Strategi naikkan harga saat musim lebaran dan liburan
PELANGGAN KAPOK, GAK BAKAL LAGI NEMPLOK!
Salah satu bisnis yang persaingannya “mengerikan” adalah bisnis kuliner. Kalau gak punya keunikan, rasa yang nancep atau pelayanan yang beda, orang gampang pindah ke lain hati. Laaah sepanjang jalan makanan begitu banyaknya
Belum lagi soal harga, nembak konsumen menengah bawah yang sekali makan kurang dari 50 ribu juga sensitif senggolannya. Naik dikit bisa menyingkir, naik banyak postingan negatif banjirrr!!
Lebaran sudah lewat, kasus yang ngehits di sosial media soal harga yang mukul ada tiga videonya
Satu di Slawi yang warung kali lima jualan seafood tembus 700 ribu untuk menu biasa, disusul postingan lain malah yang kena 1,5 juta.. komentarnya lucu-lucu sih, mungkin udangnya harus nangkep di kerajaan Atlantis!
Yang kedua konsumen yang marah dapat tagihan mahal, dan makanannya dibuang di pasir pinggir pantai. Ada yang mendukung, ada yang membully.. gak usah lebay dibuang-buang, mending kembalikan gak usah dimakan katanya
Yang ketiga malah kena serangan balik, upload video makan popmie 20 ribu di masa lebaran, dua kali lipat sih dari harga hari biasa, pembelinya sampai videoin wajah penjualnya. Hehe.. upload! Dan dia malah dibully orang banyak. Ada yang nulis kalau gak punya duit gak usah mudik mbak, 20 ribu aja protesss kayak orang susah!
Begitulah... zaman sudah berubah, netizen jempolnya galak, sosial media adalah senjata bermata dua. Bisa menghadirkan kemanfaatan, bisa juga membinasakan. Dalam bisnis nih, kalau kita gak hati-hati, keburukan pelayanan, rasa, harga seenaknya, akan diumbar oleh mereka, dibaca dan disebarkan kepada kawan-kawan dan followernya.
Selama 3 tahun, saya pun sudah apal kalau bahan baku akan naik di beberapa usaha saya, terutama Tengkleng Hohah, dengan stock yang terbatas suplyer dengan mudah menaikkan harga. Satu ekor kambing hanya menghasilkan 3 kilogram tulang, padahal kebutuhan sehari 150-250 kilo. Gak setiap jam kambing dipotong, kami harus berburu di banyak tempat hingga ke dusun-dusun ke tempat pemotong kambing.
Kalau gak dinaikkan harga, margin sangat sedikit, apalagi karyawan juga minta gaji double selama masa libur lebaran, warung hanya 3 hari tidak jualan. Ada 17 orang karyawan yang harus dimanusiakan, kalau saya cuek mereka juga bakal lebih cuek,
“Waah bayaran gak naik pas lebaran, mending kita ke pantai aja berenang!” Hehe bisa begitu nanti komentarnya
Lalu caranya bagaimana? Agar konsumen gak keberatan, suplyer terbayar, karyawan juga senang
Mau diam-diam naikkan harga? pukul sekalian, toh yang datang para pemudik, belum tentu dia datang lagi tahun depan!
Ada tuh kawan yang cerita, dia jualan soto harga normal 11 ribu, pas lebaran dihajar 25 ribu/mangkok. Omzet yang sehari biasanya 2 jutaan, langsung tembus 6 jutaan. Buka sejak hari H Idul Fitri siang hari, ketika banyak warung tutup dia malah eksis jual diri. Tapiii... ya itu, kehajar harga yang ditutupi, mereka kapok datang lagi. Tahun depan lewat situ lagi, mereka bakal ngomong.. “Mah inget tahun lalu makan disitu? yang mahalnya minta ampun..”
Kalau saya memilih untuk jujur dan terbuka kepada pelanggan semua. Seperti bulan ini, lebaran libur 3 hari. Selama 6 hari berikutnya dari tanggal 7 sampai 11 Juni harga dinaikkan 10%!
Diem-diem saja?
Enggak tuh! saya komunikasikan lewat sosial media, saya siapkan 10 kertas A4 dan saya pasang di berbagai sudut warung yang terbaca oleh mata.
Tanpa harus mengganti nota, tanpa
Mencetak ulang daftar menunya, ternyata pelanggan dengan bahagia menerimanya.
Kok tau bahagia mas? Laah wong mayoritas makannya lahap semua, piring tak bersisa, hehe
Ini ilmu sederhana, tapi bisa kamu praktekan lebaran berikutnya. Jujur biar mujur, tanpa harga memukul, konsumen merasa dirangkul..
Salam,
@Saptuari
Comments
Post a Comment