Komunikasi dng benar ke anak-anak

Jangan racuni otak anakku!

Saya hamil kedua saat usia si sulung 25 bulan. Ketika perut mulai membuncit banyak sekali terdengar suara sumbang.

"Ih udah hamil aja, kasihan anak masih kecil."
"Emang ga KB? Anak masih kecil udah mau punya adik."
"Doyan banget sih, udah nambah aja."
"Kasihan masih kecil, kasih sayangnya udah dibagi aja."

Dan banyak lagi kalimat lainnya. Apa saya marah? Oh tidak. Saya hanya tersenyum. Ketika di luar sana banyak yang menguras air mata dan menguras isi rekening untuk mendapat buah hati masa saya dikasih rezeki marah ya saya bahagia. Alhamdulillah.

Semakin besar usia kehamilan, yang terdengar bukan suara sumbang lagi tapi kalimat 'sampah' yang ditunjukkan untuk anak pertama saya.
"Mau punya adik ya? Yah ga bakal disayang deh."
"Yah ntar kalau adiknya lahir, Maminya diambil."
"Nanti kalau adik lahir, bobonya sendiri. Maminya lebih sayang adik."

Dan kalimat 'sampah' lainnya. Kalau sudah dengar begini saya bakal jawab
"Ga dong, Senja kan anak Mami. Mami tetap sayang." Sambil peluk atau cium si sulung.

Saya dan suami berusaha sekali memupuk rasa cinta si sulung untuk adiknya. Si sulung selalu antusias mengajak ngobrol dan bersholawat meski adiknya masih di dalam perut.

Eh tau-tau ada orang luar dengan seenaknya berusaha mengobrak-abrik keadaan yang indah ini. Akibatnya saya lebih sering mengurung diri di dalam rumah. Karena saya pikir, saya tidak bisa menutup mulut besar mereka tapi saya bisa menutup telinga anak saya.

Saat saya melahirkan yang paling bahagia adalah si sulung. Terlihat sekali dari pancaran matanya yang penuh cinta saat melihat adiknya

Apa masalah selesai? Tidak.

Saat ada yang datang menjenguk lagi-lagi kalimat 'sampah' terdengar

"Ih cantikkan adiknya ya daripada kakaknya,"
"Yah adik udah lahir ga bakal di sayang lagi."

Dan kalimat itu berdampak negatif. Tiba-tiba pada suatu sore si sulung bilang
"Mami, anaknya nangis tuh." Dengan bibirnya yang mengerucut sambil matanya melirik.

Membuat saya sedikit terkejut mendengar kalimatnya. Saya langsung menangkupkan tangan saya ke wajah si sulung
"Mana? Ini ga nangis," ucapku.

"Bukan aku, Mih tapi dede Binar."

"Tadi katanya anak mami, ini kan juga anak mami." Kugoda dengan menggelitiknya dan disambut dengan tawa. "Lihat mami! Dengar ya ... anak mami itu kakak Senja dan dede Binar. Mami sayang semuanya." Kupeluk erat sulungku. "Dedenya nangis ... Mami boleh gendong dedenya?"

"Boleh," ucapnya sambil ikut membelai adiknya.

Saya dan suami sebisa mungkin mendahulukan kepentingan si sulung, agar jangan sampai dia merasa cemburu lagi.

Sekarang, saya bahkan mempercayakannya membantu menjaga adiknya. Kalau mau masak, saya bakal bilang "Ka, Mami minta tolong jagain dede binar ya! Mau?"
"Oke, Mi." Suka cita dia menjawabnya.

Memberikan kepercayaan membuat dia merasa penting dan lebih sayang sama adiknya. Meski ga sepenuhnya saya tinggal. Beberapa menit sekali saya tengok, tetap saja ada rasa was-was menghampiri. Namanya juga anak-anak kadang hal lucu menurutnya tapi sebenarnya bahaya.

Inti tulisan saya ini. Ayolah jika melihat atau menengok ibu melahirkan yang memiliki anak masih balita lebih dipilah lagi kata-katanya. Daripada memupuk rasa cemburu lebih baik memupuk rasa cinta si kakak terhadap adiknya. Jangan sampai kata-katamu meracuni otak anak kecil.

Salam manis,
Mami Binar Senja

Comments

Popular posts from this blog

jenis-jenis Sistem Transmisi mobil

Kudeta Jokowi Mulai Tercium Oleh Prabowo Subianto

Jumlah rakaat shalat tarawih sesuai tuntunan