleh KPU memang dibuat sedemikian transparannya, hingga untuk membuat salinan (mirroring) dari database Situng akan sangat mudah.
Karenanya penulis abaikan dulu bila doi itu seorang caleg gagal pendukung 02, atau WA-nya bisa diretas padahal seorang ahli IT, atau kemudian ia diremove dari grup alumninya tempat dimana doi menimba ilmu di salah satu perguruan tinggi ternama di Bandung, karena dianggap menjual teknologi yang belum mumpuni. Bagi penulis semua itu tidak penting dan substansif. Karena yang lebih penting adalah memberikan pencerahan yang baik kepada masyarakat.
Sehingga angka-angka yang doi munculkan di layar lebar, kendati ada yang tidak singkron pun tetap penulis abaikan. Tidak singkron disini semisal jumlah persentasi 01 dengan 02 tidak menjadi 100%, padahal IT itu seharusnya menghitung mutlak secara numerik.
Inti dari persoalan hasil Pilpres 2019 ini jelas resminya harus dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), karena itu perintah Undang Undang (UU). Sehingga bila tidak mau terima atau tidak percaya KPU, berarti tidak percaya kepada UU yang telah dibuat oleh DPR RI, yang itu artinya sama juga tidak percaya kepada DPR RI, yang mana didalamnya diwakili oleh semua partai, baik petahana maupun partai oposisi.
Terlebih lagi penunjukkan komisioner KPU berdasarkan uji materi oleh DPR RI yang telah disiapkan oleh tim sebelumnya, sehingga orang-orang yang berada di KPU sudah dikenali secara baik oleh pihak partai pengusung.
Kedudukan KPU itu independen, sehingga tak mungkin akan memihak salah satu kubu, dan hal itu selalu dibuktikan dari waktu ke waktu, baik di tingkat daerah untuk Pilkada dan Pileg, maupun di tingkat nasional untuk Pilpres, Pileg termasuk DPD. Jadi sungguh aneh bin ajaib bila hanya di pilpres tahun ini saja tidak dipercaya, sementara pilegnya tidak masalah.
Semua pelaksanaan pemilu dijalankan sesuai mekanisme yang diatur dalam UU, begitupun penghitungan secara berjenjang dari saat berada di TPS hingga berada di KPU, dimana semua dilakukan secara terbuka, yang artinya bisa disaksikan secara transparan. Itupun dilakukan selalu diawasi oleh saksi dari semua pihak, serta diawasi oleh Bawaslu dan NGO yang datang dari beberapa negara, selain tentunya wartawan berbagai media.
Silahkan dingat-ingat kembali bahwa hasil dari TPS dibawa ke PPS di Kelurahan. Lalu penghitungan di PPS ada saksi kedua paslon dan data dari TPS dicek ulang dengan Form C1 milik saksi setelah clear ditandatangani saksi paslon yang disaksikan Bawaslu, lalu disahkan oleh Pleno PPS. Dari hasil PLENO dari PPS di bawa ke PPK Kecamatan. Begitu seterusnya hingga tiba di KPU Pusat di Jakarta.
Lalu bagaimana dengan Situng di KPU? Disinilah inti persoalannya. Banyak yang belum paham bahwa sistem ini hanya sistem database saja untuk menyimpan hasil perolehan hitung manual, dengan harapan untuk mempermudah masyarakat mengakses, selain untuk dokumentasi elektronis KPU.
Yang menjadi patokan tetap saja mekanisme hitung manual di KPU yang itupun tetap diawasi oleh saksi perwakilan kontestan. Jadi seharusnya tidak perlu ada kekhawatiran. Lalu bagaimana dengan kesalahan entry data? Tentu saja itu sangat mungkin, selama masih manusia yang melaksanakannya.
Tapi perlu dicatat bahwa persentasi kesalahan entry data itu tidak mungkin lebih dari satu persen, dan pasti akan dengan cepat diketahui, karena banyak yang menyaksikan secara langsung. Sehingga kesalahan kecil itu bisa langsung diperbaiki. Kesalahan itu adalah fitrah manusia, terlebih dengan begitu banyaknya data yang masuk dari 810 ribu TPS di seluruh Indonesia untuk dokumen C1.
"Sekali lagi bahwa hasil hitung manual lah yang akan resmi diumumkan"
Lalu apakah bisa terjadi kecurangan? Bila di KPU itu akan sangat tidak mungkin terjadi, karena KPU hanya melakukan rekapitulasi hitung menyeluruh yang akan disingkronkan pula dengan hasil hitung dari KPUD masing-masing provinsi. Lagipula KPU tidak ada waktu untuk curang, karena merubah data itu tidak mudah. Jadi yang mungkin terjadi adalah di wilayah tertentu akibat lemahnya pengawasan atau karena kecerdikan pelaku. Tapi itupun 'Pasti" tetap akan ketahuan juga.
Bila hal itu terjadi, maka bisa diselesaikan oleh Panwaslu dimana terjadi kecurangan, dan selama itu pula selalu ada walau persentasinya sangatlah kecil, dan selama ini selalu bisa diselesaikan dengan baik. Lalu bagaimana bila masih ada persoalan atau sengketa pemilu yang dianggap besar? Selama ada alat buktinya, hal itu bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), dus bukan diselesaikan di jalanan atau lapor ke publik, atau dengan tindakan yang inkonstitusional hingga menciptakan opini seolah KPU berlaku curang, atau bahkan menimbulkan berbagai gesekan.
Juga bukan menarik saksi ketika data untuk Pilpres sudah terhitung sekitar 85%, dimana angka sudah sangat mungkin stabil dan tidak ada perubahan yang signifikan. Sebab bila itu dilakukan, maka tidak berarti kemudian hasil KPU jadi tidak sah, tentu saja tetap sah. Jangan pula nanti dijadikan alasan bahwa hasil akhir tidak ada saksi. Karenanya bila tanggal 22 Mei 2019 KPU mengumumkan hasilnya, dan selama 3 hari kemudian tidak ada gugatan, maka secara hukum sah berlaku.
Lalu bagaimana dengan robot buatan saudara
Hairul Anas? Sebaiknya KPU, Bawaslu dan pihak kontestan melakukan pengecekan langsung untuk aplikasi yang dibuatnya, serta menanyakan kejanggalan yang dimaksud oleh Hairul, karena bila hal itu diketahui ngawur, maka persoalannya jadi beralih ke domain Polri untuk diusut sesuai undang undang yang berlaku, terlebih Hairul tidak tercatat secara resmi sebagai lembaga pemantau pemilu.
"Tetap Dukung KPU dan Kontestasi Sehat"
Wahyu Sutono
🇮🇩 Salam NKRI Gemilang 🇮🇩
Comments
Post a Comment